Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Prancis Rusuh, Demokrasi Mengeluh

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Radhar Panca Dahana
  • Pengamat budaya Prancis, tinggal di Jakarta

    LELAKI berperawakan sedang itu asli pribumi Prancis. Lahir di satu desa di wilayah Bourgogne, sekitar 27 tahun lalu. Wajahnya unik, rautnya keras seperti orang Slav, hidungnya agak berbelok bergaya Latin, tapi matanya biru terang seperti umumnya ras Jerman. Bisa jadi, delapan atau sepuluh generasi sebelumnya, leluhur Frederic Rondot—nama lelaki itu—adalah imigran dari salah satu wilayah kuno Eropa.

    Aku mengenalnya tak sengaja, lewat senyumnya yang manis dan ramah menyapa, di satu pesta keluarga imigran Arab Palestina. Sebuah pesta muslim lengkap dengan tata cara dan tradisi Arab yang kental. Ada kebuli, teh susu, loyang besar berisi kentang rebus, serta sejenis gulai kambing. Empat hingga enam orang mengitari loyang, lalu mencomot semua makanan dengan telapak tangan.

    Fred, begitu aku memanggilnya, menggapai ke arahku saat aku tiba dan merasa kehilangan orientasi. Prancis tulen itu mengenakan gamis lurik dan kopiah putih di kepalanya. Ia mualaf. Lebih dari dua tahun lalu dia memilih Islam sebagai dunia spiritualnya. Waktu yang cukup pendek untuk kita berprasangka ia adalah santri tekun yang bertanya segala hal tentang agama barunya.

    Dia tekun, itu benar. Dia tak banyak tahu tentang Islam, amat tidak benar. Tradisi muslim di berbagai bangsa, sentimen sejarah atau primordial, ia ketahui dengan baik. Hingga kita percaya ia meyakini semua prasangka historis Islam dengan kedalaman dan ketebalan hatinya. Dengan satu fanatisme.

    Hampir sehari penuh Fred mengajak saya berkeliling kota kelahirannya. Lain hari kami ke Dijon dan Lyon untuk menunjukkan tempat-tempat penting komunitas muslim—dan Arab, tentu saja—serta lokasi penting kaum ”zionis” dalam bahasa Fred. Dengan air muka berubah dan kata-kata penuh tekanan, ia menjelaskan bagaimana komunitas Yahudi menguasai perekonomian Prancis—juga Eropa—atau menciptakan perangkap bagi negeri-negeri Islam.

    Fred, sobat baru itu, memberiku hadiah di hari perpisahan: sekitab Quran berbahasa Prancis. Halaman pertama: ”Diterbitkan sebagai hibah pemerintah Arab Saudi”. Fred, sobat, kamu mengesankan.

    l l l

    MENGESANKAN tidak lantaran keramahannya, ia mualaf, pengetahuannya tentang Arab dan Islam, atau tur beberapa hari. Lebih dari itu, Fred telah memberiku penjelasan langue di balik kepalanya, mengenai Islam dalam stereotip serta stigma yang menurutku agak ”menjerat”. Satu dunia kognitif yang tampaknya menjadi hantu Islam, terlebih ketika ia mengetahui keberadaannya sebagai minoritas.

    Di negeri yang menganggap dirinya sebagai ibu kota ”budaya, ilmu, anggur, keju, parfum, busana, turisme, dan seterusnya” ini, Islam terwakili dengan kuat oleh imigran yang berasal dari negeri-negeri muslim Maghribi (Utara Afrika: Maroko, Aljazair, Tunisia), Sub-Sahara, dan Timur Tengah. Negeri-negeri yang membanjiri negara bekas kolonialnya dengan pelarian politik pada akhir 40-an dan 50-an. Disusul kemudian oleh banjir para pencari kerja di dekade berikutnya.

    Kini Prancis menjadi rumah Islam terbesar di Eropa dengan lebih dari 5 juta penduduk muslim (sekitar 8 persen dari 60-an juta populasi). Hal ini membuat Islam menjadi agama kedua di negeri oktagon itu. Sejak awal 70-an, perpindahan penduduk besar-besaran ini telah memberi sinyal masalah besar pada kemudian harinya. Bukan semata-mata karena stereotip dan stigma, tapi juga alasan-alasan pragmatis: mereka merebut kesempatan kerja pengangguran pribumi, yang persentasenya hampir dua digit dari jumlah tenaga kerja yang ada.

    Bersama gaya hidup mereka yang cukup eksklusif—hingga dua-tiga generasi kemudian—minoritas Arab segera memancing reaksi negatif dari sebagian warga ”asli”. Ditambah lagi dengan angka kriminalitas, peredaran dan penggunaan obat terlarang, serta perilaku kaum mudanya yang ”devian”, antipati pun berkembang, bahkan terorganisasi. Lahirnya beberapa partai ekstrem-kanan, seperti Partai Nasionalnya Jean-Marie Le Pen, bisa dilihat akarnya dari masalah ini.

    Sentimen negatif di kedua belah pihak kian berkembang. Beberapa sosiolog menyesalkan kurangnya usaha pemerintah untuk menjembatani atau mereduksi hal ini. Kekalahan kampanye Presiden Jacques Chirac dan pemerintahnya dalam referendum konstitusi Eropa beberapa waktu lalu tak terhindar dari sebab yang satu ini. Ekstrem kiri maupun kanan bersatu dalam sentimen yang pada akhirnya melukai jatidiri Prancis dengan semboyannya yang dahsyat: liberté, egalité, fraternité.

    Konflik laten pada akhirnya tak mampu menghindarkan Prancis dari perselisihan terbuka. Di berbagai wilayah, terutama pada 90-an, pertikaian hingga di tingkat fisik terjadi. Kaum pribumi, bahkan para petugas keamanan pemerintah (gendarme), memandang para imigran senantiasa dengan prasangka. Solidaritas kaum minoritas pun menguat. Satu gejala yang mengundang simpati dari minoritas lain, terutama dari para imigran asal Afrika hitam, yang juga bekas koloni Prancis.

    Pengentalan dua kubu terjadi dengan tegangan tinggi di antaranya. Menjadi bom waktu yang tiap saat dapat meledak dengan satu picu kecil saja.

    l l l

    LEDAKAN itu akhirnya benar terjadi. Satu hal yang sudah diperkirakan. Pemicunya adalah satu peristiwa yang sesungguhnya ”bukan apa-apa” di banlieue sebelah timur laut Paris, di Clichy-sous-Bois. Dua remaja imigran, Bouna Traore (15) asal Mali dan Zyed Benna (17) asal Tunisia, tersengat listrik saat memanjat menara bertegangan tinggi. Mereka, yang semula tengah bermain bola, ketakutan saat didatangi beberapa polisi.

    Kepolisian nasional menyanggah anggapan bahwa petugasnya mengancam dan mengejar para remaja itu. Namun cekaman rasa takut bukanlah hal yang mengada-ada. Sudah biasa para remaja yang berkelompok di banlieue, semacam kota penyangga, mengalami penangkapan untuk diteror pertanyaan oleh polisi yang menduga mereka terlibat gang narkotik atau pengganggu keamanan.

    Maka, kematian ”tak diduga” dua remaja itu ibarat pemantik bagi sebuah aksi dan kerusuhan yang pada akhirnya menyebar ke seluruh sudut Prancis. Kerusuhan yang berlangsung lebih dari dua pekan itu mengingatkan orang pada protes nasional pemuda Prancis pada 1968. Hingga hari ke-11 dari kerusuhan di atas sudah 1.200 orang ditahan, 4.300 kendaraan dirusak dan dibakar. Melulu pada hari ke-12, 1.408 kendaraan jadi korban di 274 kota.

    Keadaan begitu mencekam saat ini. Presiden Jacques Chirac pada akhirnya menetapkan keadaan darurat, berdasar undang-undang yang dibuat—dan tak pernah digunakan sejak—50 tahun lalu. Siapa pun yang melanggar akan dikenai denda US$ 4.400 (setara dengan Rp 44 juta) serta penjara hingga dua bulan. Para pejabat menyatakan pemberlakuan undang-undang itu berakibat positif. Dalam arti—walau tidak banyak—kerusuhan sudah menurun besaran dan kualitasnya.

    Tapi suasana tetap mencekam. Terutama di hampir semua banlieue di seluruh Prancis. Bagaimana tidak jika di wilayah-wilayah ini hidup imigran berbagai bangsa. Lebih dari 4,5 juta atau sekitar 90 persen warga muslim Arab bertempat tinggal di kawasan ini. Sebuah pilihan yang tak bisa mereka tawar. Mereka tak bisa tinggal di tengah kota yang supermahal atau menjadi petani desa yang membutuhkan lahan luas.

    Banlieue adalah pilihan akhir di mana semua bisa diraih dengan biaya minimal. Minimal dalam segalanya; perhatian pemerintah, kesempatan kerja, fasilitas, atau program integrasi. Maka, menjamurlah pemuda putus sekolah yang merasa apatis dengan pendidikan karena toh tak menjamin pekerjaan. Pengangguran di wilayah ini bisa mencapai 40 persen, empat kali lipat angka nasional.

    Di banlieue inilah semuanya bermula. Minimalitas sebagai warga melahirkan kekecewaan, frustrasi, disorientasi, amarah terpendam. Melahirkan rasa ”bukan bagian dari Prancis” dan sebagainya. Jika kemudian penyalahgunaan obat dan kriminalitas tinggi, hal itu bisa dipandang sebagai akibat yang alamiah. ”Merekalah anak-anak yang merasa tak pernah dianggap benar-benar Prancis (walau mereka adalah generasi keempat yang lahir di negeri itu),” kata Sidaty Siby. Dia warga Prancis keturunan Mali, Afrika, dan Ketua Asosiasi Franco-Afrika di Clichy-sous-Bois.

    ”Ketika mereka mencari kerja, mereka tak menemukannya; ketika mereka meminta tempat tinggal, mereka tak mendapatkannya. Kami ingin semua berhenti membakar mobil, tapi masyarakat mesti mengerti, mereka punya alasan untuk itu.” Kalimat Siby tampaknya berhasil mewakili persoalan yang ada. Yang membuat setiap pihak di negeri kandung demokrasi ini berpikir ulang: bagaimana demokrasi ternyata produktif melahirkan diskriminasi?

    l l l

    PERDANA Menteri Prancis Dominique Villepin adalah salah satu yang menyadari dan mau mengakui itu. Ia mengakui diskriminasi telah terjadi di kalangan anak muda banlieue, dan Prancis dianggapnya gagal membangun ide egalitarian. ”Republik ini ada dalam momen kebenaran,” katanya di depan parlemen, ”Efektivitas model integrasi kita harus dipertanyakan... (dan) kita harus memiliki republik yang ramah di mana setiap orang dihargai.”

    Dengan kejujuran dan empatinya, Villepin telah membuka satu diskursus besar tentang ide demokrasi. Di mana Prancis, sebagai penggagas utamanya, justru melahirkan banyak paradoks: dunia yang demokratis juga menjadi bidan dari realitas non-demokratis. Inilah bara dalam sekam demokrasi. Satu ancaman yang harus diwaspadai siapa pun.

    Bukan hanya oleh Nicolas Sarkozy, pesaing Villepin untuk kandidasi presiden, yang sikap kerasnya dianggap sebagai penyebab semua ini. Atau oleh Heinz-Christian Strache, pemimpin Partai Kebebasan Swiss yang xenophobic, saat ia menyerukan ”Stop imigrasi!” sebagai reaksi rusuhnya Prancis. Begitu pun Inggris, Belgia yang mulai merasakan menjalarnya virus kerusuhan. Di seluruh Eropa, hingga Rusia, saat Gennady Zyganov, Ketua Partai Komunis Rusia, meyakini ”rusuh Prancis” bisa menjalar sampai ke negerinya.

    Dan betapa kita di kejauhan juga mesti turut waspada. Adakah pilihan demokrasi kita menyimpan bara yang sama? Terutama ketika sistem itu justru mengembangkan sentimen kedaerahan, kecurigaan etnis serta agama, kekerasan separatis, dan lainnya.

    Abdelkarim Carraso, pemimpin sejuta umat Islam Spanyol, mengirim pesan berikut kepada ”benua putih” itu: ”Eropa harus sungguh-sungguh membangun ide kultur campuran (mixed culture) atau ia tak akan punya masa depan (future).”

    Rasanya pesan ini layak didengar dan dicamkan dengan sepatutnya.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus