DOSEN tamu, itu sudah lazim. Tapi siswa tamu? Sejak akhir Juli lalu sampai Desember nanti, 58 siswa dari SPG (sekolah pendidikan guru) negeri saling tukar sekolah. Siswa SPGN Denpasar misalnya, antara lain ke Surabaya, Purwakarta, Yogyakarta, yang dari Surabaya ke Singaraja, Purwakarta, dan seterusnya. Inilah gagasan W.D. Duarsa, 58, kepala SPGN Denpasar. Ceritanya, dalam satu pertemuan antarkepala SPG negeri se-Indonesia di Cisarua, Jawa Barat, 1982, Duarsa melontarkan ide itu. Konon, gagasan ini diperolehnya dari mendengar bahwa sudah lama ada pertukaran mahasiswa Eropa dan Amerika, guna lebih menjalin saling pengertian. Waktu itu langsung 3 SPG negeri - Surabaya, Blitar, dan Surakarta - menyambut ide tersebut. Dan Juli tahun itu pula rencana direalisasikan. Sepuluh siswa SPGN Denpasar dikirimkan untuk ikut belajar di tiga kota itu. Sementara itu, delapan siswa SPG negeri dari tiga kota jadi siswa tamu di Denpasar. "Ini semacam investasi sumber daya insani," kata Duarsa kepada I Nengah Wedja dari TEMPO. Maksud bapak lima anak ini, jangan dilihat hasilnya dalam waktu dekat. Dengan ikut belajar di kota lain, siswa itu akan mengenal adat istiadat, cara hidup, cara berpikir, cara guru lain mengajar. Ini semua diyakini oleh Duarsa akan punya pengaruh yang bermanfaat bagi calon-calon guru itu. Yang jelas, Program Pertukaran Siswa (PPS), demikian disebut, itu kini bertambah anggotanya. Di tahun kedua, 1983, jumlah anggota tetap, cuma SPGN Surakarta mundur digantikan oleh SPGN Purwakarta, Jawa Barat. Tahun berikutnya 3 SPG lain bergabung: Jombang (Jawa Timur), Purwokerto (Jawa Tengah), dan Singaraja (Bali). Tahun ini, bertambah satu lagi, SPGN II Yogyakarta. PPS ini dilaksanakan dalam satu semester, yakni semester ketiga, ketika siswa sudah duduk di kelas II. Memang ada sebabnya bila dipilih saat itu. Pertama, siswa kurang lebih sudah mengenal sekolahnya. Hingga, bila mereka ditugasi belajar di sekolah lain, sudah bisa membandingkan sekolah sendiri dengan sekolah tempat dia bertamu. Dan, pada semester inilah masa agak santai - mereka tak harus menyiapkan diri untuk kenaikan kelas, dan ujian akhir masih jauh. Hingga kini sudah 94 siswa pernah ikut dalam PPS, ditambah 58 yang tahun ini sedang menjalani program itu. "Tak ada kesulitan karena kurikulum untuk semua SPG negeri sama," tutur Sri Utami, siswa kelas III SPGN Blitar, yang tahun lalu mengikuti PPS di SPGN Denpasar. Sri merasa senang belajar dalam lingkungan baru meski hanya lima bulan. Kesempatan ini ia gunakan mempelajari tari Bali. Lebih dari itu - dan inilah salah satu manfaat PPS - Sri, anak seorang dalang, sempat membandingkan cara mengajar guru di Denpasar dan di Blitar. Entah bagaimana persisnya, tapi tanggapannya telah sedikit mengubah cara pengajaran di SPGN Denpasar, begitulah tutur Sri kepada Jalil Hakim dari TEMPO. Sementara itu, Cok Istri Raka Budiartini, 17, siswa SPG Denpasar yang kini sedang ber-PPS di SPGN Yogyakarta, mengaku baru tahu adat istiadat orang Jawa. "Saya jadi ingin belajar tari Jawa dan bahasa Jawa," katanya. Tampaknya yang diperoleh siswa bergantung pada minatnya. Meiti, kakak kelas Cok dari SPGN Denpasar itu, misalnya. Ia ikut PPS tahun lalu di SPGN Purwokerto. Perhatian gadis yang kini 18 tahun itu adalah pada sekolah, lebih dari yang lain-lain. Maka, katanya, "Saya menganggap cara SPG I Purwokerto mengharuskan siswa kelas III praktek di SD terpencil sangat bermanfaat," tuturnya. Di Purwokerto siswa kelas III diharuskan praktek mengajar di sebuah SD di pelosok, selama satu bulan. Meiti melihat cara ini membuat para calon guru harus kreatif, karena murid SD di desa, katanya, lain dengan yang di kota. Dan inilah yang dia usulkan kepada kepala SPGN Denpasar sekembalinya dia di sekolahnya sendiri. Usul ini konon baru dipelajari oleh pihak SPGN Denpasar. Ada kewajiban bagi peserta PPS untuk membuat karya tulis tentang kesan-kesan mereka selama belajar di sekolah lain. Karya itu harus diserahkan kepada sekolahnya sendiri dan sekolah tempat dia ber-PPS. "Tapi memang belum ada evaluasi terhadap program ini," kata Duarsa. Misalnya, apa dampak terhadap peri laku siswa peserta, bagaimana pengaruhnya terhadap sekolah, masih belum diketahui. Adapun minat siswa untuk mengikuti program ini ternyata lumayan. Di SPGN II Yogyakarta itu, misalnya, tahun ini yang berminat 25 siswa. Padahal, yang mau dikirimkan cuma dua. Seleksi, sudah disepakati SPG anggota PPS, dengan tiga kriteria. Siswa termasuk peringkat tinggi di sekolahnya, menguasai bidang keterampilan, dan orangtuanya mampu. Kriteria terakhir dipandang perlu karena belum semua biaya bisa ditanggung sekolah. Sekolah hanya bisa memberikan uang saku Rp 5.000 sampai Rp 15.000 per bulan (bergantung pada sekolahnya), plus ongkos pulang pergi kota asal ke kota tujuan. Sementara itu, orangtua di minta tetap membayar seperti biasa, ditambah harus mengirimkan uang asrama buat anaknya. O, ya, mengapa belum semua SPG negeri (yang sekitar 200 di seluruh Indonesia) masuk PPS, karena ada satu syarat: harus punya asrama siswa. Agar tak merepotkan siswa, ditentukan siswa ber-PPS tinggal di asrama. Dan bila PPS selama ini hanya buat siswa putri, sebab SPG peserta PPS memang baru punya asrama buat cewek. Selama ini belum terdengar komentar terhadap inovasi Duarsa ini. Baru I Gusti Pu Rai Tjakra, kepala bidang pendidikan guru di Kanwil P & K Bali, yang punya perhatian. "Setidaknya sekolah yang ikut PPS lalu bersemangat meningkatkan diri," tuturnya "Sebab, bila tidak, 'kan malu." Mungkin Putu Rai benar. Yang jelas, yang barangkali tak dirasakan para siswa itu sendiri, PPS ini adalah suatu latihan adaptasi terhadap lingkungan baru. Bukankah biasanya lulusan SPG negeri lalu ditempatkan, kota-kota bukan tempat kelahirannya? Dan bukankah sudah sering terdengar banyak lulusan yang menolak penugasan di luar kota ini? Cara Duarsa, tampaknya, bisa mengurangi alergi bekerja di luar kota ini. Bambang Bujono, Laporan Aries Margono (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini