SEBUAH senjata baru bagi para dokter untuk memerangi darah tinggi ditemukan: obat baru, dengan nama generik captoptril. Obat ini ditemukan dua peneliti di Princeton, Amerika Serikat, dr. Miguel A. Ondetti dan dr. David W. Cushman, setelah melakukan percobaan delapan tahun. Penelitian itu sendiri sebenarnya selesai di tahun 1975. Namun, untuk memastikan khasiatnya - juga dampak samping - diperlukan tes klinik selama beberapa tahun. Di Eropa, obat itu mulai digunakan sekitar lima tahun lalu. Di Indonesia, menurut Dirjen POM Dr. Midian Sirait, produksinya - dan peredarannya - dimulai sekitar dua tahun lalu. Namun, pada masa itu, Amerika Serikat sendiri masih melarang keras peredaran captoptril. Sejumlah dampak samping obat itu masih dicemaskan. Otoritas obat dan makanan Amerika Serikat, yaitu FDA (Food and Drug Administration), memang dikenal paling keras dalam melepas obat baru. Untuk pemberian izin badan itu biasanya menuntut hasil tes klinik bertahun-tahun. Karena itu, baru Juli lalu obat dengan bahan dasar captoptril itu akhirnya diperbolehkan beredar di Amerika Serikat. Pengakuan FDA itu sedikit banyak melegakan para penderita darah tinggi. Kendati begitu, diskusi para ahli penyakit dalam, farmakolog, spesialis penyakit darah tlnggi, dan ahli Jantung yang menyertai pengesahan FDA itu mengingatkan bahwa obat-obat captoptril hendaknya digunakan setelah obat darah tinggi lain tidak lagi memadai. Ditekankan pula agar obat ini tidak digunakan pada penderita darah tinggi yang punya penyakit ginjal dan wanita hamil. Farmakolog terkemuka, Prof. Dr. Iwan Darmasyah, menilai, penemuan captoptril sebagai temuan jenius. Para peneliti mencari obat yang sudah dirumuskan terlebih dahulu. "Dalam sejarah kedokteran, termasuk istimewa," ujarnya. Obat ini, kata Iwan, memblokir pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II dalam darah, yang merupakan salah satu penyebab darah tinggi. Proses pemblokiran itu dijelaskan lebih jauh oleh dr. Pudji Rahardjo, spesialis ginjal dan hipertensi RSCM, Jakarta. Awal hipertensi, menurut Pudji, adalah kurangnya darah pada ginjal. Kekurangan ini membuat kelenjar-kelenjar tertentu pada ginjal memproduksikan hormon renin. Lalu, renin dalam darah mengubah kandungan darah lain, yaitu angiotensinogen menjadi angiotensin I dan angiotensin II. Yang berbahaya adalah angiotensin II. Ia menimbulkan penyempitan pembuluh darah atau vaso kontraksi. Selain itu, ia juga membuat kelenjar anak ginjal memproduksikan hormon aldosteron. "Aldosteron ini membuat natrium dan juga air tertahan," kata Pudji kepada Gatot Triyanto dari TEMPO. Maka, volume pembuluh darah jadi penuh. Kedua keadaan itulah yang menaikkan tekanan darah. "Isi pembuluh darah sarat, sementara jalur pembuluhnya menyempit, tentu saja tekanan darah jadinya naik," ujar Pudji. Obat captoptril, yang dibuat dari bisa sejenis ular di Brasil, menurut Pudji, adalah obat pertama yang mengikuti sistem pemblokiran angiotensin II. Karena itu, captoptril dikenal juga sebagai ACE (angiotensin converting enzyme). Sebelumnya, obat hipertensi sekadar mengurangi tertahannya air dan natrium (garam), atau berusaha membuka pembuluh darah yang menyempit. Namun, Pudji mengingatkan, captoptril hanya bisa digunakan untuk hipertensi akibat kurangnya darah pada ginjal. Artinya, tak bisa digunakan untuk hipertensi yang diakibatkan penyakit lain, misalnya jantung, ginjal, atau kelainan kelenjar endokrin. Ahli jantung RSCM, dr. Edi Hartanuh, membenarkan bahwa captoptril tak bisa digunakan pada hipertensi sekunder - hipertensi akibat penyakit lain. Akan tetapi, captoptril yang mampu melancarkan aliran darah pada pembuluh-pembuluh darah tepi, menurut Hartanuh, secara tak langsung melindungi jantung. "Mengurangi atau menurunkan beban pompa jantung, khususnya faal jantung kiri," katanya. Lalu apakah captoptril tak punya dampak samping? Ternyata, ada. Edi Hartanuh mengungkapkan, captoptril menimbulkan bercak-bercak merah pada kulit. Juga bisa mengganggu daya rasa lidah. Di samping itu, yang berbahaya, captoptril juga mengganggu proses penyaringan pada ginjal. Karena itu, tak boleh digunakan pada penderita ginjal. Dan ketika digunakan, penderita harus senantiasa memeriksakan darah. Dari pemeriksaan itu bisa diketahui kondisi kerja ginjal, apakah terganggu atau tidak. Sementara itu, Prof. Iwan Darmansyah mengeluh, produksi captoptril - antara lain capoten bikinan Squibb - terlampau mahal. "Ini terasa berat bagi penderita, apalagi obat hipertensi biasanya harus digunakan seumur hidup," ujar guru besar FK UI itu. J.S. Laporan Yusroni Henridewanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini