Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Asereje Je... Je... Je...

Trio Las Ketchup yang tak dikenal tiba-tiba muncul dengan sebuah lagu yang begitu digandrungi penggemar musik pop. Mengapa lagu itu begitu populer?

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga bersaudara asal Cordoba itu muncul sekonyong-konyong. Tanpa masa lalu, tanpa kisah tentang asal-muasal perjalanan musik, tapi bak sebuah kerja seorang pesulap menjentikkan tongkatnya: abrakadabra atau simsalabim. Lola, Lucia, dan kakak tersulung mereka, Pilar Munoz, menyanyikan Asereje, sebuah lagu yang liriknya dibawakan seperti layaknya sebuah rap, tapi dengan pendekatan yang lebih melodius. Kita tahu, semua kaget, terpesona. Kata asereje sendiri tak punya makna apa-apa. Tapi rumba, hip-hop, plus sepercik-dua percik flamenco yang berjalin-berkelindan menggerakkan lagu ini benar-benar membuat orang gila. Ketiga penyanyi cantik Spanyol ini cuma melantunkan lirik nyaris tanpa putus, dengan nada-nada yang turun tangga setingkat demi setingkat. Melodinya sederhana, cara membawakannya bersahaja. Mereka menyanyi tanpa pretensi menggubris harmoni lebih jauh. Trio yang menyebut diri Las Ketchup ini menyanyi dalam satu garis lurus, satu suara. Tapi keajaiban itu terjadi. Sony Music, perusahaan yang mengedarkan album ini sejak dua bulan lalu, membeberkan rekor mengesankan: 125 ribu kopi terjual di negeri ini. Di pasar internasional single trio Las Ketchup ini terjual lebih dari empat juta kopi. Album Asereje telah tampil dalam versi Spanyol, Inggris, bahkan belakangan ada yang membuat rekaman lagu itu dalam bahasa Mandarin. Patut dicatat, Asereje bukan cuma musik. Ia disodorkan dalam satu paket dengan tarian yang bisa ditonton lewat klip video di televisi, dan dari sinilah orang kemudian mempelajari tari Asereje. Sebuah koreografi yang terdiri dari empat gerakan pokok yang tak terlalu susah diikuti oleh siapa pun. Namun siapa sih yang mempunyai kekuatan mukjizat yang berada di balik lagu ini: menciptakan sesuatu dari ketiadaan? Dari orang yang tak punya reputasi? Ketiga gadis di usia 20-an tahun ini sebenarnya berdarah musik. Ayahanda mereka seorang gitaris flamenco tradisional yang cukup terkenal di Cordoba, El Tomate (berarti tomat). Tapi tiga serangkai Lola-Lucia-Pilar Munoz tetap merupakan nama yang asing di dunia musik, bahkan untuk kalangan musik pop tingkat lokal di Cordoba. Sejauh ini, mungkin kita bisa berspekulasi tentang kekuatan para pemodal yang menguasai dunia rekaman dan budaya pop: MTv plus kekuatan kapitalis tak kasat mata lainnya, invisible hands. Tapi keberhasilan Asereje di pasar merupakan contoh yang paling instan dari dunia musik pop. Pengamat musik pop Spanyol, Inigo Lopez Palacios, misalnya, membandingkan Asereje dengan lagu Macarena, yang muncul dan menggemparkan pada 1996. Macarena adalah lagu yang dibawakan kelompok Los del Rios, yang begitu cepat meraih popularitas, namun lekas tenggelam. Sekarang, karena Los del Rios dan Las Ketchup sama-sama tidak mempunyai lagu andalan lain di luar Asereje dan Macarena, pencapaian mereka seperti es krim. Enak dan gurih dijilat, tapi lekas meleleh. Asereje adalah musik hasil kawin silang rumba, hip-hop, buleria, dan masih banyak lagi. Tapi, diakui atau tidak, sukses Asereje lebih kurang merupakan akibat sebuah tren, yakni kecenderungan yang memaksa para penggemar musik pop memalingkan wajahnya ke Spanyol atau Amerika Latin—termasuk ke negeri misterius Fidel Castro, Kuba, yang ternyata sangat piawai mengembangkan musik salsa. Sementara para musikus yang sudah banyak makan garam seperti Chrisye di sini atau Miles Davis di Amerika dirundung keluh-kesah tentang matinya kreativitas musik pop dewasa ini, diam-diam musik Latin mengambil jalan keluar lewat pintu belakang. Dan hasilnya, sebagaimana disaksikan kemudian, musik Latin mengingatkan orang untuk kembali ke khitah, kembali ke akar musik: irama. Entah disadari atau tidak, bayangan-bayangan yang mengingatkan kita pada masyarakat tradisional tempat musik dan tari merupakan bagian dalam upacara-upacara sakral bermunculan di kepala kita. Lihat betapa tingginya tingkat keragaman instrumen perkusi yang dipergunakan dalam musik ini. Dan suasana massal yang nyaris anarkis pun tak terelakkan lagi muncul, manakala bunyi peluit polisi lalu lintas tiba-tiba terdengar "memotong" ritme yang bergemuruh. Dan semua bergerak ritmis mengikuti Asereje. Tak ada perbedaan antara penari dan bukan penari, antara orang tua dan anak-anak, antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah. Untuk sementara, terkesan bahwa arah perkembangan musik telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Idrus F. Shahab dan Hadriani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus