KABUPATEN Kepulauan Riau, memang bukan termasuk daerah di mana
koperasi bisa berkembang biak. Ada sih ada. Tahun 77 ini
tercatat "Lebih 60 buah koperasi" kata Nursodik B.Ec, kepala
kantor Koperasi Kepulauan Riau. Memang suatu peningkatan dalam
jumlah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Omzet usahapun
kelihatan naik dan kini mencapai hampir setengah milyard rupiah.
Tapi siapa pun maklum, bahwa datadata Nursodik itu lebih banyak
ditunjang oleh bangkitnya koperasi-koperasi fungsionil, yang
bagaimana pun pembinaannya lebih banyak tertolong oleh peranan
instansi dinas pemerintah. Jumlah koperasi jenis ini ada 36
buah, dengan sekitar 70% dari omzet seluruhnya. Puskopal
Daeral-2, adalah satu contoh koperasi fungsionil yang sedang
membengkak. Selain punya banyak anggota primer koperasi di
setiap Sional dan Lanalnya, pun punya unit usaha macam-macam.
Seperti pemasaran hasil perikanan di daerah Dumai dan
Bagansiapi-api dengan PT Kepal Yalagunannya. Sebagai distributor
tunggal bahan bakar di Kepulauan Riau dengan PT Yala Setia-nya.
Masih ada unit-unit usaha lain bahkan sampai ke urusan
mendapatkan komisi dari karcis penumpang feri Singapura-Tg.
Pinang. Tak heran kalau omzet usahanya lebih dari "Rp 200 juta"
begitu cerita C. Kowaas, ketua Puskopal Daeral-2. Meskipun
keuntungan bersih setahunnya cuma Rp 4 juta lebih saja.
Kopra Dan Cengkeh
Sedangkan koperasi umum lainnya, seperti koperasi pedesaan, atau
perikanan, tampaknya kekurangan selera. Dari 147 desa yang ada
di kabupaten ini, baru 7 desa yang punya koperasi. Begitu tak
bergairahnya masyarakat dalam berkoperasi ini, sampai ada desa
di ujung mata pejabat-pejabat kabupaten (seperti di desa
Penyengat), sampai kini tak pernah berhasil membangun sebuah
koperasi. Dan yang paling mengecilkan hati, justru sistim
BUUD/KUD yang tampaknya sukses di daerah-daerah lain, justru di
epulauan Riau tak tampak berkembang.
Sampai saat ini menurut Nursodik baru ada 5 BUUD/KUD. Itupun
baru satu yang benar-benar berfungsi, yaitu Primer KUD Bintan
Selatan. Sementara 4 KUD/BUUD yang disiapkan untuk menampung dan
memasarkan hasil bumi utama di daerah Pl. Tujuh seperti kopra
dan cengkeh, ternyata baru sekedar nama dan daftar pengurus.
"Tak usahkan kegiatan. Modal saja tak ada. Bagaimana mau
menampung hasil dari petani?" begitu kata seorang penduduk Pulau
Tujuh kepada TEMPO.
- Akibatnya walaupun ada instruksi agar pengumpulan dan
pemasaran cengkeh dan kopra para petani itu hanya dilakukan
BUUD/KUD saja, hasilnya masih hanya di atas kertas. Dan para
petani tetap dibelit ijon. Lalu bagaimana BRI (Bank Rakyat
Indonesia) yang biasanya membagi-bagikan kredit? "Sudah
diajukan" kata Nursodik. Tapi rupanya belum juga turun dari atas
sana. Bagaimana kalau Pemda melalui- BPD (Bank Pembangunan
Daerah) turun tangan langsung?
Di Riau umumnya diketahui bahwa BPD di Pekanbaru itu semestinya
cukup banyak menyerap modal dari berbagai usaha hasil kerja
perusahaanperusahaan daerah. Terutama PT Pembangunan Riau yang
memonopoli sagu, kopra dan garam. Tapi sudah hampir menjadi
rahasia umum pula bahwa BPD Riau ini sedang dalam tanda tanya
yang cukup panjang. Khairul Ali Rasahan, bekas Ketua DPRD Riau
menilai bank ini sebagai "tak berfungsi dan tak berkembang."
Malahan pihak DPRD sudah lama mendesak Gubernur Arifin Ahmad
agar menyegarkan bank itu dengan mengganti pimpinannya. Tapi
nyatanya, sampai sekarang BPD itu sendiri masih begitu-begitu
saja - sama halnya dengan nasib para petani cenkeh dan kopra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini