Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barbara Enser sudah hampir putus asa. Luka infeksi di kaki kanannya akibat penyakit diabetes sulit sekali disembuhkan. Berbagai pengobatan modern telah dicoba, tapi gagal mengusir pemandangan tak sedap di kakinya. Jika harus diamputasi, nasib wanita 57 tahun itu sungguh tragis karena kedua kakinya akan buntung. Sebelumnya, ia telah kehilangan kaki kirinya gara-gara penyakit yang sama.
Hanya keajaiban yang bisa menolong Nyonya Enser—dan itulah yang terjadi. Mula-mula dia ditawari untuk menjalani pengobatan baru bernama terapi belatung. Sempat jengah pada mulanya, tapi akhirnya dia setuju. Dia lalu menjalani pengobatan di Bay Regional Medical Center, Michigan, Amerika Serikat. ”Ini kesempatan terakhir untuk menyelamatkan kaki saya,” katanya seperti dikutip koran The Bay City Times beberapa waktu lalu.
Terapi dimulai pada 6 Juli. Belatung-belatung steril berukuran dua milimeter ditaruh dan dibiarkan hidup dalam luka di kaki Enser. Lalu, luka itu ditutup dengan pembalut tipis. Empat hari kemudian, belatung-belatung yang tubuhnya telah menggelembung dua kali lipat dari ukuran semula itu diangkat.
Proses serupa diulangi sekali lagi, dan hasilnya mencengangkan. Luka Enser membaik. Lapisan kulit warna merah jambu terlihat pada bekas luka, menggantikan jaringan otot yang mati. Walhasil, wanita Bay City itu girang setengah mati. Bayang-bayang amputasi yang pernah merenggut kaki kirinya telah sirna.
”Belatung bisa membedakan jaringan otot yang hidup dan mati,” kata Dr Steven M. Holland dari Institut Nasional Penyakit Menular dan Alergi, AS. Dalam kerjanya, selain membersihkan luka, belatung memangsa jaringan otot yang terinfeksi dan mati, serta membunuh bakteri. Binatang yang terlihat menjijikkan itu juga memiliki suatu enzim yang mempercepat penyembuhan luka.
Terpisah ribuan kilometer dari tempat Enser dirawat, tepatnya di RS Kasemrat, Bangkok, Thailand, terapi serupa dilakukan. Hasilnya pun mengagumkan, luka seorang pasien bernama Supanee Benjanuwat bisa disembuhkan.
Tak semua jenis belatung bisa digunakan. Terapis hanya memanfaatkan belatung dari telur lalat jenis Lucilia sericata alias lalat hijau. Selain kerjanya spesifik, selama digunakan untuk terapi, belatung ini tak akan tumbuh menjadi lalat. Jaminan itu diungkap Pongsakdi Chakshuvej, Direktur BioMonde, perusahaan penyedia belatung lalat hijau, di Thailand.
Kini, terapi belatung layak menjadi alternatif di luar pengobatan modern. Bahkan, bagi Enser, teknik terapi yang aslinya sudah dipraktekkan kalangan tentara Amerika yang terluka pada 1920-an itu justru dipilih setelah pengobatan modern gagal. Sebelumnya, luka di kaki Enser memang sempat dibersihkan dengan pisau bedah dan diberi antibiotik, tapi luka itu tetap bercokol dan bikin dongkol. Kini, selain di Amerika dan Thailand, terapi belatung diterapkan di Australia, Eropa, dan Jepang.
Di Thailand, dalam setengah tahun terakhir, terapi belatung diminati 120 pasien. Maklum, selain menjanjikan kesembuhan, terapi ini tergolong ringan di kantong. Rata-rata pasien butuh tiga kantong belatung yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ekor. Mereka cuma dikutip biaya 9.000 baht (sekitar Rp 2 juta). Bandingkan dengan rata-rata biaya operasi yang butuh biaya hingga 20 ribu baht (sekitar Rp 4,6 juta).
Memang, tak semua terapi berjalan sukses. Seorang dokter di Rumah Sakit Nopparat Ratchathanee, Thailand, yang enggan disebut namanya, mengungkap adanya pasien yang tidak sembuh setelah menjalani terapi belatung. Pasien dengan infeksi borok akut di kaki ini juga mengalami penyumbatan pembuluh darah arteri. Buntutnya, infeksi karena bakteri muncul berpindah-pindah sehingga penanganannya menjadi sulit. ”Belatung menyembuhkan luka di satu tempat, tapi infeksi tumbuh lagi di tempat lain,” katanya.
Pendapat bahwa tak semua kasus luka bisa diterapi dengan belatung juga disuarakan Dr Sidartawan Soegondo, ahli penyakit diabetes dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bahkan ia tak berminat menerapkan terapi itu karena dianggap masih kurang bukti secara ilmiah.
Psikolog Sartono Mukadis, pengidap diabetes yang sempat diamputasi kaki kirinya, pun minta pengidap diabetes berhati-hati memilih terapi. Sebelumnya, ia pernah mendengar terapi lintah, tapi dianggap tak cocok dengan lukanya yang kering dan tidak bernanah. ”Saya kira, terapi ada juga unsur cocok-cocokan,” katanya.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo