KALAU dikatakan gelandangan hanya urusan kota-kota besar,
Lalu Mas'ud, camat Cakranegara (Lombok), akan marah. Habis orang
ini ternyata banyak tersita waktunya untuk menata hidup warga
kota yang menjadi remah-remah di kawasannya. Bayangkali hampir
tak ada pojok kota yang luput dari tongkrongan sosok-sosok yang
terpaksa memilih hidup tak sedap ini. Tak urung itu bangku
panjang pada halte bus kota, mereka sebut sebagai ranjang prodeo
untuk tidur mereka yang seringkali kesiangan. Seenaknya sendiri
mereka menumpuk lusuh barang-barang di siang hari, sementara
angin mengacaukan debu di sepanjang jalan kota. Ini berubah
waktu malam -- karena di antara mereka ada yang dengan lihainya
bisa merubah jalanan kota menjadi pasar asmara alias WTS. Bukan
sekali dua mereka tersapu oleh operasi penertiban. Namun
bukannya susut, mereka bahkan menjadi bertambah kebal terhadap
gertak sambal para Hansip. Apa boleh buat.
Alangkah gundahnya hati para wargakota yang menyebut dirinya
baik-baik. Karena hidup merdeka dari para gelandangan yang
betul-betul lepas bebas dari segala aturan itu banyak
mendatangkan hal-hal merugikan. Baik bernama pencopetan,
penggerayangan pada toko-toko, ataupun "polusi suasana" yang
menjadi apak. Memang menyedihkan, pahit dan menyedihkan, bahwa
penduduk miskin dari Lombok Tengah dan Lombok Timur ini
mengarungi dunianya yang muram itu karena tekanan ekonomi -- dan
ini dirasakan di mana-mana di tanah air ini, anda tahu. Lihatlah
mereka ini sebenarnya menunjukkan kemauan bekerja misalnya pada
musim-musim panen--tatkala mereka berbondong-bondong mudik ke
daerah asal sebagai pekerja, meskipun pada akhirnya balik ke
kota di musim paceklik. Terhadap mereka yang oleh Mas'ud disebut
"gelandangan temporer" ini, kegusaran masyarakat tak seberapa --
bahkan sebenarnya lebih banyak berwujud simpati. Tetapi mereka
yang gentayangan secara kronis, merebut dan menghuni setiap
emperan toko dan pojokan-pojokan yang aman dengan tak pandang
musim (meskipun sebab mulanya sama saja: tekanan ekonomi) --
"Inilah yang mengotori kota!", ujar Mas'ud.
Di Pandansalas, sesungguhnya sudah digali kubangan untuk mereka
oleh Kantor Sosial Lombok Barat. Tetapi tidur istana ini rupanya
tidak sesedap tidur di bawah bintang-bintang. Rumah tembok yang
disebut Wisma Marga Karya itu mereka tolak dengan cara
meninggalkannya beramai-ramai, sehingga para pengawas yang
bertugas menjadi bengong Hati Camat jadi sangat gusar karena
sikap tidak bersahabat ini. Iapun sudah lama bosan karena
melakukan usaha-usaha yang sama tanpa kemajuan.Justru atas dasar
kemanusiaan, dengan tegas ia melakukan razzia pada bulan Maret
yang lalu dengan bantuan Kepolisian Resort Ampenan. Di tengah
malam buta ia menggerayangi kaki lima yang menjadi semak-semak
mereka, dan berhasil mengumpulkan ratusan gelandangan termasuk
wanita binal tanpa surat ijin. Berdesakan dalam truk mereka
langsung dioper ke Gunung Panusuk di kawasan Ampenan Utara. Di
sana mereka dilepas begitu saja -- dengan bekal ultimatum:
"Kalau toh mau kembali harus lapor ke Pandansalas dan harus
tinggal di tempat itu juga, atau akan dibuang kembali untuk
kesekian kalinya". Mas'ud menyangka kekerasan yang cukup lunak
ini akan membuat mereka jera. Alhamdulillah memang ada juga
hasilnya.
Kini hanya satu dua gelandangan tersua di jalan kota. Sementara
Pandansalas sudah ramai kembali. 164 orang dengan asal-usul 1001
macam mulai dipersiapkan memasuki hidup layak dengan memberi
latihan bertukang, menjahit dan ketrampilan-ketrampilan khusus
lainnya. Yah mudah-mudahan saja ada yang akan dijahit di
pedusunan dan ada yang akan ditukangi. Wisma berharga 1 juta itu
juga diperlengkapi sebuah kolam ikan untuk sekedar hiburan
sekaligus bisa dimanfaatkan. Sebab ditakutkan juga bukan hal
yang mudah untuk mengikat orang berkubang sekedar tidur dan
membunuh waktu hanya demi kebersihan jalan raya -- tanpa
kesibukan-kesibukan pasti yang langsung menguntungkan mereka
sendiri. Apalagi tidak adanya beban rasa bersalah pada para
gelandangan itu (dan mengapa mereka bersalah?), sudah wajar
membuat hati mereka segera bergolak. Sapoan, seorang petugas
sosial Cakranegara yang mengawasi kedamaian gedung gratis itu,
tak sedikit keluhnya."Mereka tak betah di sini", ujarnya
menerangkan ihwal kaburnya beberapa sekapan yang sirna sebelum
sempat dibujuk. Bukan karena tak insaf, tapi semata-mata karena
mereka gundah. Memang ada juga 14 bekas WTS yang keburu dapat
dicarikan jodoh sebelum merayap kembali ke dunianya yang mesum.
Mereka dinikahkan dan berhasil dikembalikan ke kampungnya,
syukurlah.
Mengatasi keresahan para penghuni, soal ibadah segera
ditingkatkan. Tercatat dengan bangga penyelenggaraan MTQ antar
Tuna Karya. Setiap magrib, dalam kelengangan kawasan yang cukup
damai itu, selalu mengalun suara adzan. Pada hari-hari tertentu
terdengar pula suara mereka membaca ayat-ayat Qur'an. Kesibukan
ini dijalankan dengan sunguh-sungguh. Sebab, lain dari
itu,disinyalir pula adanya kegiatan bawah tanah dari hantu-hantu
-- ya, ini hantu betul -- yang menghuni daerah yang dahulunya
ternyata kuburan itu. Makhluk halus ini, begitulah ceritanya,
rupanya juga tak suka kepada para gelandangan. Mereka konon suka
bersorak riuh bagaikan tembok yang sedang digusur. Sehingga
banyak juga yang ngacir karena kecil nyalinya. Syukurlah setelah
dibiasakan kegiatan peribadatan itu, kini makhluk-makhluk ini
sudah dinyatakan pergi -- sehingga tak bisa dijadikan dalih
untuk minggat. Sebab menurut Sapoan diduga keras gelandangan itu
banyak yang tak bisa tinggal lantaran penampungan itu tidak
memberi kesempatan mereka mencuri. Nah itu dia. Persiapan untuk
menjadi bandit ini rata-rata menjadi hobi hampir semua
gelandangan. Kelihatannya jamak, meskipun tidak semua
gelandangan mempunyai keberanian untuk itu. Soalnya konon, di
Lombok Tengah, di desa Bonjeruk, ada semacam adat. Di sana semua
calon suami, sebelum kawin, harus bisa "mencuri".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini