Santa Fe, kereta api ternama di Amerika tahun 1970-an, melaju pelan memasuki stasiun tua berarsitektur Eropa. Peluit dari lokomotif diesel itu berteriak panjang, frooong-frooong…, seraya kereta terus berderak. Di belakangnya, di jalur sebelah, sebuah kereta barang lain dengan gerbong penuh mobil Volkswagen siap berangkat. Setelah sinyal tanda aman menyala, kereta itu merangkak.
Pemandangan itu bukan berasal dari sebuah kota kecil di Amerika atau Jerman, melainkan dari dalam rumah Kemas Yulius, 36 tahun, di bilangan Duren Sawit, Jakarta Timur. Di sebuah ruangan di lantai dua, eksekutif perusahaan sekuritas Jakarta ini menyulap ruang kerja menjadi sebuah miniatur Kota VW. Ada bangunan stasiun dengan tiga rel berjajar, gedung perkantoran berarsitektur Eropa, showroom mobil yang terang menyala dengan mobil kodok yang terus berputar-putar, dan tak lupa ada helipad dengan helikopter merah di pojok gedung perkantoran.
Di ruang inilah Kemas bisa menghabiskan waktu berjam-jam melepas kepenatan setelah lelah bekerja. Di atas rel yang meliuk-liuk seperti ular, ada empat kereta yang siap dijalankan serentak dengan tenaga listrik berkekuatan 16 volt. Selepas kereta barang keluar stasiun, buru-buru ayah seorang putri ini berlari dan menarik vesel manual, klik…, jalur pun berpindah dan kereta kargo di belakangnya aman dari tabrakan.
Penggemar miniatur kereta api seperti ini memang belakangan menunjukkan geliat. Pada sebuah pameran di Mal Pondok Indah, Jakarta, akhir tahun lalu, stand Roco—produsen pembuat kereta model—selalu ramai didatangi pengunjung. Bahkan ada yang sengaja datang dari luar kota, dari Bandung, misalnya.
"Sebelumnya kereta model diminati oleh opah-opah, atau pensiunan jenderal," ujar Dr. Eko Soekotjo, Ketua Indonesian Railway Modeller Club (IRMC), yang berbasis di Bandung. "Belakangan, hobi ini juga sudah merambah ke kalangan lebih muda, meski biasanya para penggemar muda menyenangi hobi ini setelah mendapat warisan kereta dari orang tuanya."
Tercatat ada beberapa nama beken, seperti mantan presiden B.J. Habibie, mantan Kepala Staf Umum ABRI Letjen (Purn.) Soeyono, yang menggemari hobi mengasyikkan ini. Permainan ini menggabungkan seni detail kereta api, pengetahuan sejarah, arsitektur, dan teknologi.
Para penggemar kereta model ini pun dapat berkelana jauh ke era sebelum Perang Dunia pertama. Mereka, misalnya, bisa menikmati seluk-beluk kereta api Kaisar Wilhelm II, yang aslinya beredar pada 1838 dan belakangan dibuat modelnya oleh Marklin—pesaing Roco. Kereta ini melayani perjalanan para petinggi Imperium Jerman Raya, seperti Raja Ludwig II. Model yang dibuat secara khusus bagi pencinta Marklin itu menyajikan sentuhan kebangsawanan Jerman. Dari loko antik, lampu kabin yang bisa menyala, karpet lantai, tempat duduk, hingga toilet dibuat seperti aslinya.
Ada juga generasi yang lebih muda dan sama legendarisnya dari Amerika. Big Boys adalah kereta uap yang dibuat pada zaman cowboy, tepatnya pada 1918, yang menjelajahi belahan barat benua itu. Big Boys merupakan kereta dengan rangkaian terpanjang. Panjang rangkaian gerbongnya sampai sekarang pun tak pernah tertandingi, menjulur sejauh 1,6 kilometer.
Periode sejarah kereta api dibagi dalam lima era, yang masing-masing menunjukkan keunggulan teknologi pada masanya. Era pertama, seperti Wilhelm II, beranggotakan kereta yang dibuat pada 1835-1925. Era kedua adalah kereta tahun 1925-1945, ketiga 1945-1970, keempat 1970-1990, dan terakhir kereta modern supercepat buatan setelah tahun 1990.
Di antara para kolektor memang ada yang menyenangi bentuk-bentuk kereta klasik lantaran nilai historisnya. Pasangan Sony Wicaksono-Fita Mayasari dari Tanjung Priok bahkan mengoleksi lebih dari 40 miniatur lokomotif klasik bermesin uap (steam) bersama ratusan gerbongnya. Sony, pengusaha pelayaran itu, bahkan mendesain sendiri model kota kecil di ruang tamu rumahnya seluas 12 meter persegi, lengkap dengan bukit dan terowongan, untuk menjalankan keretanya.
Mengoperasikan kereta model memang mengasyikkan. "Seorang pemain memerankan diri sebagai masinis, kepala stasiun, petugas sinyal, sekaligus arsitek yang merancang bangun keseluruhan kota mini," ujar Adnan Sipahutar, 29 tahun, pengelola toko hobi Anthony's di Mal Ratu Plaza, Jakarta, yang menjadi distributor Marklin.
Keasyikan inilah yang membuat para penggemarnya bisa terjangkiti "virus kereta api". Beni Ahadi, 40 tahun, pengusaha percetakan di Bandung, rela menghabiskan puluhan juta rupiah untuk menguber kereta-keretaan itu. Sony pun bisa sengaja belanja kereta ke Singapura dan Malaysia untuk membeli kereta yang tidak ada di Indonesia.
Kemas Yulius bahkan lebih beruntung. Ia bisa mendapatkan kereta langsung dari negeri asal pembuatnya di Jerman ataupun Belanda. Lewat istrinya, seorang pramugari Garuda Indonesia dengan rute perjalanan ke Eropa, ia mudah memperoleh barang kesukaan itu.
Seberapa banyak uang yang harus disediakan untuk berbelanja kereta mini ini? Untuk para pemula, satu set awal kereta atau starter set bisa mencapai Rp 2,5 juta. Dari sini, para penggemar bisa mengembangkan hobi sesuai dengan tebal-tipisnya kantong. Harga miniatur lokomotif yang dibuat khusus atau limited edition, seperti Kaisar Wilhelm II dan Big Boys, bisa mencapai Rp 40 juta. Itu pun hanya berskala 1 berbanding 87 dari ukuran aslinya—biasa disebut skala HO. Semakin besar ukuran, semakin mahal pula harganya.
Dilihat dari skala, ada beberapa kategori lain kereta api model ini. Skala N lebih kecil dari HO, 1 berbanding 160, sementara yang lebih kecil lagi adalah skala Z, 1 berbanding 220 dari ukuran aslinya. Para penggemar di Indonesia umumnya lebih menyukai skala HO tersebut.
Dengan perkembangan teknologi digital dan komputer, kini orang bahkan bisa membuat miniatur kota seluas lantai Bursa Efek Jakarta, yang bisa menampung lalu-lalang 80 kereta sekaligus. "Kalau sudah jadi hobi, tak ada batasnya," kata Eko.
Para penggemar kereta model biasanya memang juga menyukai kereta sungguhan. Bermula dari menggemari kereta model, sebuah kelompok di Bandung kini tergerak untuk menyelamatkan loko-loko tua peninggalan Belanda. Klub itu dinamai Friends of CC-200—diambil dari nama lokomotif tua yang sekarang hanya tinggal tiga buah di Indonesia. "Semuanya ada di depo Cirebon," kata Hariman Widiarto, pendiri klub itu.
Di antara para penggemar, bahkan ada yang benar-benar bermimpi bisa memajang lokomotif tua di halaman rumah mereka. "Sayang, membawanya susah," kata Kemas Yulius.
Edy Budiyarso, Bobby Gunawan (Bandung), dan Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini