Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bumi di mana-mana gembel

Mengatasi gelandangan di cakranegara (lombok) dengan memberi latihan ketrampilan. kebanyakan gelandangan dari penduduk miskin. musim panen mereka pulang ke udik, kembali ke kota musim paceklik.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU dikatakan gelandangan hanya urusan kota-kota besar, Lalu Mas'ud, camat Cakranegara (Lombok), akan marah. Habis orang ini ternyata banyak tersita waktunya untuk menata hidup warga kota yang menjadi remah-remah di kawasannya. Bayangkali hampir tak ada pojok kota yang luput dari tongkrongan sosok-sosok yang terpaksa memilih hidup tak sedap ini. Tak urung itu bangku panjang pada halte bus kota, mereka sebut sebagai ranjang prodeo untuk tidur mereka yang seringkali kesiangan. Seenaknya sendiri mereka menumpuk lusuh barang-barang di siang hari, sementara angin mengacaukan debu di sepanjang jalan kota. Ini berubah waktu malam -- karena di antara mereka ada yang dengan lihainya bisa merubah jalanan kota menjadi pasar asmara alias WTS. Bukan sekali dua mereka tersapu oleh operasi penertiban. Namun bukannya susut, mereka bahkan menjadi bertambah kebal terhadap gertak sambal para Hansip. Apa boleh buat. Alangkah gundahnya hati para wargakota yang menyebut dirinya baik-baik. Karena hidup merdeka dari para gelandangan yang betul-betul lepas bebas dari segala aturan itu banyak mendatangkan hal-hal merugikan. Baik bernama pencopetan, penggerayangan pada toko-toko, ataupun "polusi suasana" yang menjadi apak. Memang menyedihkan, pahit dan menyedihkan, bahwa penduduk miskin dari Lombok Tengah dan Lombok Timur ini mengarungi dunianya yang muram itu karena tekanan ekonomi -- dan ini dirasakan di mana-mana di tanah air ini, anda tahu. Lihatlah mereka ini sebenarnya menunjukkan kemauan bekerja misalnya pada musim-musim panen--tatkala mereka berbondong-bondong mudik ke daerah asal sebagai pekerja, meskipun pada akhirnya balik ke kota di musim paceklik. Terhadap mereka yang oleh Mas'ud disebut "gelandangan temporer" ini, kegusaran masyarakat tak seberapa -- bahkan sebenarnya lebih banyak berwujud simpati. Tetapi mereka yang gentayangan secara kronis, merebut dan menghuni setiap emperan toko dan pojokan-pojokan yang aman dengan tak pandang musim (meskipun sebab mulanya sama saja: tekanan ekonomi) -- "Inilah yang mengotori kota!", ujar Mas'ud. Di Pandansalas, sesungguhnya sudah digali kubangan untuk mereka oleh Kantor Sosial Lombok Barat. Tetapi tidur istana ini rupanya tidak sesedap tidur di bawah bintang-bintang. Rumah tembok yang disebut Wisma Marga Karya itu mereka tolak dengan cara meninggalkannya beramai-ramai, sehingga para pengawas yang bertugas menjadi bengong Hati Camat jadi sangat gusar karena sikap tidak bersahabat ini. Iapun sudah lama bosan karena melakukan usaha-usaha yang sama tanpa kemajuan.Justru atas dasar kemanusiaan, dengan tegas ia melakukan razzia pada bulan Maret yang lalu dengan bantuan Kepolisian Resort Ampenan. Di tengah malam buta ia menggerayangi kaki lima yang menjadi semak-semak mereka, dan berhasil mengumpulkan ratusan gelandangan termasuk wanita binal tanpa surat ijin. Berdesakan dalam truk mereka langsung dioper ke Gunung Panusuk di kawasan Ampenan Utara. Di sana mereka dilepas begitu saja -- dengan bekal ultimatum: "Kalau toh mau kembali harus lapor ke Pandansalas dan harus tinggal di tempat itu juga, atau akan dibuang kembali untuk kesekian kalinya". Mas'ud menyangka kekerasan yang cukup lunak ini akan membuat mereka jera. Alhamdulillah memang ada juga hasilnya. Kini hanya satu dua gelandangan tersua di jalan kota. Sementara Pandansalas sudah ramai kembali. 164 orang dengan asal-usul 1001 macam mulai dipersiapkan memasuki hidup layak dengan memberi latihan bertukang, menjahit dan ketrampilan-ketrampilan khusus lainnya. Yah mudah-mudahan saja ada yang akan dijahit di pedusunan dan ada yang akan ditukangi. Wisma berharga 1 juta itu juga diperlengkapi sebuah kolam ikan untuk sekedar hiburan sekaligus bisa dimanfaatkan. Sebab ditakutkan juga bukan hal yang mudah untuk mengikat orang berkubang sekedar tidur dan membunuh waktu hanya demi kebersihan jalan raya -- tanpa kesibukan-kesibukan pasti yang langsung menguntungkan mereka sendiri. Apalagi tidak adanya beban rasa bersalah pada para gelandangan itu (dan mengapa mereka bersalah?), sudah wajar membuat hati mereka segera bergolak. Sapoan, seorang petugas sosial Cakranegara yang mengawasi kedamaian gedung gratis itu, tak sedikit keluhnya."Mereka tak betah di sini", ujarnya menerangkan ihwal kaburnya beberapa sekapan yang sirna sebelum sempat dibujuk. Bukan karena tak insaf, tapi semata-mata karena mereka gundah. Memang ada juga 14 bekas WTS yang keburu dapat dicarikan jodoh sebelum merayap kembali ke dunianya yang mesum. Mereka dinikahkan dan berhasil dikembalikan ke kampungnya, syukurlah. Mengatasi keresahan para penghuni, soal ibadah segera ditingkatkan. Tercatat dengan bangga penyelenggaraan MTQ antar Tuna Karya. Setiap magrib, dalam kelengangan kawasan yang cukup damai itu, selalu mengalun suara adzan. Pada hari-hari tertentu terdengar pula suara mereka membaca ayat-ayat Qur'an. Kesibukan ini dijalankan dengan sunguh-sungguh. Sebab, lain dari itu,disinyalir pula adanya kegiatan bawah tanah dari hantu-hantu -- ya, ini hantu betul -- yang menghuni daerah yang dahulunya ternyata kuburan itu. Makhluk halus ini, begitulah ceritanya, rupanya juga tak suka kepada para gelandangan. Mereka konon suka bersorak riuh bagaikan tembok yang sedang digusur. Sehingga banyak juga yang ngacir karena kecil nyalinya. Syukurlah setelah dibiasakan kegiatan peribadatan itu, kini makhluk-makhluk ini sudah dinyatakan pergi -- sehingga tak bisa dijadikan dalih untuk minggat. Sebab menurut Sapoan diduga keras gelandangan itu banyak yang tak bisa tinggal lantaran penampungan itu tidak memberi kesempatan mereka mencuri. Nah itu dia. Persiapan untuk menjadi bandit ini rata-rata menjadi hobi hampir semua gelandangan. Kelihatannya jamak, meskipun tidak semua gelandangan mempunyai keberanian untuk itu. Soalnya konon, di Lombok Tengah, di desa Bonjeruk, ada semacam adat. Di sana semua calon suami, sebelum kawin, harus bisa "mencuri".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus