Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cinta simbol

Kereta api jabotabek yang baru berumur sekitar 6 th, sudah banyak yang rusak. bantal tempat duduk rusak, kipas angin macet, rak tempat sampah hilang. bangsa kita belum menghargai simbol modernisasi.

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIPAS angin itu sial sekali. Sial lantaran dikirim penciptanya ke Indonesia, bukan ke negeri lainnya yang lebih menghargai kipas angin. Lalu riwayatnya pun menjadi bukti nyata, betapa peliknya bagi orang Indonesia membangun negerinya, memodernisasikan bangsanya. Entah sudah berapa lamanya dia mati, menjadi bangkai tidak ada yang mengetahui. Juga tidak diketahui riwayat kematiannya. Apakah sebab musababnya voltase yang meninggi pada suatu hari yang naas lalu ada yang putus dalam tubuh kipas angin itu? Ataukah lebih sepele, ada soal kecil tak beres pada stop-kontak? Wallahualam. Namun cerita kematiannya tidak berakhir di situ. Bukan sembarang kematian. Memilukan bahwa bukan cuma kerangkengnya yang dikrom indah itu yang hilang, tapi bangkainya pun dicabik-cabik orang. Dari keempat daun baling-baling yang biasanya mengipas-ngipas udara itu, tak satu pun selamat. Semuanya patah-patah mengerikan, seolah-olah bangkai yang terkutuk. Dan jelas orang Jepang yang membikinnya tidak bisa membayangkan nasibnya jadi begitu -- konyol dan mati muda. Di Jepang tidak ada kipas angin sesial itu. Lima dari delapan kipas angin yang ada sudah mati, dengan status bangkai yang aneka ragam. Masih ada bangkai yang utuh, tapi semua kerangkengnya sudah amblas. Entah untuk apa digunakan manusia, sulit ditebak. Tiga masih hidup, tapi dua tidak bisa berputar-putar menggelengkan kepala. Tidak bisa lagi mengedarkan udara ke segenap penjuru. Sampai saat ini, cuma satu yang selamat yang dapat berfungsi dengan semestinya. Ketika mereka baru tiba di Indonesia, begitu banyak kepala yang kagum menengadah melihat mereka, pada perjalanan perdana yang amat mengesankan. Angin yang mereka sebarkan sempurna sekali sehingga pembesar dan wartawan Ibukota tidak putusnya memuji-muji. Ketika itu mereka merupakan lambang modernisasi. Karena itu sukar dibayangkau bahwa kipas angin itu akhirnya mati muda, lalu dipenggal-penggal tangan orang Indonesia yang terkenal halus. *** 'Wanita dipotong-potong . . . dipotong menjadi tiga belas . . . wanita dipotong-potong, dimasukkan ke dalam karung . . . " Anak muda itu menyerukan berita utama koranuya yang kaya peristiwa dan foto perihal Ibukota. Wajahnya kalem tidak menunjukkan perasaan. Tujuannya mencari sesuap nasi, tidak lebih. Di sela-sela manusia yang berjejal dan berkeringat dia menyelinap. Lalu suaranya sayup-sayup mengulangi berita utama: "Wanita dipotong-potong, dimasukkan ke dalam karung . . . " "Mangga mangga .... empat go pek, ... empat go pek." Tidak jelas mengapa go pek, mengapa tidak "lima ratus rupiah". Toh semua calon pembeli orang Indonesia. Mungkin maksudnya supaya ada kelucuan sedikit di dalam ruang yang panas pengap itu. Dan fisiknya kuat sekali. Dijajakannya mangga sekeranjang di sela-sela manusia yang begitu berjejal. Di jalan yang sempit itu hilir mudik pelbagai penjaja, tiada hentinya, diiringi suara, nada dan gerak aneka ragam. Ada rokok ada berbagai minum dalam botol, ada berbagai makanan dalam plastik (termasuk tahu dan nangka), ada berbagai bacaan, ada buku teka-teki silang lengkap dengan spidolnya. Pengemis buta enam orang, seperti susul-menyusul, lima laki-laki, satu perempuan. Masing-masing punya gaya khas: dua pertama dituntun oleh anak belasan tahun, yang lainnya jalan sendiri. Semuanya minta dibelaskasihani dan mendoakan panjang umur dan berlimpah rezeki. Amat mengagumkan bagaimana mereka yang buta itu dengan cekatan pindah dari gerbong yang terguncang-guncang ke gerbong yang terguncang-guncang lainnya lantaran kereta api melaju dengan kecepatan tinggi. Di antara mereka yang mencari sesuap nasi di tengah-tengah manusia yang berkucur keringat itu, penjual kolonyet yang paling kocak. Mukanya bundar, mudah tersenyum, kedua pipinya berlesung pipit. Di atas kepalanya bertengger topi baret abu-abu. Badannya gemuk dan penampilannya tipikal untuk tampang extrovert yang periang tapi sensitif. "Kolonyet, kolonyet, seratus, seratus . . . Kolonyet membikin cakep . . . tanggung cakep." Sesudah bergurau sebentar dengan seorang pembeli, suaranya menggema lagi: Panasnya sudah kayak gini . . . keringat sudah membahayakan . . . ini dia kolonyet bikin segar . . bikin cakep." * * * * -- Sudah berapa tahun umur gerbong ini Pak? -- Tidak tahu persis, tapi jelas masih relatif baru. Mungkin berumur sekitar enam tahun. Paling lama delapan tahun. -- Berguna sekali kereta api Jabotabek ini. Boleh dibilang sukses. -- Berguna sih berguna. Tapi pemeliharaan gerbongnya ini perlu disesalkan. Nah, kita berjejal dan berkeringat begini. Di atas kita kipas angin tidak jalan, malah sudah dipenggal pula. Sadis. (Mereka lalu membicarakan kerusakan lainnya dalam gerbong. Bantal-bantal tempat duduk sudah rusak. Dalam jajaran mereka dua bantal tempat duduk sudah amblas, tinggal metalnya untuk diduduki. Rak mungil tempat sampah di bawah meja sudah lenyap, tinggal bekas-bekas sekrup). -- Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, kesalahan kita semua. -- Memang tidak, tapi ini menampakkan suatu masalah yang mendasar. Masalah hubungan kita dengan benda-benda. Bukan cuma masalah pemeliharaan, tapi masalah kecintaan kita terhadap benda-benda. Kita cintai benda-benda itu sebagai simbol, simbol modernisasi, simbol kemajuan. Ada seremoni, ritual dan petuah-petuah. Ketika kemudian dia menampakkan diri sebagai benda biasa, gerbong, bangunan kakus, kipas angin atau mesin fotokopi, dia menjadi tak terurus. Kita pun sibuk dengan simbol-simbol yang baru. Tanpa kecintaan yang mendasar kepada benda-benda, tanpa peningkatan penguasaan terhadap alam kebendaan, modernisasi cuma slogan. -- Itu seperti pendapat Niels Mulder. -- Dalam hal ini saya setuju dengan dia. Bicara tentang pembangunan, kita harus bicara tentang hubungan kita dengan benda-benda. Kita harus mencintai benda-benda itu dalam arti yang sesungguhnya. Dan selalu ingin tahu tentang sifat-sifatnya, sehingga makin lama makin menguasai alam kebendaan. -- Betul juga. Contohnya begitu banyak. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja di muka kantor Bappenas, di Taman Suropati. Beberapa tempat duduk dari semen sudah berpatahan. Di tengah lapangan ada patung jerapah, ada kerbau, ada gajah. Semuanya jadi "makhluk" cacat, kupingnyalah, ekornyalah, tanduknyalah, gadingnyalah. (Pembicaraan mereka berhenti ketika kereta api Jabotabek mendekati stasiun Depok Baru. Bersama beberapa penumpang lainnya di gerbong itu, mereka siap-siap turun).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus