BERKUNJUNG kembali ke Kalimantan akhir Juli yang lalu ada kabar buruk menjemput. Tiga orang mati karena keracuna klearat. Gila. Bagaimana mungkin racun tikus dimakan manusia? Lalu berita itu menjadi lengkap. Tikus sedang merajalela menjara wah penduduk. Untuk menyelamatkan padi yang sedang bunting, ditebarkanlah beras yang dicampur racun tikus klearat sebagai umpan. Melihat beras ditebar, bukan hanya tikus yang ngiler. Rakyat yang lapar pun tak kurang ngiler-nya. Maklum, beras sudah lama putus stok. "Nasi sudah menjadi lauk bagi mereka," kata seorang narasumber. Ia menceritakan bagaimana rakyat makan sayur rebus sepiring penuh dengan sejumput nasi sebagai lauk - itu pun kala berhasil menemukan beras. Skenario seperti ini memang sulit dipahami orang yang belum pernah mengalami kelaparan. Tiga orang yang malang itu merasa yakin dapat "menjinakkan" racun. Beras yang berwarna hijau karena klearat lalu dicuci, direndam, hingga menjadi putih kembali. Mereka pikir hilangnya warna hijau berarti enyahnya racun. Nasi pun ditanak, dan makanlah mereka dengan lahap. Lalu kita dihadapkan pada pornografi kematian. Tiga orang itu terjungkir. Dari semua lubang, darah mengalir. Percobaan "menjinakkan" racun telah gagal. Ini mengerikan. Apalagi kalau mengingat bahwa ketiga orang yang kelaparan itu konon hanya "sepelempar batu" dari sebuah gudang beras - bahkan tak sampai setengah hari bersampan dari Banjarmasin. Lalu bagaimana saudara-saudara kita yang tinggal lebih jauh dipedalaman? Di Datadian, misalnya, tempat garam ditebus dengan emas? Di Sungaibarang, tempat minyak tanah pun harus diantar dengan pesawat terbang? Tetapi, deduksi kita belum selesai. Ada pertanyaan yang belum jawab. Dari mana datangnya tikus-tikus yang menjarah sawah? Bukan hanya tikus, ternyata, yang menjadi hama. Tetapi juga babi hutan. Ya, tapi dari mana datangnya? Tahun 1982, konon Tuhan keliru mengatur cuaca. Ia mengirim Sang Putra (El Nino) yang tak lain adalah gelombang panas yang membuat bumi kehilangan keseimbangan. Salah satu akibatnya, 3,3 a hektar hutan di Kalimantan Timur terbakar. Beberapa minggu yang lalu terbetik berita yang menyajikan hasil penelitian salah satu perguruan tinggi. Kebakaran hutan Kalimantan Timur belum kelihatan dampaknya, tulis laporan itu. Mungkin pelapor pergi ke daerah yang lain. Nyatanya, dari bekas hutan yang terbakar itulah hama tikus dan babi hutan menjarah sawah penduduk. Seorang penduduk bahkan dengan pasrah berkata, "Saya menanam padi tiga petak. Yang satu petak adalah jatah untuk tikus-tikus itu." Apakah ini tidak termasuk dampak? Baiklah, kita telah "menyalahkan" Tuhan untuk kebakaran hutan . Tetapi bagaimana dengan penggunaan racun yang telah membunuh sesama kita? Kita pernah mendengar kisah berjudul A Little Girl the Yellow Rain. Ini bukan kisah manis model Cinderella, tetapi tentang zat kimia yang telah digunakan dalam peperangan untuk membunuhi penduduk sipil. Kita tampaknya semakin mudah bercanda dengan racun. Bekas 3T dipakai untuk membungkus pisang sale. Gadis kecil yang makan pisang sale itu mati. Penjual pestisida merangkap sebagai penjual beras. Dan 17 orang bergelimpangan. Begitu banyak "ketlolan" yang melibatkan racun telah membunuh saudara kita. Ini sebuah berita lagi. Sinar Harapan 25 Juni 1984: pencurian bahan baku obat antibiotik chloramphenicol dibongkar polisi. Sepuluh orang karyawan gudang, bea cukai, dan KP3 terlibat. Tetapi, berita itu ternyata hanya berhenti sebagai berita kriminalitas. Kesan yang timbul dari berita itu hanya terbatas pada kerugian yang diderita pengimpornya dan uang pungli yang masuk kantung "tikus-tikus" pelabuhan. Sayang, memang, tak ada kabar lanjutan tentang ke mana jatuhnya 240 kilogram chloramphenicol yang dicuri itu. Agaknya kita semua terlupa bahwa chloramphenicol adalah satu pembunuh yang ampuh. Dalam Limits to Medicine, Ivan Illich menulis: . . . people who take this drug (chloramphenicol-BW) stand a certain chance of dying of aplastic anaemia, an incurable disease of the blood . . . chloramphenicol kills: it puts victims out of sight, and hundreds of them in the United States died undiagnosed .... Mungkin kita memang kurang serius menganggap racun sebagai racun. Racun memang punya banyak nama. Tapi ia tetap racun. We bave to call a spade a spade. Seperti juga malt beverage adalah bir maka pestisida, misalnya, harus dibaca sebagai racun. Kita memerlukan pendidikan tentang hal ini. Dan itu mengingatkan saya kepada sebuah iklan beberapa tahun yang lalu di Amerika Serikat, yang menggambarkan dua gelas berisi cairan yang mirip warna dan rupanya. Tulisannya berbunyi: bagi anak balita, bensin dalam gelas ini tak bisa dibedakan dari jahe soda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini