Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Epitaf dan sakaratul maut .
Begitu masuk ruang pameran Bentara Budaya Jakarta, kita seolah dibawa ke suasana ziarah. Foto-foto makam dalam ukuran sebesar poster digantung di kiri dan kanan ruang. Sedangkan di lantai, lembaran jepretan atas seri patung Gates of Hell karya Rodin yang menggambarkan tubuh-tubuh manusia disiksa di neraka diletakkan di tataan kayu. Wajah-wajah kesakitan berteriak, gurat-gurat tangan tersayat. Alunan rekaman komposisi terbaru Toni Prabowo: Requiem yang merespons foto-foto tersebut mengalun di ruangan.
Pameran bertajuk Art of Dying itu hasil pengelanaan Oscar Desember tahun 2002 ke makam Montparnasse dan Pere Lachaise di Paris. Saat itu tujuan utamanya ke Paris adalah merekam kehidupan masyarakat gypsy dan minoritas imiran-imigran lain (telah dipamerkan berjudul: Nyanyian Periferal). Tapi fotografer Antara yang dalam perjalanan ke mana pun selalu suka memotret kuburan itu, di sela-sela jadwal padatnya menyusuri Paris-Chalon Sur Saone-Arles-Camarque-Marseille-Strasbourg, menyempatkan diri ke dua pemakaman terbesar Paris tersebut. Dan hanya dalam waktu masing-masing dua jam, kameranya menghasilkan sesuatu yang meditatif.
Itu membuktikan bahwa ia terlatih menjepret kuburan. Kompleks pemakaman di Eropa berdenah jelas dengan kapling blok-blok yang rapi. Sedangkan rata-rata kompleks kuburan di sini, apa itu di Toraja, kuburan Jawa, Bali, atau bong Cina, arealnya semrawut tanpa petunjuk apa pun. Bahkan kuburan satu tertimpa kuburan lain. Belum lagi alang-alang yang sering menutupi nisan. Mungkin karena kepekaannya telah terasah dengan yang "liar" itu, walau singkat Oscar langsung bisa "menaklukkan" kompleks Montparnasse dan Pere Lachaise yang luas, serta menyeleksi obyeknya yang tematik.
Oscar sendiri pernah tahun 1996 ke Kamboja memotret tengkorak dan tulang-tulang manusia korban pembantaian. Terasa kini tema kematiannya bertambah luas dari dimensi fisik ke eksistensial. Dulu, tema penyiksaannya mengasosiasikan dilakukan oleh militer, kini oleh malaikat. Sementara itu, bagi Toni, Requiem ini bukan karya pertamanya tentang ajal. Di New York tahun 1999, saat mendengar kabar Ria Rondang Pardede, anggota Bengkel Teater Rendra meninggal dunia di Jakarta, ia menciptakan: Requiem for String.
Requiem mungkin termasuk tema favorit bagi para komponis dalam tradisi musik Barat. Karya Mozart: Requiem in D Minor, misalnya, begitu berpengaruh dan inspirasional bagi komponis Barat. Kata para penulis biografinya, karya ini sesungguhnya dibuat Mozart untuk kematiannya sendiri. "Saya mengagumi requiem karya Gyorgy Lygeti, Toru Takemitsu, Hans Werner Henze," ujar Toni Prabowo. Walau ia menyerap berbagai khazanah requiem musik Barat, tentu ia tak ingin sama.
Misalnya di komposisi Requiem-nya lalu mengandung nuansa bunyi beduk dan ketimpring Padang. Untuk Requiem pameran ini, Toni membuat sebuah komposisi solo vokal. Ia membuat komposisi yang mengeksplorasi lebih dari 30 warna suara penyanyi Nyak Ina Raseuki. Pada malam pembukaan, Nyak Ina Raseuki berduet dengan suara-suaranya yang telah direkam lebih dulu. Kata-kata nonsilabialyang tak memberi artian sebuah kalimatdilengkingkan Ubiet, panggilan akrab Nyak Ina Raseuki. Dalam skornya, misalnya, tertulis kata-kata seperti ini: to mati na pro la re bartubi mi-su telitu na bre hamisu "tabrakan" antar-suara dan kata-kata tanpa makna itu yang secara unsur bunyi diperhitungkan memiliki efek memikat mencuatkan atmosfer gairah, misterius, dan tragik. Bernuansa gerejawi tapi juga sesuatu yang berkhazanah lokal, profan, dan primitif.
Menurut Oscar, pemakaman Montparnasse dan Pere Lachaise ibarat taman metafor. Hiasan-hiasan epitaf tak sekadar kalimat-kalimat berinskripsi besi, taferil perunggu, atau takik tembaga. Banyak patung dari bahan marmer, granit, andesit di setiap nisan menggambarkan secara simbolik kematian sang jasad yang telah remuk, busuk, hancur di kalang tanah. Makam Victor Noir, seorang jurnalis yang mati dibunuh oleh Pierre Bonaparte, sepupu Napoleon III, misalnya. Di atas nisannya tergeletak patung replika dirinya berjas, penuh bercak darah. Entah siapa pematungnya. Oscar ingat, dari jauh kelihatan itu seperti betul-betul mayat terbujur kaku.
Seleksi kamera Oscar akhirnya seolah memenangkan malaikat pencabut nyawa. Foto patung Kristus yang sekarat, terbaring di makam Edith Piathseorang penyanyi folk Prancis terkenalmakin menguatkan suasana itu. Jepretan makam Sartre, Simone de Bouvoir, Oscar Wilde, Ionesco, dengan suasana tandus, kering; atau makam Jim Morissonyang sengaja dipotret Oscar tanpa pengunjung (meski sesungguhnya para fans yang berziarah ke makam dedengkot The Doors itu tak pernah sepi). Karya Oscar ini seakan ingin mengatakan kesia-siaan pemberontakan mereka atas segala bentuk teis di dunia.
Bahwa ajakan anarki Morissonseperti teriakan parau sebuah lagunya c'mon baby light my fire yeah..., atau ajakan subversif Sartre akhirnya berujung nisbi. Komposisi Toni Prabowo makin menguatkan bagaimana foto-foto itu bergerak di antara rasa perih profan dan "sesuatu di sana yang kudus yang menakutkan" itu. Manusia itu fana. Begitu roh terloncat keluar, di seberang sana kengerian menanti.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo