Di Penjara Tanjung Gusta, Medan, dengan terpatah-patah Abdullah bin Andah bersumpah. "Demi Allah, saya tidak terlibat," katanya saat ditemui TEMPO, Rabu pekan lalu, dengan kepala terus tertunduk, mencoba mengingat secara rinci peristiwa yang telah yang menimpanya selama ini. "Saya hanya berharap bisa bebas secepatnya. Saya ingin memberi tahu tetangga di kampung bahwa saya tak melakukan perbuatan keji itu," tuturnya sepotong-sepotong dengan logat Aceh yang kental.
Lelaki bertubuh gempal itu memang seperti orang linglung. "Sejak datang ke sini dia sudah stres berat, bahkan hampir hilang ingatan. Badannya tak terurus, berpakaian seenaknya, dan jorok," kata Yunaidhi Isya, kepala pembinaan penjara. Beban yang dipanggul Abdullah memang tak terperikan.
Empat belas tahun silam, di suatu pagi 19 Mei 1989, kampungnya di Blang Peuria Geudong, Aceh Utara, geger. Seorang bocah ditemukan mengapung tak bernyawa di pinggir kali. Keadaannya mengenaskan. Wajahnya biru lebam tanda habis dianiaya berat. Di pinggangnya bergayut sebongkah batu diikat tali nilon. Segera dikenali, mayat itu adalah Heriana Syuhada, bocah berusia sembilan tahun anak warga desa.
Tak pelak, pembunuhan keji itu segera menyedot perhatian luas. Media lokal melaporkannya dengan dramatis. Masyarakat marah dan mendesak aparat menangkap pelakunya segera.
Singkat cerita, polisi yang telah dilapori penculikan Heriana mengendus keterlibatan Syaiful Bahri, seorang pemuda berandalan di desa itu. Karakter tulisan tangannya cocok dengan tulisan di surat ancaman yang diterima keluarga korban. Syaiful pun mengaku.
Tapi polisi tak percaya dia beraksi sendirian. Dengan teknik interogasi "menghajar tulang kering, menjepret mata", Syaiful dipaksa bernyanyi. Tak tahan disiksa, Syaiful lalu menyebut nama Abdullah bin Andah, kernet truk yang bekerja dengan ayah Syaiful. "Seorang anggota polisi pernah mengancam saya. Dia bilang, Bang Lah (nama panggilan Abdullah) saja sudah mengaku, apa saya mau tunggu sampai tulang rusuk saya dipatahkan?" kata Syaiful kepada TEMPO.
Abdullah pun begitu. Di bawah tekanan, lelaki buta huruf ini membubuhkan cap jempolnya pada berita acara pemeriksaan: mengakui kisah keterlibatannya, seperti yang telah diketikkan polisi.
Maka, petaka itu pun datang menerjang Abdullah, yang ketika itu berumur 35 tahun. Di Pengadilan Negeri Lhokseumawe, majelis hakim yang diketuai Chaidir menyatakannya "bersalah secara sah dan meyakinkan" dan memvonisnya dengan hukuman bui seumur hidup. Bersama Syaiful, Abdullah pun meringkuk di Penjara Lhokseumawe. Upayanya membela diri sia-sia. Putusan pengadilan itu terus dikukuhkan sampai tingkat kasasi.
Sampai kemudian terjadilah sebuah peristiwa mengagetkan. Merasa berdosa telah ikut menjebloskan Abdullah, empat tahun setelah mereka dibui Syaiful lalu meneken sebuah pernyataan di atas kertas segel. Bunyinya, "Saya menerangkan dengan sesungguhnya, Saudara Abdullah bin Andah tidak ikut dalam perkara yang saya lakukan dan tidak tahu-menahu tentang kejadian itu." Merngap Sitepu dan Drais Sidik, dua sipir penjara, ikut menandatangani sebagai saksi, ditambah tanda tangan Kepala Penjara Lhokseumawe, Anwar Asan Manyak, sebagai yang ikut mengetahui.
Berbekal surat itu, kuasa hukum Abdullah, Cut Artian Deliana, memohon peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Dan kembali ditolak.
Padahal, jika kita lebih cermat, proses hukum Abdullah mengandung sejumlah kejanggalan. Menurut pengakuan Syaiful, ia menunjuk keterlibatan Abdullah karena tak tahan atas tekanan polisi. Begitu pula dengan Abdullah. Dia mengakui keterlibatannya karena penyebab yang sama. "Matanya bengkak dan tulang rusuknya patah," demikian Fatimah, mertua Abdullah, mengenang saat-saat ketika menantunya pulang ke rumah sehabis diperiksa di markas Kepolisian Resor Aceh Utara.
Selain itu, seperti telah dinyatakan dalam pembelaan pengacara Abdullah, di persidangan majelis hakim memutus nasib Abdullah tanpa bukti yang cukup. Hakim memvonis Abdullah hanya dengan menimbang keterangan Syaiful seorang sebagai satu-satunya saksi. Padahal, menurut hukum, berlaku sebuah prinsip "satu saksi bukanlah saksi".
Hakim juga tak mengabulkan permintaan pengacara Abdullah untuk menarik berita acara pemeriksaan (BAP) kliennya. Menurut Syaiful, saat dakwaan dibacakan, dia pun telah berniat menyatakan keberatan atas dakwaan jaksa yang mengaitkan Abdullah. Tapi ia mengurungkannya karena jeri setelah dipanggil Jaksa Buchari, yang memperingatkannya agar tak memberi keterangan berbelit-belit dan mengakui keterlibatan Abdullah. "Kalau tidak, hukuman saya bisa lebih berat," demikian Syaiful menirukan jaksa.
Majelis juga tampak terlalu "memaksakan" alur polisi. Dicecar hakim di persidangan, Abdullah, yang tak lancar berbahasa Indonesia, seperti amat kebingungan. Ia tak paham arah pertanyaan hakim. Sialnya, pengacaranya? ditunjuk oleh polisi?pun tak banyak membantu. Saat hakim menanyakan tanggapannya atas tuduhan Syaiful terhadapnya, Abdullah tak membantah. Seperti yang dicatat pengadilan, ia hanya menjawab, "Tak sanggup berpikir."
Lebih fatal lagi ketika hakim mengkonfirmasi foto rekonstruksi pembunuhan yang digelar polisi. Ketika itu, sambil menunjukkan foto Syaiful yang sedang mencontohkan adegan pembunuhan, hakim bertanya, "Apakah kejadiannya seperti ini?" Dengan lugu, Abdullah spontan menjawab, "Benar." Padahal sesungguhnya yang dia iyakan bukan bahwa itulah peristiwa sebenarnya. Dia mengangguk karena memang begitulah yang ia lihat saat rekonstruksi.
Yang menarik, mahkamah bukan tak pernah menyatakan Abdullah tak bersalah. Pada sidang pemeriksaan permohonan PK Abdullah di Pengadilan Negeri Lhokseumawe pada tahun 1993?dengan mempertimbangkan pernyataan Syaiful?majelis sempat menyimpulkan, "Bahwa berdasarkan fakta-fakta dan analisis fakta tersebut, menurut hemat majelis, Abdullah bin Andah tidak terlibat dalam pembunuhan Heriana Syuhada." Pendapat itu ditetapkan setelah mendengar keterangan Syaiful serta Merngap Sitepu dan Drais Sidik, dua sipir Tanjung Gusta. Di bawah sumpah, mereka memastikan: pernyataan Syaiful bahwa Abdullah tak terlibat memang dibuat tanpa paksaan dan bukan hasil persekongkolan.
Syaiful menyebut sebuah nama lain, pelaku pembunuhan sebenarnya yang berkomplot dengannya dulu. Dia adalah Syukri, seorang preman di Pelabuhan Pusong, Aceh, yang menurut dia langsung jadi buron tak lama setelah pembunuhan itu.
Alhasil, jika benar Abdullah tak bersalah, inilah catatan ironi peradilan yang kesekian di negeri ini. Kasus ini bahkan tak hanya serupa dengan peradilan sesat Sengkon-Karta yang melegenda itu, tapi juga lebih mengenaskan dalam banyak hal.
Dulu, di penjara, Sengkon "cuma" terserang TBC. Tapi Abdullah sampai nyaris hilang ingatan. Ia sempat dianggap gila karena perilakunya ganjil, berpakaian compang-camping, berhari-hari tak mau mandi, dan selalu termenung-menung sendiri. Jika ia bebas kelak, tak mungkin lagi ia menjadi kernet. Jalannya kini pincang akibat siksaan penyidik, matanya juga rabun berat (yang kanan malah sudah tak bisa melihat) sejak dijepreti dengan karet oleh polisi yang dulu pernah memeriksanya.
Sebelum kemudian ditandu keluar bui, Sengkon "baru" mendekam enam tahun dan Karta tiga tahun lebih. Sedangkan Abdullah sudah dua-tiga kali lipatnya. Total jenderal, ia telah dikerangkeng selama 14 tahun!
Jalan Abdullah keluar gerbang penjara pun lebih pelik. Peradilan Sengkon-Karta baru sampai tahap pertama. Meski tak mengajukan banding, Oemar Senoadji, Ketua Mahkamah Agung saat itu, mengeluarkan fatwa supaya kedua petani itu segera dikeluarkan dari bui, dan lalu menghidupkan kembali lembaga PK (herziening), yang belakangan memutus bebas Sengkon-Karta setelah memeriksa ulang perkaranya.
Dalam kasus Abdullah, di atas kertas semua jalur hukum sudah tertutup rapat. Jalan terakhir, peninjauan kembali, sudah kandas karena telah ditolak MA sejak 1994 silam. Permohonan grasinya ke presiden pun tak pernah berbalas hingga kini.
"Karena semua upaya hukum sudah kandas, kami tengah mengajukan permohonan pembebasan bersyarat," kata Timsar Zubil, mantan tahanan politik dalam perkara Komando Jihad yang menjadi guru mengaji Abdullah ketika sama-sama dibui di Tanjung Gusta, yang belakangan giat memperjuangkan pembebasannya.
Timsar sendiri yakin Abdullah tak bersalah seujung kuku pun. "Sekarang tak ada yang sama di mata hukum," Timsar mengeluh, "Pejabat dan pengusaha korup bisa bebas melenggang di luar sel, sementara orang kecil seperti Abdullah harus tetap mendekam dalam penjara meski ia tak bersalah."
Toh, pihak-pihak yang berperan menjebloskan Abdullah ke penjara tetap berkeyakinan sebaliknya. Buat mereka, Abdullah memang bersalah dan bukan merupakan korban peradilan sesat.
Penyidik yang memeriksa Abdullah ketika itu, Inspektur Dua M. Yanis Mahmud, menyangkal telah menyiksa tahanannya untuk memerah pengakuan. "Saya tak pernah melakukan penyiksaan terhadap Abdullah," kata Yanis, yang kini menjadi Kepala Seksi Pembinaan Operasi Serse Polres Aceh Utara. Menurut dia, polisi mencokok Abdullah semata berdasarkan pengakuan Syaiful dan, saat diperiksa, Abdullah pun mengakuinya secara sukarela.
Begitu pula Chaidir, ketua majelis hakim yang mengadili Abdullah dulu. Kini bertugas di Jakarta, Chaidir hakul yakin telah memutus dengan benar. "Keputusan yang kami buat dulu dilandasi cukup bukti," ujarnya. Adapun Jaksa Buchari tak dapat diwawancarai.
Memang, meski berbagai indikasi telah menunjukkan tak bersalahnya Abdullah, masih ada pertanyaan tersisa. Dari penelusuran TEMPO di lapangan, yang menyatakan Abdullah tak bersalah hanyalah Syaiful seorang. Abdullah juga tak punya alibi di mana ia berada ketika peristiwa itu terjadi. Yang lebih pokok, Syukri, seorang preman yang dinyatakan Syaiful sebagai teman sekongkolnya yang sebenarnya ketika membunuh, hingga kini masih tak jelas rimbanya. Untuk memastikan Syukri bukan tokoh rekaan Syaiful, tak ada cara lain bagi polisi selain mesti mengusut, menangkap, dan memeriksa keterangannya.
Tapi itulah masalahnya. Buat perkara teri yang melibatkan seorang kernet truk semacam Abdullah, negara seperti tak mau tahu.
Mahkamah Agung baru bereaksi setelah?atas pengaduan Timsar?Ketua Komisi Ombudsman Nasional Anton Sujata dan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Adi Sasono ikut melayangkan surat, mendesak supaya perkara Abdullah dipertimbangkan.
Konyolnya, MA lalu keliru memberi saran. Dalam memo tanggal 26 Juli 2001, Ketua Muda Bidang Pidana Umum ketika itu, almarhum Syafiuddin Kartasasmita, malah menyarankan Abdullah supaya mengajukan PK?satu hal yang telah ditolak lembaga peradilan tertinggi itu tujuh tahun sebelumnya.
Belakangan, Oktober di tahun yang sama, kekonyolan itu diralat. Tapi, dalam suratnya, Kepala Direktorat Pidana MA, Moegihardjo, ternyata hanya melempar bola ke lembaga penuntut. Ia sekadar menyarankan supaya Abdullah melaporkan saja nasibnya ke kejaksaan setempat.
Jalan pun buntu. Kejaksaan Negeri Lhokseumawe angkat tangan dengan alasan situasi keamanan di Aceh tak memungkinkan. Timsar lalu mengadu ke Kejaksaan Agung pada Desember. Ketika itu yang menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Umum adalah M.A. Rachman, yang kini menjadi Jaksa Agung.
Baru tiga bulan kemudian surat itu mendapat balasan. Direktur Upaya Hukum, Eksekusi, dan Eksaminasi, Faizal Daulay, berkirim surat ke Kejaksaan Tinggi Nanggroe Aceh Darussalam, minta supaya kasus itu dilaporkan secara menyeluruh. Dan "hebatnya", masih dengan perihal yang sama, baru sembilan bulan setelahnya kejaksaan tinggi melayangkan surat ke Kejaksaan Negeri Lhokseumawe.
Kini bola kembali dioper ke Mahkamah Agung. Kata Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Lhokseumawe, Riza Fahdeli, "Saya kira Jaksa Agung akan melaporkan masalah ini ke Mahkamah Agung. Kami sedang menunggu fatwa MA karena kasus ini butuh terobosan hukum."
Kuncinya memang ada di Mahkamah Agung, demikian kata Ketua Komisi Hukum Nasional, J.E. Sahetapy. Untuk mendorongnya, anggota Dewan dari PDIP ini berjanji, "akan segera mengadakan rapat di Komisi untuk menindaklanjuti masalah ini."
Ketika ditanya perkembangan kasus Abdullah, Ketua Mahkamah Agung sendiri, Bagir Manan, cuma geleng-geleng kepala. Ia mengaku heran lagi terkejut karena sampai akhir pekan kemarin, meski telah dia minta, belum sehelai pun laporan dari pengadilan Aceh yang masuk ke mejanya.
Menurut dia, masih banyak jalan menuju pembebasan Abdullah. Salah satunya, pihak keluarga, kejaksaan, polisi, atau pengadilan bisa mengajukan surat kepada Ketua Mahkamah Agung, menyatakan Abdullah tak bersalah. Berdasarkan itu, Ketua MA dapat memerintahkan supaya perkaranya diperiksa ulang dan meminta yang bersangkutan dibebaskan dulu dari bui. Supaya kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan, buat Bagir, bahkan mengajukan PK untuk kedua kalinya pun tak diharamkan.
Tapi, ketika diberi tahu bahwa telah berkali-kali dan sudah ke segala penjuru?termasuk ke MA?Abdullah berkirim surat dan tak juga serius ditanggapi, Bagir pun terhenyak. Dan inilah janjinya: "Kalau begitu, dari laporan TEMPO, saya akan langsung berkirim surat kepada Menteri Kehakiman untuk membebaskan Abdullah, tak perlu menunggu laporan dari bawah. Jika tak bersalah, dia (Abdullah) juga bisa menuntut negara atas kerugian yang telah dideritanya di penjara selama bertahun-tahun."
Karaniya Dharmasaputra, Nezar Patria, Rommy Fibri, Zainal Bakri (Lhokseumawe), Bambang Soedjiartono (Medan)
--------------------------------------------------------------------------------
Yang Berkelok ke Udara Bebas dan yang Meringkuk di Sangkar
16-17 Mei 1989
Heriana Syuhada diculik dan dibunuh Syaiful Bahri.
20 Mei 1989
Bersama Syaiful Bahri, Abdullah ditangkap dan disiksa polisi agar mengakui keterlibatannya.
Kapolres Aceh Utara: Letkol Pol. Sutardjo.
Penyidik: Ipda Pol. M. Yanis Mahmud.
Abdullah lalu ditahan di Penjara Lhokseumawe, Aceh.
12 Desember 1989
Putusan PN Lhokseumawe: memvonis Abdullah seumur hidup.
Majelis hakim: Chaidir (ketua).
18 Maret 1990
Putusan Pengadilan Tinggi Aceh: menolak permohonan banding Abdullah.
Majelis hakim: Rizora Effendi (ketua).
30 Juni 1990
Keputusan MA: menolak permohonan kasasi Abdullah.
Majelis hakim agung: Soetomo (ketua), Amiroedin Noer, dan Masrani Basran.
24 Mei 1993
Surat pernyataan Syaiful Bahri: Abdullah sama sekali tak terlibat.
23 Agustus 1993
Pemeriksaan PN Lhokseumawe tentang PK Abdullah.
Kesimpulan: Abdullah tak terlibat.
Majelis hakim: Muhammad Nasution (ketua), Encep Yuliadi, Djonang Ginting.
22 Juni 1994
Keputusan MA: menolak permohonan PK Abdullah.
Majelis hakim agung: Olden Bidara (ketua), Soeharso, Bismar Siregar.
Maret 1995
Abdullah dipindah ke Penjara Tanjung Gusta, Medan.
5 Oktober 1998
Abdullah mengajukan grasi kepada Presiden Habibie, dilampiri pernyataan Syaiful. Surat tak ditanggapi.
27 April 1999
Abdullah kembali berkirim surat kepada Presiden Habibie. Juga tak ditanggapi.
17 Agustus 2000
Abdullah mendapat remisi. Masa hukumannya dipotong menjadi 20 tahun penjara.
1 November 2000
Abdullah memohon fatwa kepada Ketua MA (ketika itu masih kosong, sedangkan Wakil Ketua MA adalah M. Taufik). Juga tak ditanggapi.
18 April 2001
Surat Ketua Komisi Ombudsman Nasional, Anton Sujata, kepada Wakil Ketua MA Taufik supaya permohonan Abdullah dipertimbangkan.
5 Juni 2001
Adi Sasono berkirim surat ke Ketua MA Bagir Manan agar meninjau kembali kasus Abdullah.
30 Desember 2001
Timsar Zubil berkirim surat ke Kejaksaan Agung.
27 Maret 2002
Kejaksaan Agung meminta Kejaksaan Tinggi Aceh melaporkan kasus itu secara menyeluruh.
13 November 2002
Timsar kembali berkirim surat ke Kejaksaan Agung.
31 Desember 2002
Kejaksaan Tinggi Aceh minta Kejaksaan Negeri Lhokseumawe melaporkan kasus itu secara menyeluruh.
19 Oktober 2002
Syaiful dibebaskan dari penjara, sementara Abdullah masih meringkuk di penjara hingga kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini