Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Okta Tri Wahyuni malu-malu ketika diminta maju ke depan kelas untuk menuliskan 'Selamat Datang Para Tamu' dalam aksara Jawa. Mengenakan kebaya dan jarik, Okta pun membungkuk ketika melewati gurunya saat menuliskan kata-kata itu. Okta dan 20an anak di Sanggar Memetri Wiji, kawasan Pedukuhan Tamanan, Desa Tamanmartani, Kabupaten Sleman menampilkan kebolehannya menyanyikan tembang-tembang Jawa, serta tulisan aksara Jawa. "Kami juga diajari sopan santun dan unggah ungguh," kata Okta pada 18 September 2019.
Menurut Pelajar kelas 3 Sekolah Menengah Pertama ini mendatangi sanggar ini setiap Rabu dan Ahad pukul 15.00, atau sepulang sekolah. Sebagai salah satu yang senior di sanggar itu, selain belajar, Okta pun ikut membantu guru mengajari teman-temannya yang lebih muda belajar aksara Jawa.
Sebenarnya, di sekolah Okta juga belajar menulis dengan aksara Jawa, namun menurutnya, ketika belajar di sanggar, ia bisa menggali ilmu lebih dalam dari pelajaran yang didapatnya di sekolah. "Saya senang ke sini, daripada tidak ada kegiatan dan main-main saja sepulang sekolah," kata Okta yang sudah belajar di sanggar itu sejak 2013.
Pendiri Sanggar Memetri Wiji, Tri Joko Saptono, mengatakan kegiatan di komunitasnya itu memang fokus pada pembelajaran sopan santun menanamkan budaya serta mempelajari aksara Jawa serta bermain permainan tradisional. "Kami ingin mengangkat kembali benih benih keluhuran budaya Jawa," kata Joko yang mengenakan pakaian adat Jawa lengkap dengan blankonnya.
Kegiatan Belajar Mengajar di Sanggar Memetri Wiji, Kabupaten Sleman pada 19 September 2019.Tempo/Mitra Tarigan
Saat hendak membuat sanggar ini, Joko mengatakan kerap mendengar keluhan para orang tua yang menilai bahwa anak-anak mereka mengalami degradasi moral. "Di setiap kesempatan, orang tua mengeluh karena anak sekarang tidak lagi punya tata krama dan budi luhur. Ini bentuk keprihatinan masyarakat," katanya.
Anak-anak di daerah Desa Tamanmartani semakin sering bermain telepon genggam. Mereka bahkan seolah tidak tahu waktu berhenti untuk berselancar di dunia maya. Belum lagi, setelah waktu pulang sekolah, anak-anak ini pun sering tidak jelas main ke berbagai tempat hingga pulang malam. "Anak-anak ini dinilai sudah tidak terkontrol," kata Joko
Mendengar keluhan para orang tua itu, Joko pun beraksi. Atas bantuan adik dan kakaknya, dan persetujuan perangkat desa, ia membangun sanggar ini. Ia bermimpi memperbaiki moral dan karakter anak muda di daerahnya itu menggunakan dasar Budaya Jawa.
Tentu saja ada masyarakat yang pro dan kontra. Ia pun hanya meminta pihak yang tidak setuju melihat dulu program dia, sedangkan yang setuju diminta untuk mengirimkan anak-anak mereka ke sanggar Memetri Wiji. Hasilnya sejak sanggar yang berarti 'benih' itu lahir pada 2012, jumlah muridnya pun terus berkembang. "Awalnya hanya ada 12 orang, saat ini anggota kami 40 orang," kata Joko.
Beberapa sekolah di sekitar sanggar pun mencoba berkolaborasi dengan sanggar itu. Sering kali para guru mengirimkan anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan pembelajaran budi pekerti sebagai kegiatan sepulang sekolah.
Tidak hanya itu, sanggar prodeo itu pun mendapatkan perhatian dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sleman. "Kami sempat mendapatkan tutor, beberapa meja tulis serta alat main anak-anak untuk kegiatan belajar mengajar," kata Joko.
Tentu saja ada tantangan yang dialami Joko dan keluarga dalam menjalankan kegiatan pendidikan karakter ini. Salah satunya adalah dari kemalasan si anak. "Maka untuk mengganti suasana, kami kadang main ke kali. Kami pun merencanakan kegiatan pergi ke Semarang melihat Kota Tua dan Lawang Sewu," kata Joko yang tidak memungut biaya untuk kegiatan mereka.
Joko dan kakak beradiknya biasanya patungan untuk menyediakan berbagai alat tulis dan buku yang diperlukan anak-anak. Joko enggan merepotkan orang tua anak-anak, yang berlatar belakang mayoritas petani dan buruh, dengan berbagai pengeluaran materi.
Joko memang bukan berasal dari latar belakang pendidik. Ia pun hanya bermodalkan kebiasaan berbicara Bahasa Jawa di lingkungan keluarganya. Kebiasaan ini lah yang ingin ditularkannya kepada masyarakat. Kegiatan ini dianggap Joko sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasihnya kepada orang tua Joko karena bisa bermanfaat bagi sesama. "Kami merasa puas dan senang saat orang tua anak-anak ini senang dan masyarakat menanggapi dengan baik. Kami mendapat kepuasan batin," kata Joko dengan suara lirih.
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny N. Rosalin mengatakan kegiatan sanggar yang mempelajari budi pekerti salah satu bentuk perhatian masyarakat kepada anak. Hal itu pula yang menjadi salah satu faktor pendukung Kabupaten Sleman berhasil meraih predikat Nindya dalam evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak 2019.
Kegiatan Belajar Mengajar di Sanggar Memetri Wiji, Kabupaten Sleman pada 19 September 2019.Tempo/Mitra Tarigan
Lenny mengingatkan bahwa jam belajar anak dalam sehari itu dibagi tiga, yaitu 8 jam di sekolah, 8 jam di rumah, dan 8 jam lagi beraktivitas di ruang publik. Kegiatan Sanggar Memetri Wiji masuk dalam aktivitas di ruang publik. "Perlu banyak peran masyarakat ketika anak-anak beraktivitas di ruang publik. Masyarakat butuh membuat tempat ibadah, transportasi, serta sarana publik yang pro anak," katanya.
Kegiatan seperti Sanggar Memetri Wiji ini bisa membuat anak sibuk dengan kegiatan yang positif. Lenny mengingatkan, bila anak tidak memiliki kegiatan lain sepulang sekolah, kemungkinan besar, mereka akan nongkrong di berbagai tempat. "Ketika nongkrong-nongkrong dan tidak ada kegiatan itu lah musuh datang. Orang tidak bertanggung jawab lebih mudah mengenalkan anak-anak kita dengan narkoba, kegiatan merokok, atau kegiatan buruk lainnya kalau anak tidak ada kerjaan," kata Lenny.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini