Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam makin larut. Biasanya, para penggemar ”dugem”—ini akronim gaya anak muda untuk ”dunia gemerlap”—sudah mulai bersemangat mengisi sisa malam. Kerlapkerlip lampu di sepanjang Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, seolah penyampai pesan untuk singgah. Tinggal pilih, di kawasan ini ada 42 diskotek untuk berpesta-pora.
Sepanjang Agustus ini, malam di kawasan gemerlap hiburan di Jakarta telah berubah. Jalanan lengang. Bahkan di penghujung pekan juga nyaris sama. Jalan Hayam Wuruk, tepat di persimpangan menuju Diskotek Stadium dan 1001, yang biasanya macet, kini bisa dilalui dengan mudah. Lokasari yang semula padat kini longgar.
Mari melongok ke dalam diskotek. Mille’s, salah satu diskotek terbesar di Jakarta Barat, berada di Lokasari. Biasanya di sini suasananya melebihi pasar malam. Keramaian sudah dimulai sejak Kamis malam. Tempat parkir padat. Ruang diskotek yang dipenuhi 800 kursi penuh sesak. Bahkan untuk mencari tempat berdiri saja susah dan jika berbicara harus menjerit-jerit atau menggunakan bahasa pantomim saking bisingnya.
Sudah dua akhir pekan ini, Mille’s melalui malam dengan 75 persen kursi pengunjung kosong. Suasana serupa terlihat di Stadium. Millennium sama sa-ja. Diskotek di Plaza Gajah Mada, Jakarta Pusat, ini setiap akhir pekan bia-sanya dipadati 5.000 pengunjung. Kini b-oleh dikata suasananya teramat longgar. ”Ra-zia teru-s, tamu (pengunjung) lagi trauma, Mas,” kata seorang pegawai Millennium, Jumat dini hari pekan lalu.
Memang benar, Kepolisian Daerah Me-tro Jaya cukup sering merazia diskotek selama sebulan ini. Menurut Direktur Narkotik Polda Metro Jaya, Komisaris Be-sar Carlo B. Tewu, razia dilakukan un-tuk menyumbat pasar ekstasi. ”Disko-tek selama ini menjadi pasar terbesar pengedar ekstasi,” katanya.
Sejak 11 Juli hingga akhir pekan lalu su-dah 25 diskotek yang dirazia. Carlo mengatakan, anak buahnya yang berge-rak di lapangan juga tak serampang-an. Diskotek yang dirazia dipilih yang ha-nya dicurigai menjadi tempat beredarnya ekstasi.
Hasilnya, pada setiap diskotek yang dirazia selalu ditemukan ekstasi. Dari semua diskotek itu, polisi memeriksa urine 1.281 pengunjung yang dicurigai—229 orang di antaranya positif mengan-dung amphetamine (salah satu unsur yang terdapat dalam ekstasi). Dari mere-ka yang urinenya dinyatakan positif itu ada nama Ria Irawan, yang diperiksa di diskotek Dragon Fly, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, tiga pekan lalu.
Kendati demikian, polisi tak bisa secara sembarangan menuduh mereka se-bagai pengguna ekstasi. ”Urine yang po-sitif (mengandung amphetamine), hanya salah satu bukti. Setidaknya, kami butuh dua bukti,” kata Carlo. Karena itu, dari 229 orang yang menjadi tersangka, kini tinggal 73 orang. Sampai akhir pekan lalu, mereka mendekam dalam ta-hanan narkoba Polda Metro Jaya.
Ketika Tempo berkunjung ke tahanan narkoba Polda Metro Jaya, Jumat pekan lalu, di sana berjubel 740 orang tahanan. Mereka mengenakan seragam berwar-na oranye. Wajah mereka tak menyiratkan rasa takut akan hukuman. Pada jam is-ti-rahat, beberapa sanak famili mereka berdatangan. Ada juga yang berkumpul di pojok ruang tamu dan berbisik-bisik tentang kemungkinan akan bebas.
Di sebelah tempat tahanan berlantai empat ini ada ruang untuk polisi antinar-koba yang dipimpin Carlo Tewu. Jumat pe-kan lalu itu, Carlo memimpin rapat pem-berantasan narkoba. Mereka sedang meng-evaluasi razia selama sebulan, se-kaligus merancang operasi berikut-nya di beberapa tempat hiburan selain disko-tek. Mereka juga akan memeriksa lampu-lampu penerang tempat hiburan. ”Tak boleh terlalu gelap, minimal 40 per-sen,” katanya.
Hasil evaluasi polisi selama sebulan razia, sudah tak ada lagi orang yang ”go-dek” (tripping) di diskotek. Fakta-nya, memang, di diskotek sekarang sudah tak terlihat lagi orang-orang yang tripping, yang bertingkah bak orang kesurupan. Di tengah dentuman musik, mereka ber-goyang perlahan. Tak ada pengunjung yang tahan lama. ”Gendang teli-nga serasa mau pecah,” kata Hariyanto, salah seorang pengunjung Stadium, lalu meninggalkan mejanya tanpa kembali lagi.
Pengunjung diskotek yang butuh eks-tasi tentu saja gelisah karena bede alias bandar narkoba tak lagi berkeliaran di dis-kotek. Pegawai tempat hiburan juga meng-gelengkan kepala saat ditanya so-al obat ”godek” itu. Walau demikian, itu bukan berarti tak ada pekerja tempat hiburan yang terlibat dalam bisnis ekstasi.
Carlo juga mencurigai beberapa penge-lola tempat hiburan sekaligus menjadi pebisnis narkoba. Menurut dia, setiap ma-lam di penghujung pekan, ratusan ribu butir ekstasi beredar di tempat-tem-pat hiburan, terutama diskotek. Dicuri-gai ada enam bandar besar yang memasok ke diskotek.
Menurut penelusuran Tempo, ada beberapa cara pengedar memasok ekstasi ke tempat hiburan, di antaranya dengan mengirim kaki tangan yang langsung berhubungan dengan konsumen. Cara lain adalah bekerja sama dengan penge-lola diskotek. Hanya saja polisi belum menemukan bukti yang cukup kuat untuk menangkapnya.
Sejauh ini, polisi baru menangkap beberapa pekerja diskotek yang menjadi pengedar ekstasi, misalnya Ellias Pical, yang ditangkap di diskotek Mille’s, Juli lalu. Bahkan aparat dari Kepolisian Sektor Kota Tangerang telah menangkap Sumarlis Sutan Yazid, 50 tahun, Manajer Karaoke Stadium, Jakarta Barat. Dari tangannya disita 10 butir ekstasi. Dia di-tangkap di rumahnya, Jalan Gurame, Karawaci, Kota Tangerang.
Polisi memperoleh informasi soal narkoba ini justru dari istri Sumarlis sen-diri, yakni Marheini, 45 tahun. Rupanya sang istri cemburu lantaran mendengar kabar suaminya selingkuh.
Kepada Tempo, Sumarlis mengakui menjalankan bisnis jual-beli ekstasi sejak enam bulan lalu. Modalnya, satu butir ekstasi yang dibeli Rp 80 ribu, lalu dijual Rp 100 ribu. Dia mengaku menjual ekstasi kepada tamunya yang datang ke Stadium. Selain itu, dia juga melayani pembelian via telepon. Kini dia meringkuk dalam tahanan.
Beberapa pengelola diskotek yang dihubungi Tempo mengatakan, razia itu langsung berpengaruh terhadap pen-da-patan mereka. ”Jika terus berlang-sung seperti ini, kami merugi terus,” kata pria yang tak mau disebut nama-nya. Kepala Subdinas Pembinaan Industri Pariwisata, Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Arie B. Soedarto, juga mendapat keluh-an tentang penurunan pengunjung dari peng-usaha hiburan. ”(Pengunjung) tinggal 30 persen,” katanya.
Menurut Arie, penurunan itu hanya se-mentara saja, diperkirakan berlangsung satu hingga tiga minggu saja. Soal-nya, berkunjung ke tempat hiburan itu sudah menjadi kebutuhan dan bagian dari gaya hidup. ”Nanti juga pulih lagi,” katanya. Menyangkut peredaran narkoba di diskotek, Arie juga sudah memanggil pengelolanya dan meminta agar berpartisipasi. ”Mereka harus proak-tif (mencegah peredaran narkoba),” katanya.
Arie meyakinkan bahwa pihaknya te-rus berupaya ikut memberantas narkoba, di antaranya dengan kampanye Fun without Drug. Soal kampanye ini, Arie menyatakan sudah berkoordinasi de-ngan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Badan Narkotika Provinsi, dan Polda Me-tro Jaya. Tak mengherankan, kini di pintu masuk diskotek terpasang papan bertulisan Fun without Drug.
”Disko tanpa narkoba, kenapa t-idak?” kata Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Firman Gani.
Nurlis E. Meuko, Lis Yuliawati (Jakarta), dan Joniansyah (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo