Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerjaan dan hobi saya memiliki risiko tinggi. Di situlah pentingnya saya memiliki kartu identitas DNA.” Pengusaha kondang Setiawan Djody, 56 tahun, mengungkap salah satu isi dompetnya itu kepada Tempo, pekan lalu. Sebagai pebisnis di bidang perminyakan, ayah delapan anak itu memang terbiasa terbang ke mana-mana. Tak hanya pergi ke berbagai wilayah Indonesia, ia juga sering melawat ke berbagai penjuru dunia seperti Siberia, Chad, dan Kazakhstan. Musibah bisa saja datang termasuk kecelakaan pesawat terbang yang bisa merenggut nyawa.
Risiko serupa juga mengincar pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, ini saat melakukan jenis olahraga yang disukainya: surfing dan panjat tebing. Djody pun pernah menjadi Ketua Federasi Panjat Tebing Indonesia selama hampir 10 tahun pada 1990-an.
Itu sebabnya dia selalu membawa kartu identitas DNA (deoxyribonucleic acid atau asam deoksiribonukleat) saat bepergian. Alasannya untuk berjaga-jaga jika kecelakaan menimpa dirinya, meski dalam hati kecil Djody tentu saja tak ingin nasib nahas benar-benar terjadi. Kartu itu niscaya sangat membantu petugas forensik untuk mengenali dirinya .
Seukuran kartu tanda penduduk (KTP), kartu tersebut tidak berisi tulisan dengan huruf Latin, melainkan kode-kode khusus DNA yang tampilannya sekilas mirip sebuah barcode produk yang dijual di supermarket. ”Identitas DNA saya dibuat di Moskow, Rusia, awal 1990-an,” kata Djody.
Pembuatannya melibatkan seorang dokter wanita yang bersuamikan pejabat tinggi di kalangan militer Rusia. Djody kenal dengan ahli DNA itu saat ia menjadi Ketua Federasi Persahabatan Indonesia-Rusia. Untuk keperluan identifikasi, sampel darah, kulit, dan rambut Djody diambil. Proses pengambilan sampel selesai dalam sehari, tapi analisisnya di laboratorium butuh waktu hingga dua minggu.
Kini, keberadaan kartu itu makin terasa penting bagi Djody. ”Apalagi, saat ini begitu banyak teror,” katanya. Orang tentu masih ingat bom yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Begitu pula bom yang menghajar Bali pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005. Para korbannya selalu sulit dikenali karena telah hancur berkeping-keping atau hangus terbakar.
Buat mengenali korban ledakan bom, petugas forensik biasa memanfaatkan teknologi uji DNA. Identifikasi dilakukan dengan membandingkan DNA mayat dengan DNA keluarganya. Mereka akan meneliti minimal 13 lokus alias daerah DNA milik korban, sesuai dengan standar internasional, lalu mencocokkannya dengan DNA keluarganya. ”Akurasinya mencapai 99,9 persen,” kata dokter Djaja Surya Atmadja, ahli forensik dari FKUI-RSCM, Jakarta, yang sering terlibat dalam identifikasi korban berbagai kasus bom di Indonesia.
Jangan heran jika kini jasad yang disebut-sebut sebagai Dr Azahari, teroris yang paling dicari di Asia Tenggara juga akan dipastikan identitasnya lewat uji DNA. Rabu pekan lalu, dia tewas akibat ledakan bom yang dibuatnya sendiri saat dikepung polisi di sebuah rumah di Jalan Flamboyan Raya, Kota Batu, Jawa Timur. Menteri Luar Negeri Nur Hasan Wirajuda akan bekerja sama dengan pemerintah Malaysia untuk mengidentifikasinya. ”DNA mayat itu akan dibandingkan DNA keluarganya di Malaysia,” kata Wirajuda.
Teknologi uji DNA dikembangkan pertama kali oleh Alec Jeffreys, ahli genetika dari Inggris, pada 1984. Ia menemukan, DNA dekat gen beta globin ternyata dapat melacak berbagai minisatelit lain yang tersebar dalam seluruh kromosom. Minisatelit yang disebut Variable Number of Tandem Repeats (VNTR) ini merupakan suatu DNA non-coding (intron) yang bersifat individualspecific.
Penemuan Alec mula-mula diterapkan untuk mengungkap suatu kasus pemerkosaan dan pembunuhan berantai. Setelah dua tahun menjadi misteri, pelakunya, Colin Pitchfork, akhirnya bisa ditemukan. Uji DNA sendiri baru dipakai sebagai bukti di pengadilan di Amerika Serikat pada 1988 dalam kasus Tommy Lee Andrews.
Mirip sidik jari, setiap orang memiliki DNA fingerprinting yang unik dan berbeda satu sama lain. Bedanya, jika sidik jari cuma bisa diambil dari ujung jari dan bisa diubah dengan operasi, DNA fingerprinting tidak begitu. Identitas DNA bisa diambil dari seluruh sel, jaringan, dan organ tubuh seseorang, dan hasil semuanya akan sama. Identitas ini tak bisa diubah dengan cara apa pun. Karena itulah, ”DNA fingerprinting dengan cepat menjadi metode primer untuk identifikasi dan pembeda antarmanusia,” kata David F. Betsch, ahli bioteknologi dari Iowa State University Office of Biotechnology, Amerika Serikat.
Dalam uji DNA, ahli forensik biasanya melakukan pelacakan DNA pada lokus-lokus yang bersifat polimorfik (beragam) dan individual specific. Djaja menyebut, DNA yang diperiksa bisa DNA intron (non-coding DNA) maupun ekson (coding DNA). ”Pada umumnya, lokus-lokus ini tersebar di telomere, kepala dari ujung kromosom yang merupakan molekul pembawa gen,” katanya. Karena itulah, DNA seseorang juga memiliki kemiripan dengan DNA keluarganya.
Orang yang memiliki kartu DNA akan mudah diidentifikasi jika menjadi korban kecelakaan atau ledakan bom. Sekalipun setelah organ tubuhnya hancur berserakan atau gosong, dan kartu identitas yang dikantonginya hancur. Ahli forensik tak harus repot-repot mencari pembanding data DNA milik keluarga korban. Mereka cukup mencocokkan temuannya—bisa bersumber dari seserpih daging—dengan kartu DNA yang tersimpan di laboratorium atau rumah sakit tempat si korban membuat identitas DNA fingerprinting.
Selain membawa satu kartu DNA, Setiawan Djody pun menyimpan satu kartu lagi di Moskow. Jika suatu saat diperlukan untuk identifikasi, niscaya laboratorium tersebut tak keberatan untuk memberitahukan kode-kode DNA Djody.
Bukan hanya Djody, kini makin banyak orang kaya di Jakarta yang memiliki kartu DNA. Sejauh ini, Djaja Surya Atmadja mengaku sudah menangani pembuatan identitas DNA untuk 50-an orang. Selain kaya, kata Djaja, ”Mereka yang memiliki kartu DNA adalah orang-orang yang berisiko tinggi dalam hidupnya, misalnya sering bepergian dengan pesawat.”
Biayanya memang lumayan besar. Untuk pemeriksaan 13 lokus DNA diperlukan uang US$ 1.000 atau sekitar Rp 10 juta. Djody sendiri menyebut biaya yang dikeluarkan untuk membuat kartu identitas super akurat itu sekitar Rp 15-20 juta dalam nilai kurs sekarang.
Di sejumlah negara maju, identifikasi lewat DNA sudah biasa dilakukan. Di Inggris, misalnya, polisi punya database online lebih dari 360 ribu profil DNA yang siap dicocokkan dengan para pelaku kriminal. Selain itu, jika ada kasus-kasus kecelakaan massal, teknologi dan sumber daya untuk melakukan identifikasi DNA cukup memadai. Taiwan, sebagai contoh, juga memiliki 25 teknisi DNA yang siap bekerja 24 jam sehari selama sepekan. Djaja yang pernah menimba ilmu di sana sempat tertegun. Dengan teknologi yang canggih dan terkomputerisasi, ujarnya, ”Mereka cuma butuh waktu sekitar 4,5 jam untuk menguji satu sampel DNA.”
Di luar tujuan untuk identifikasi personal, uji DNA juga bisa dilakukan untuk menentukan spesies. Tindakan ini dilakukan untuk mengetahui apakah jaringan, darah, atau bahan biologis lainnya berasal dari manusia atau binatang tertentu. Teknik serupa juga bisa dimanfaatkan untuk menentukan jenis kelamin individu yang diperiksa.
Uji DNA bisa pula dipakai untuk mengetahui hubungan genetik alias keturunan seseorang. Sebenarnya, Djody bisa memanfaatkan uji ini, karena belakangan muncul pengakuan miring dari bekas istrinya, Sandy Harun. Seperti banyak diberitakan media infotainment, wanita cantik ini menyatakan seorang anaknya bukan dari hasil perkawinannya dengan Djody, melainkan hasil hubungan dengan orang lain. Toh, Djody tak ambil pusing. Soalnya, si anak jelas lahir saat Djody dan Sandy masih sah sebagai suami-istri. ”Saya punya kartu DNA bukan karena urusan itu, tapi karena profesi dan hobi saya memang berisiko tinggi,” katanya.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo