Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Selamat tinggal kaki lima

Pedagang kaki lima telah diberi fasilitas untuk berdagang di pasar inpres proyek senen, tetapi mereka lebih menyukai tetap berdagang di kaki lima karena di pasar inpres sulit untuk mendapatkan pembeli.(sd)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara pedagang kaki lima yang menyia-nyiakan fasilitas mendiami pasar Inpres di Blok VI Proyek Senen, terdapat Bujang. Kawan berusia 26 tahun asal Sumatera Barat ini, lebih suka kembali ke pinggir jalan dan menerima predikat sebagai pedagang liar. Padahal sebenarnya ia sudah kenyang melata di kaki lima. "Saya suka pusing kejar-kearan dengan petugas terus," ujarnya kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. Dengan kotak kayu ukuran 70 x 100 x 20 Cm Bujang menjual obat-obatan, masih di bilangan kakilima Senen. Ia memiliki kardus-kardus obat kosong yang disejajarkan dengan rapi untuk memikat pembeli. Beberapa kapsul seperti tetracyclin atau hemaviton terselip di tali kotak. Modalnya hanya Rp 3.000. Kalau ada pembeli menanyakan obat, setelah harga didamaikan, Bujang akan berlari ke pasar inpres Blok VI mencari obat yang dimaksudkan dari grosirnya. "Kami cuma modal dengkul," ujarnya. Macan Pagi hari Bujang mengambil obat dari pemiliknya dengan taruhan kepercayaan. Malam hari ia setor kembali. Kalau hari baik ia bisa mendapat untung bersih sampai Rp 1.500. Seperti ia katakan "dagang begini kadang dapat nyamuk, kadang dapat macan." Untuk itu risikonya cukup besar. Selama setahun jadi pedagang obat liar, sudah 2 kali ia tertangkap. Tapi sampai sekarang tidak juga jera. Beberapa kali ada aksi pembersihan, ia lari tunggang langgang tak semat membawa kabur dagangannya. Kalu begini biasanya bisa ditebus. Tapi Bujang lebih suka membiarkan saja. Habis harganya cuma Rp 2000: tebusannya Rp 5.000. Bujang tidak pernah menyesal. "Kita hadapi apa yang terjadi," ujarnya dengan tenang. Bujang sekarang tampak lebih tua dari usianya. Ia ingin mencari sumber hidup yang lebih baik, tapi belum ketemu jalan. Waktu kecil ia pernah bermimpi jadi wartawan. Tapi waktu kecil di Sumatera ia terlalu cepat kenal uang padahal dasar untuk itu tak ada. Sekolahnya hanya sampai SD. Waktu itu di luar pengetahuan orang tuanya 3 hari dalam seminggu ia berjualan krupuk di pasar. Drang tuanya tak bisa mengontrol karena sekolahnya berjarak 1 Km dari rumah. Maka setelah tamat SD, minatnya sudah hilang untuk mengejar kepintaran. Ia pun merantau ke Palembang sebagai pekerja kapal. Perjalanan hidup Bujang dilanjutkan sebagai jurumudi di kapal Musi Jaya yang berukuran 90 ton. Di atas kapal itu semua orang berdagang. Nakhoda pun terlibat. Kapal yang berdaya angkut 100 ton dijejali muatan seberat 120 ton. Waktu Bujang melaporkan hal ini, nakhoda menghardik, "Kau tahu apa!" Sebagai bawahan Bujang hanya bisa panas melihat permainan orang-orang atasannya. Permainan ini kemudian dihajar oleh nasib di Selat Karimata. Di sana nasi menjadi bubur, kapal yang bermuatan gandum, semen, plat besi serta juga mobil, masuk ke dasar laut. Bersama empat belas orang lainnya Bujang menggapai sekoci, drum dan papan. Bujang mengikat dirinya di papan. 36 jam ia terkatung-katung dalam busa air Selat Karimata. "Tak ada harapan saat itu, tak ada rasa takut, nasib kami serahkan kepada Tuhan," kata Bujang mengenang. Syukurlah kemudian ada kapal Jepang menyelamatkan mereka dan membawanya ke Singapura. Bujang dan kawan-kawannya diserahkan kepada KBRI setempat. Bujang kerja lagi di kapal tanker dan cargo. Tapi kemudian nafsu dagangnya kambuh lagi. Pada tahun 1972 ia membelanjakan semua uangnya di Singapura membeli barang-barang kosmetik. Ada harapannya untuk menjual kembali barang itu di Jakarta dengan untung besar. Tapi lacur, di bea cukai Tanjung Priok langkahnya tersandung. Seluruh modalnya disita. Bujang menggigit jari. Tanpa berusaha menebus barannya, ia kabur meninggalkan kapal. Dari kapal, Bujang beralih jadi tukang cuci motor di pinggir jalan By Pass Priok Jakarta. Kemudian mulai berdagang alat-alat listrik dan kain. Bangkrut lagi. Untung ada tetangga yang menampung. Dan sekarang ia hidup di kaki lima. Pukul 7 pagi sudah harus buka. Tengah hari pukul 11 ia sembahyang di mesjid Senen, sekalian tidur. Sekitar pukul 3-4 sore, ia bangun untuk sholat Ashar. Selebihnya jualan lagi hingga pukul 12 atau jam satu malam. "Saya sedang mencari jalan keluar, masak mau jadi pedagang kaki lima sampai tua," katanya. Di tangannya ada seratus perak. Itu sudah cukup untuk sarapan. Kalau ada untung, dua bulan sekali ia mengirim Rp 5 ribu kepada orang tuanya. Tapi ia sendiri belum berniat pulang. "Orang merantau pulang nggak bawa apa-apa bikin malu, gengsi!" ujarnya dengan mantap. Ia terus mencari jalan keluar. Dan jalan itu dirasanya tak akan ditemukan lewat pasar inpres. Gajah Buyung, 41 tahun, pedagang kakilima yang lain asal Padang juga, persis seperti Bujang. Ia juga tidak melihat ada jalan keluar di pasar inpres. "Memang saya terlambat daftar, tapi taroklah saya dapat tempat di pasar inpres," katanya, "dengan modal cuma Rp 10 ribu percuma, bagaimana bisa?" Seperti Bujang, Buyung memberi alasan: pasar inpres yang sepi tidak mungkin mendapat rezeki seperti diharapkan. "Di sana cuma nyamuk, tidak ada gajahnya. Tiga bulan di sana modal saya bisa habis nggak karuan, pak," tutur Buyung. Buyung tak bermaksud untuk berjuang sampai mati sebagai pedagang kaki lima. Ia berminat juga masuk ke pasar inpres, asal pasar itu sudah ramai. Terutama karena ia harus menanggung isteri, ibu dan dua orang anak yang sudah bersekolah di SD. Untuk sementara ia hanya memusatkan perhatian pada mencari rezeki, sambil menahan rasa malu atas sindiran orang kenapa ia hanya jadi pedagang kaki lima. "Lho, kau sekarang sudah jadi sampah ya!" kata salah seorang kawannya pada suatu kali. Buyung hanya menjawab: "Sampahpun di DKI ada harganya." Buyung jadi keras kepala. "Siang malam di kaki lima ini tak akan mundur, "ujarnya. Kalau ada petugas ketertiban, ia segera kabur. "Tapi begitu ia pergi, saya datang lagi," katanya dengan tenang. Itu sebabnya disamping mengawasi pembeli ia membagi perhatiannya untuk mengawasi keamanan. Ini memang melelahkan. "Leher saya kaku," kata Buyung, "lucu juga rasanya. Ini barang saya sendiri, tapi kalau lagi dikejar-kejar rasanya betul-betul kayak maling." Buyung bersama keluarga tinggal di Pulogadung, dalam sebuah kamar 4 x 5 m yang dikontrak Rp 5 ribu sebulan. Kamar itu dibagi dengan tirai-tirai. Pukul 8 pagi ia mulai jualan sampai tengah hari. Sore hari pukul 4 ia mulai ronde kedua sampai pukul 10 malam. Ia tak pernah berdaang sampai jauh malam, takut siangnya disergap kantuk. "Kalau ngantuk, tahu-tahu ada pembersihan kita bisa digaruk, ya lebih baik tidur di rumah," kata Buyung. Isteri Buyung tidak pernah ikut ke kaki lima. Ini ada alasannya: "Barang cuma sebungkus plastik kenapa mesti ditunggu berdua. Lagi pula kalau ada pembersihan, bisa-bisa bikin isteri saya sakit jantung," kata Buyung. Ia sadar bahwa penderitaan di kaki lima tidak perlu ditambah dengan merusakkan kebahagiaan isteri. Dengan muka yang hitam akibat sengatan matahari, Buyung mengaku tidak suka mengeluh. "Di dunia kita ini pasti nggak akan ada kelaparan. Semut di lobang batu pun bisa makan, apalagi manusia!" ujarnya. Tentang perubahan nasib, memang sudah ia fikirkan. Tapi ia tetap tidak melihatnya di pasar inpres. Ia merasa mungkin ada di Ternate atau mungkin sekali di Timor Timur. "Kalau saya sudah punya modal seratus ribu, kalau saya dapat modal, ya selamat tinggal kaki lima ! " katanya dengan mata berbinar-binar. Arif Fadilah, 48 tahun, mendahului mimpi Buyung. Ia telah mengucapkan selamat tinggal pada kakilima, tapi tidak pergi ke Ternate. Ia cukup puas dengan pasar inpres di blok VI Senen. Dia mewakili pensiunan kaki lima yang berjuang menegakkan rezeki dalam kesepian pasar inpres. Berteman arloji-arloji yang harus direparasinya, ayah dari 9 anak ini mendiami kapling 2,1 x 1,50 m di pasar itu. Barangkali ia mendapatkan imbas dari profesinya, yakni memperbaiki jam rusak -- sekaligus untuk memperbaiki keadaan yang sepi itu jadi berdetak dalam kesibukan. Arif juga datang dari Padang. Perekonomian yang suram di Padang pada tahun 1961 melentingkannya ke Ibukota. Karena ia sudah mengenal jam sejak usia 10 tahun, turun temurun dari kakeknya, maka iapun menghadapi Jakarta dengan darah seorang tukang jam. "Kerja begini tak ada kemajuan. Kalau sakit tak ada yang menggantikan, sedang kalau dagang biasa jika sakit masih bisa diganti," kata Arif. Namun demikian ia toh tetap memperbaiki jam. Tak tahu apa yang sebenarnya menarik dari sebuah jam. Barangkali alamlah yang menghendakinya memperbaiki jam penduduk Jakarta. Waktu masih melata di kakilima Arif mangkal di Kramat Bunder. Begitu sering ia main kucing-kucingan dengan para petugas, selalu berakhir dengan selamat. Pendapatannya tak tentu. Satu hari bisa nol. Tapi Tuhan lebih besar dari segala kesulitan: uang kemarennya masih sisa. Ini memang ilmu hidup orang kecil. Untung saja Arif tetap berfikir sederhana. "Pemerintah sudah menyediakan tempat yang baik," katanya menunjuk pasar inpres, "ya kita tempati. Saya sendiri bingung kalau ada yang tidak mau menempati. Bukankah panas dan hujan bukan gangguan lagi, kita bisa buka terus! " Arif tidak sempat mengatakan bahwa berbeda dengan Buyung dan Bujang, ia tidak ngotot mencari pembeli. Para langgananlah yang mencarinya, berhubung namanya sudah lumayan. Ini barangkli sebagian dari hikmah yang menjadi milik kelas tukang jam, baik dia di kaki lima atau di pasar inpres.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus