Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Gelandangan, tak ada tempat buat ...

Jakarta di selimuti gelandangan. tapi ibukota ini menolak gelandangan. untuk itu pemda berusaha membebaskan mereka dengan berbagai cara termasuk menampung dipanti asuhan dan mentransmigrasikan.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAPA banyak sesungguhnya Jakarta menyelimuti orang- orang yang disebut 'tuna wisma/karya'? Susah dijabarkan dengan angka. Mereka yang lebih gampang disebut 'gelandangan' itu menggerayangi hampir seluruh tubuh ibukota dengan kebandelan yang tak mungkin dilawan dengan gertak sambal saja. Dengan mata yang nanar, tubuh yang lusuh, bagaikan gombal mereka bergulung di bawah jembatan, di emper toko, kaki lima bahkan di tempat-tempat yang lebih terang-terangan seperti taman-taman dan sepanjang jalan raya -- dengan keranjang dan japitan untuk memungut puntung. Kota yang ramai ini bagai ibu yang terlalu ramah, dengan segala jenis kesempatan hidup tak mungkin dijumpai di pedalaman. Sementara orang boleh memaki bahwa segala keperluan hidup sekarang ini luar biasa tingginya, toh di lepitan-lepitan yang tidak sulit dijumpai tetap terbuka kehidupan yang sungguh murah. Di sana orang boleh kenyang satu hari dengan seratus perak -- sambil membuka ketawa menyaksikan lalu lintas yang gemuruh, kalau mau. Kemiskinan yang menggigit daerah-daerah di Jawa terutama, tetap momok terbesar yang menyepak mereka ke Jakarta. Dan di sini mereka hidup dengan "tata baru" hampir tanpa tanggung jawab, tanpa basa-basi, dan maunya tanpa merugikan orang lain. Tapi apa boleh buat. Ibukota yang mau disebut kota metropolitan. Berkata: "Tak ada tempat buat kamu Untuk membebaskan Jakarta dari gelandangan, sampai keluar Instruksi Presiden yang mengharuskan bebas gelandangan seluas radius 3 km dari tugu Monas. Secara bertahap, sebagaimana dilakukan terhadap belantara becak di jalan raya, demikian pula dilepaskan gunting untuk mencukur kawasan ibukota sampai klimis. Tahun lalu tak kurang dari 200 kali operasi dilancarkan. Wakil Kepala Dinas Sosial DKI. Sofyan Yahya, mengaku ada kemerosotan pesat dalam jumlah gelandangan. Ini hanya menunjukkan angka 4 sampai 5.000 orang, sementara tahun 1968 mencapai 20 sampai 25 ribu. Angka ini sulit dipercaya, karena dari DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) yang melakukan pengumpulan gelandangan tidak dengan cara cidukan tetapi berdialog langsung disodorkan angka 100.000 (seratus ribu) untuk yang disebut kaum gelandangan --tanpa rumah dan pekerjaan yang ada di Jakarta. Tapi selisih ini normal, mengingat catatan formil punya katagori-katagori tertentu. Belum lagi dipertanyakan siapa yang sesungguhnya bisa disebut gelandangan. Apa ini lebih banyak menampilkan soal kondisi hidup atau sepak terjang, atau kedua-duanya, sehingga jelas hubungannya dengan yang dinamakan tuna karya, tuna wisma, tuna susila, gembel maupun yang disebut kere. Agustinus Suharto, yang selama menjadi gelandangan bernama Wibowo Santoso, berkata: "Gelandangan itu ada tiga, pak. Gelandangan betulan, orang yang menyamar sebagai gelandangan, yang siangnya compang-camping tapi malamnya "jentel?', dan ketiga GTT atau Gelandangan Tingkat Tinggi yang memakai pakaian bersih dan meminta-minta sumbangan ke rumah orang dengan surat ini dan itu". Ia sendiri, yang mengaku berpengalaman sebagai gelandangan tingkat rendah di Semarang selama 8 tahun, kini sedang menunggu di Semper, Priok, untuk ditransmigrasikan ke Kalimantan. Ia menyanggah dengan keras cap yang menghitamkan gelandangan sebagai kaum yang sudah rusak mentalnya. Ia mengingatkan perkumpulan yang pernah disebut 'Gembel Berjuang' -- alamat Menteng Raya 31 -- pimpinan Erwin Kelana ( 1962- 1966) yang menghadap Pemerintah untuk diberikan tanah tempat mereka membangun hidup. Sebaliknya seorang petugas di Panti Asuhan III Pondok Bambu berkata dari balik kaca matanya: "Gelandangan memang tidak mau dituduh sebagai gelandangan sekarang, karena mereka tahu itu dilarang. Saya yang berkecimpung dengan mereka sejak belum punya anak sampai ada 8 anak sekarang, melihat sendiri bahwa hidup sebagai gelandangan sudah menjadi pekerjaan. Mereka kebanyakan profesional". Ia melirik sejumlah gelandangan yang dikonsentrasikan menanti pengembalian ke daerahnya, lalu berkata seakan ia sudah jenuh menghadapi mereka: "Ada 3 aksioma di kalangan mereka: nyolong, bohong dan seks bebas". Petugas ini menyatakan ketiga penyakit itu sulit sekali disembuhkan. Apalagi ada istilah BADAK di kalangan mereka yang berarti: 'Biar Aku hidup Dalam Alam Kepuasan' -- untuk wanitanya. Serta diartikan: 'Biar Aku Dosa Asal Kenyang' -- untuk lelaki. Iapun berkata dengan sedih: "Yang tak habis saya fikir, mereka tidak memikirkan hari depan". Mungkin duduk soalnya sangat berbeda dari mata gelandangan sendiri. Amrin tua, yang tidur di samping rel kereta daerah Senen selama puluhan tahun, adalah seorang gelandangan profesional. Dia masuk Jakarta sejak Belanda dikalahkan Jepang. Hidupnya tak lebih menanjak dari seorang yang sibuk mencari makan dalam satu hari. Tubuhnya sehat, rohaninya pun sehat -- karena selama gubuknya nempel di kompleks pelacuran Planet, ia bersumpah-sumpah tak pernah menyewakan kamarnya untuk "begituan". Sekarang, sambil tidur di alam terbuka bersama isteri dan 3 anaknya, ia terima pekerjaan membersihkan selokan yang menghasilkan Rp 2000 sebulan, ditambah bertanam bayam dan sawi di sekitar daerah rel yang bisa memberikan Rp 4000 sebulan. Pada saat Jakarta melakukan pendaftaran gelandangan untuk memperoleh kartu kuning tanda hak memilih, ia begitu aktif sehingga tampaknya lebih dari petugas. Sambil menyandang sarung dan memakai topi, mukanya yang kasar tapi ramah berhasil menarik teman-temannya mencatatkan diri sejumlah 952 selama 3 malam -- padahal sebelumnya petugas hanya memperkirakan gelandangan di sekitar itu hanya 600. Diam-diam iapun sudah memiliki tanah di Bekasi yang dicanangkannya untuk menampung hari tuanya -- padahal sekarang pun ia sudah tergolong tua. Warga Jakarta yang bukan gelandangan, di samping mengulurkan uang receh dari mobil, atau melemparkan sisa makanan, ada juga yang berfikir agak jauh. Di antaranya mengumpulkan gelandangan anak-anak, dan menampungnya dalam sebuah asrama untuk diberi hari depan dengan kesempatan sekolah. Sejak 3-4 tahun yang lalu, S.S. Lumi yang menyebut usaha sosialnya KDM (Kampus Diakonia Modern) di Kali Baru, sudah pernah menampung sampai 160-an anak-anak terlantar yang merangkaki jalan raya ataupun yang sudah pintar untuk datang sendiri menyerahkan diri. Kini masih ada 20 anak yang sedang dalam asuhannya (10 SMP, 8 SD dan 2 tak sekolah) ditambah suami-isteri bekas pengumpul kertas yang mangkal di belakang stasiun Senen. Tetapi usaha-usaha semacam ini masih terlalu sedikit. Sementara itu Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur sibuk pula menjatuhkan hukuman berdasar pasal 504 dan 505 KUHP, sehingga berjejallah kaum gelandangan di LPK Pondok Bambu untuk menjalani hidup tak bebas rata-rata selama 2 bulan. Kemudian mereka dikirim ke Panti Asuhan III, juga di Pondok Bambu, sampai mereka dianggap pantas untuk dikembalikan ke asalnya, atau dipindah ke Semper kalau mereka mau dan memenuhi syarat untuk ditransmigrasikan. Mungkin karena usaha ini pun tidak begitu mempan, Menteri Sosial HMS Mintareja sampai mengemukakan di hadapan Komisi VIII/DPR-RI bahwa untuk para gelandangan diperlukan perundang-undangan baru--karena pasal 504 dan 505 KUHP masih terlalu ringan. Memakai gincu, kebaya merah muda, Sasih duduk dengan sendu di samping Waskan, suaminya yang tanpa kaki kanan. "Pokoknya kalau bisa, saya mau bawa pulang dia sekarang. Di rumah tidak ada yang ngurus anak-anak", ujarnya. Puluhan pasang mata dari muka yang pucat, kuyu, haus perhatian, malas dan sedikit rasa dengki, ikut berbinar seperti mengucapkan hal yang sama. "Saya bukan gelandangan. Saya datang untuk mencari anak saya dari isteri pertama di daerah Senen", tambah Waskan. Ia mengaku bekas pejuang Angkatan 45 yang bertempur di daerah Kuningan dalam kesatuan Siliwangi. Dengan rasa sesal ia mengutarakan rasa rindunya pada rumah di kampung Goa, Cirebon, di mana ia bekerja sebagai tukang pateri, tambal ban dan reparasi lampu. Ia memiliki sepetak kebun singkong dan tiga orang anak yang harus difikirkan masa depannya. Lebih dari 2 bulan disekap -- yang menyebabkan isterinya sekali menjenguk harus menyerahkan 2 kali Rp 700 kepada kondektur bus Cirebon-Jakarta -- memang pantas membuat dia rindu rumah. Ia mengaku dikeruk di daerah Senen tatkala baru saja turun dari bus. ADAPUN pemandangan berikut ini terlihat pada pukul sebelas pagi di Panti Sosial III Pondok Bambu daerah Klender. Pada saat lebih 100 orang yang dianggap' gelandangan baru saja menyelesaikan sarapan. Dengan lauk sayur tempe dan mengaku kurang makan, para penghuni yang menunggu waktu untuk dikembalikan ke tempat asalnya itu menampilkan wajah kotor ibukota yang sebenarnya. Mereka pernah menggerayang bagai tikus-tikus kota yang diburu oleh team penertiban. Wajah mereka lebih banyak menolak sikap yang seakan-akan menghukum kemiskinan sebagai dosa. Beberapa di antaranya memperlihatkan kesehatan yang bobrok dengan kudis di seluruh tubuh. Tapi sementara itu mereka,dengan gaya priyayi, masih menghembuskan asap rokok yang berasal dari kebaikan hati orang-orang yang menengok. Benar di antaranya ada juga yang tersekap karena kesialan ditabrak peraturan, padahal memang tak ada niat untuk hidup sebagai gelandangan. Tetapi semuanya ini memandang dengan air muka yang sama kepada setiap orang yang datang, dengan satu harapan: pulang. Tapi ke mana? Benar-benarkah mereka memiliki tempat di Republik ini, ke mana mereka tidak hanya bisa pulang, tapi juga hidup wajar? Kasan, suami Kanisah yang dahulunya nangkring sebagai pengumpul kertas di daerah Senen, ngotot bilang punya rumah kontrakan di Cengkareng. "Sumpah! Saya bayar 7.500 setahun. Saya mau pulang ke sana. Di sini badan saya sakit kurang makan", ujarnya dengan mata memelas, sambil menarik celana panjangnya -- yang ia dapatkan dengan 15 hari tidak makan. Sementara teman hidupnya yang bernama Kamisah masih meneruskan pengembaraannya di Senen Raya sebagai pengumpul kertas. Kasan ini sudah beberapa kali kena garuk, tetapi beberapa kali pula berhasil menyogok para petugas. Selalu berjanji untuk pulang, tapi selalu saja tampak kembali ke emperan toko di Senen Raya sebagai pengumpul kertas. Ia punya radio, jam tangan, kadangkala memelihara anjing kecil,dan tak jarang menampung gelandangan lain -- yang kelihatannya belum lama mencium udara ibukota yang metropolitan ini. Tak heran kalau Kasan merasa tak betah dikurung dalam barak-barak ramai, terutama karena campur dengan orang lain -- sementara di daerah operasinya ia dikenal sebagai "orang berada" di kalangan kaki lima. Kata pulang yang dimaksudkannya barangkali kembali kepada dunia lepas yang menjadi kesukaannya, karena di sana ia, bisa merasa sedikit seperti seorang "priyayi". Bayangkan: harga diri. Sri Sudinah, yang ngotot tak suka menyebut diri gelandangan, bertekad pula untuk pulang ke Tegal. Padahal ia sudah 6 kali keluar masuk Panti, bahkan oleh petugas sampai diantar sendiri ke daerahnya. Nenek usia 68 tahun ini, jangan main-main, memang bisa berbahasa Belanda. Dan ada kemungkinan lari dari rumahnya karena tekanan jiwa. Ia mengaku punya 3 cucu yang sekolah di negeri Belanda, rumahnya di Tegal sering dapat tamu dari luar neger, sehingga ia tak betah tinggal di rumah, katanya. Terakhir ia ditangkap di Pasar Tanah Abang waktu belanja. Tatkala Jaksa dengan main-main mengancamkan hukuman 6 tahun agar dia kapok. jawabnya: "Biarin. Sampai mati juga tak apa". Dan waktu di Panti Asuhan ditakut-takuti akan ditahan seumur hidup, ia berkata tenang: "Lari. Kan punya kaki". Tetapi tatkala ditawarkan hendak masuk ke Panti Wreda di Cipayung, tempat kumpul orang-orang jompo. ia cepat menolak: "Tuan, saya ngarep betul kembali ke Tegal, saya sudah kapok, saya nggak bakal gelandangan lagi, habis ada larangan besar. Betul tuan!" Tetapi Mokhtar, salah seorang petugas di Panti itu, cepat-cepat bilang: "Lihat saja nanti. Kalau diantar pulang, kita belum kembali dia sudah duluan di sini". Menurut Mokhtar, kebiasaan pegang uang menyebabkan semua isi Panti ingin sekali segera "pulang" -- kata mana lebih baik diartikan kembali menggelandang. Juga Pulung bin Uding. Ini pemuda yang cacad kaki kirinya karena dipatuk ular tanah, berniat pulang ke Rangkasbitung. "Saya tak akan ke Jakarta lagi. Saya kapok". Ia memakai kopiah, bahasa Indonesianya tidak lancar, mukanya jernih, maklum terkenal paling rajin menunaikan shalat sehingga para petugas sendiri jadi malu. Dua bulan menjalani hukuman di LPK dan baru 13 hari di Panti Sosial, ia mengaku gentayangan ke Jakarta untuk mencari saudaranya.Tertangkap sebagai pengemis selagi makan di warung -- bahkan belum sempat bayar. Baru seminggu di Jakarta ia sudah berhasil mengumpulkan Rp 18 ribu -- bahkan beberapa saat sebelum tertangkap ia masih menerima pemberian sebanyak Rp 2000. "Uang saya semuanya diambil oleh petugas LPK", katanya mengadu, dengan tak berdaya. Jumlah pemberian ini, yang mungkin disebabkan oleh belas orang melihat cacad raganya serta juga kepintarannya untuk memilih lokasi di Mesjid Istiqlal pada hari Jum'at, menimbulkan kesangsian: benarkah sesudah dibebaskan kembali ia tidak tergoda meneruskan debutnya di Jakarta sebagai pengemis yang kaya. "Kebiasaan kita untuk menderma langsung sebenarnya kurang kena", ujar Rochiyat dari Panti Sosial II Pondok Bambu. Itu tentunya bisa dinasihatkan juga kepada gelandangan sejenis Pulung bin Uding itu. Dari Pondok Bambu, yang tak berniat pulang di antaranya adalah pemuda Syarif dari Ciamis, berusia 5 tahun. Meski wajahnya kelihatan "blo'on, ia bisa baca tulis dan rapi juga tutur baha- sanya -- walaupun memang kelihatan sangat minder. Janda Jamilah. sesama gelandangan yang tersekap di Pondok Bambu, berhasil memikat hatinya juga memberinya ketetapan untuk bersedia ditransmigrasikan. Lantaran persyaratan transmigran ada 3 (tidak cacad fisik, bebas G.30 S PKI dan harus sudah berkeluarga), Syarif tak panjang fikir langsung melaporkan maksudnya -- dengan terlebih dahulu menyatakan diri berdua sebagai suami-isteri. "Saya akan bertangggung jawab terhadap Jamilah seumur hidup". kata Syarif. Dalam pada itu pimpinan Panti hanya memberi komentar: "Kami masih akan menilai keseriusan mereka itu". Tak berapa lama kemudian, Syarif dan Jamilah sudah tampak di Panti Pendidikan calon Transmigrasi DKI di Semper. Bersama 30 lainnya yang pernah menyerahkan diri ke Panti Sosial Jelambar ataupun yang tergaet pembersihan, dia harus menjalani latihan 20 hari. Kemudian tergantung kapal-kapal datang. Semper, yang lebih merupakan asrama dengan penerangan listrik, memang tidak membayangkan sama sekali keadaan daerah yang bakal mereka kunjungi sebagai petani atau peladang. Memang ada juga latihan-latihan pertanian, tetapi ada terasa tidak cukup untuk mempersiapkan seorang Syarif yang biasa gelandangan -- sementara Jamilah yang Betawi asli ini bekas isteri seorang guru yang boleh dibilang tak pernah memegang cangkul, konon pula kapak untuk menebas hutan. Sehingga mengirimkan para gelandangan ke daerah transmigrasi kadang disangka sebagai "pembuangan" atau pengusiran halus, bukan pemberian kesempatan untuk hidup lebih wajar dengan bekal yang cukup -- dalam lingkungan yang sama sekali baru. Lihatlah di panti ini banyak WC yang bumpet oleh kotoran manusia, kamar mandi yang terbengkalai dan diseraki kotoran mereka yang rupanya bingung mencari tempat buang hajat besar, yang antara lain menunjukkan bahwa mereka ini belumlah bebas dari "mental gelandangan". Bola-bola lampu yang raib, disikat oleh transmigran sebelumnya sesaat menjelang mereka berangkat. Juga tulisan-tulisan iseng di tembok dan pintu yang lebih menunjukkan hasrat hubungan seksuil daripada persiapan untuk membuka daerah yang masih perawan. Apalagi kalau ditengok pasangan Pak Ja]i dan Ipah, bekas pengumpul kertas yang berhasrat memperbaiki nasib dengan berkata: "Laksana burung, di mana dipatok di-situ kita duduk. Sekarang saya menyerah". Tapi usianya sudah 60 tahun, meskipun di kertas dinyatakan baru 50-an. Edy Supriatna, anak muda dari Ciamis bekas pengumpul barang rongsokan di Jembatan Lima, berkata: "Saya ini orang tani Oom. Soal-soal tani sudah biasa, kita tidak akan ragu-ragu lagi". Ia tidak memamerkan janji-janji. Ia hanya mengatakan kalau dulu ia ingin ke Jakarta untuk mencari pengalaman kini ia ingin lebih jauh dari Jakarta lagi. Di sampingnya ada Yati, yang diketemukannya di stasiun dan bersedia ikut ke mana saja. Belum lagi adik tirinya yang bernama Didi Supriadi (18 tahun), yang kebetulan ditemukannya di jalanan sebagai pemungut puntung rokok. Dengan menahan air mata ia langsung pergi ke Jelambar setelah mendengar dari beberapa rekannya ada kemungkinan untuk menjadi transmigran. Didi sendiri yang masih sangat belia udah berhasil juga mendapat pasangan dalam asrama Semper: seorang wanita seperti tante-tante yang cukup genit, yang sebetulnya pantas menjadi ibunya. Mereka ini kuat dan muda, serta tampak dari air muka berperangai baik. Tapi betulkah Edy tidak akan tergoda untuk membandingkan hidupnya kelak sebagai petani, karena penghasilannya sebagai tukang barang rongsokan bisa mencapai Rp 500-Rp 700 sehari -- menurut pengakuannya? Menurut Sofyan Yahya. Wakil Kepala Dinas Sosial DKI itu, pada tahun ini tercatat 1.638 jiwa yang sudah ditransmigrasikan. Dalam pembersihan-pembersihan yang terakhir diketemukan banyak yang tak memenuhi syarat untuk dikirim karena cacad atau sudah gaek. Proyek transmigrasi memang dimaksudkan akan membawa perubahan bagi mereka, di samping untuk membersihkan DKI dari gelandangan. "Mereka mengganggu ketertiban umum", ujar Sofyan, mengulangi konsideran SK Gubernur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus