Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Berpisah di Pondok Indah

Kembar siam dempet panggul asal Bandung dapat dipisahkan lewat operasi. Tim dokter berupaya ketat mencegah infeksi.

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di ruang gawat darurat Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, ada dua sosok bayi kembar yang sedang menjadi pusat perhatian. Dokter, perawat, maupun pengunjung yang melintas akan me-longok dan menyapa Maesa dan Muthi, kedua bayi montok itu.

Muthi, yang didampingi orang tuanya, tampak terus tersenyum memperlihat-kan lesung pipitnya saat lampu kamera menerangi wajahnya. Sedangkan Maesa- asyik bermain giring-giring bersama seorang perawat. Ia langsung merengek saat si perawat hendak berlalu.

Pekan lalu, mereka berhasil melampaui ”tahap gawat” dalam kehidupan di usia yang belia: sembilan bulan. Kedua bayi berkulit kuning langsat bernama lengkap Maesa Fauziyah Prameswari dan Muthi Fauziyah Prameswari itu berhasil menjalani operasi pemisahan kembar siam.

Maesa dan Muthi lahir ke dunia de-ngan kondisi dempet di bagian tulang panggul dan tulang belakang. Dalam is-ti-lah medis, kembar siam seperti me-reka disebut pygopagus atau illeopagus. Sebuah studi menyebutkan, jumlah kasus seperti mereka sekitar 19 persen dari bayi kembar siam.

Tulang panggul dan tulang belakang Maesa dan Muthi menyatu di lumbal 4 hingga ke tulang ekor. Mereka juga berbagi organ dalam, seperti sepasang ginjal, satu saluran kemih atau uretra, satu uterus, dan usus besarnya menyatu 3 sentimeter di atas rektum serta cuma memiliki satu anus.

Sewaktu lahir, 29 April tahun lalu, bobot keduanya hanya 4,6 kilogram. Me-reka lahir lewat operasi caesar di Rumah Sakit Erna, Antapani, Bandung Selatan. Orang tua mereka, Sinta Mayanti, 33 tahun, dan Aam Muharam, 35 tahun, telah menunggu kedatangan buah hati itu selama enam tahun.

Sinta baru mengetahui kondisi bayi-nya empat hari setelah melahirkan. ”Tak ada yang memberi tahu, mungkin takut saya syok,” katanya. Toh, ia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang akhirnya harus ia hadapi dengan tabah, sambil tetap memberikan air susu ibu kepada keduanya.

Begitu pun Sinta dan Aam sempat tak percaya diri dalam mengurus bayi-bayi mereka, sehingga Muthi dan Maesa dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, selama dua minggu. Perawat-an dihentikan lantaran biayanya besar sekali. ”Selanjutnya kami rawat sendiri- di rumah,” kata Aam, yang cuma bekerja- sebagai tenaga honorer di Pemda Kabupaten Bandung.

Alasan biaya pula yang membuat Aam urung mengoperasi si kembar di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta-. Soalnya, ia mendengar biaya operasi diperkirakan mencapai Rp 2 miliar. ”Kami tak sanggup,” kata Aam. Kendati pasrah akan masa depan anaknya, pasangan ini tak berhenti berikhtiar.

Atas anjuran seorang adiknya, Aam akhirnya mendatangi Prof Darmawan Kartono, ahli bedah anak di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Gayung- bersambut, Dokter Darmawan bersedia membantu mereka.

Dokter Darmawan bahkan turun ta-ngan sendiri menghimpun 43 koleganya- untuk bergabung melakukan operasi pemisahan. Mereka berasal dari Rumah Sakit Pondok Indah, RS Cipto Mangun-kusumo, RS Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, RS Fatmawati, RSAB Harapan Kita, RS Sentra Medika, dan RS Koja.

Adapun untuk biaya, sebagian besar ditanggung Yayasan Puspita dari RS Pondok Indah. Operasi itu diper-kirakan menelan biaya besar, tapi jauh le-bih murah- ketimbang biaya operasi kem-bar siam Angie-Anjeli di Singapura yang menelan ongkos Rp 2,75 miliar - Rp 4,4 miliar.

”Ini sebuah tantangan besar,” kata Dr Hermasyur Kartowisastro, Direktur Eksekutif RS Pondok Indah, yang menjadi tuan rumah operasi. Adapun bagi Dokter Darmawan, ketua tim dokter, yang telah melakukan operasi pemisah-an kembar siam sebanyak 24 kali, ini adalah kasus pygopagus pertama yang ia tangani.

Operasi yang semula dijadwalkan tanggal 16 Januari sempat tertunda dua kali. Sebab, tim dokter ingin si kembar benar-benar bersih dari infeksi. Untuk soal ini, tim dokter menerapkan kondisi ekstrahati-hati bagi si kembar.

Tiap petugas yang menangani si kembar menjelang operasi harus menjalani pemeriksaan secara intensif, ter-masuk pemeriksaan lendir hidung. -Bahkan, demi perawatan Maesa dan Muthi, -ruang gawat darurat Rumah Sakit Pondok- -Indah dikosongkan selama 10 hari. Dan pada hari operasi, semua jadwal operasi yang lain dibatalkan kecuali operasi yang bersifat akut.

Operasi maraton yang berlangsung 14 jam dilakukan dalam tiga tahap, diawali- dengan pembiusan. Tahap pertama, dok-ter bedah anak melakukan sayatan pertama. Selama penyayatan ini kaki si kembar dililit dengan kain kasa sangat tebal. ”Untuk menjaga kondisi si kembar dari suhu ruang operasi yang sangat dingin,” kata Darmawan.

Tahap kedua bisa dibilang tahap pa-ling rumit. Para ahli bedah tulang dan bedah saraf mulai memisahkan tulang belakang yang menyatu. Pada tahap ini perkiraan tim dokter tentang bakal terjadinya perdarahan menjadi kenyataan. Si kembar bahkan dua kali mengalami perdarahan hebat.

Beruntung si kembar sudah dipersiap-kan sampai berusia sembilan bulan untuk menjalani operasi ini. Usia terbaik untuk mengoperasi kembar siam mini-mal 4-6 bulan. ”Saat itu otot sudah padat- agar jika terjadi perdarahan tak akan parah,” kata Darmawan.

Toh, keduanya masing-masing terpaksa mendapat transfusi darah hingga 600 cc. Padahal mereka yang memiliki berat badan 11-12 kilogram, seperti si kembar, secara teoretis hanya memiliki 800 cc darah dalam tubuhnya.

Setelah perdarahan bisa diatasi, para dokter membagi organ-organ yang menyatu berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan sebelumnya dengan MRI, CT-Scan, dan rontgen. ”Kami sempat khawatir karena jantung Maesa lebih kecil dan lemah. Tapi ternyata kini kondisinya semakin baik,” kata Dr Ruswan Dahlan, ahli anestesi.

Muthi dan Maesa masing-masing- cu-ma mendapat satu ginjal. Maesa men-dapat saluran kemih dan anus buat-an. Sementara tungkai mereka yang me-nyatu—Maesa di sebelah kanan dan Muthi di sebelah kiri—terpaksa tak bisa digunakan. ”Untuk dipasangi prostesis- atau kaki palsu juga tampaknya tak akan bisa,” kata Hermasyur.

Bukan berarti sepotong kaki itu terbuang percuma. Kulit dari kaki inilah yang digunakan untuk menutup luka sepanjang 15-20 sentimeter akibat sayatan pemisahan. Tindakan itulah yang dilakukan para ahli bedah plastik di tahap terakhir.

Kondisi kesehatan Muthi dan Maesa yang prima banyak membantu pemulih-an keduanya. Mereka langsung sadar sehari setelah operasi. Bahkan pekan ini, jika tak ada halangan, mereka sudah bisa meninggalkan rumah sakit.

Hermasyur takjub pada sikap pasrah pasangan Aam dan Sinta atas segala beban risiko buruk yang mungkin saja terjadi. ”Saya bahagia atas keberhasilan operasi ini. Tapi saya juga sudah ikhlas sejak mereka lahir,” kata Sinta.

Kini Maesa dan Muthi sudah bisa tersenyum. Setidaknya mereka telah me-lewati satu masa kritis dalam kehidup-an. Dan mereka bisa bermain dan lebih leluasa bergerak ketimbang sebe-lumnya. Tentu saja perjalanan kesehatan ke-dua bayi untuk benar-benar normal masih panjang. Perlu perhatian yang juga -istimewa.

Utami Widowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus