Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bungkam, tapi bukan bisu

Penelitian dr. sidiarto kusumoputro & dr. lily menyimpulkan: afasia terjadi karena kerusakan pada otak. gangguan itu pada persepsi bahasa. penanganan afasia di masa datang perlu melibatkan ahli bahasa.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI sebuah pernyataan yang tidak biasa? "Seorang ibu membinkan air susu ada kucin duduk belum minum." Kalimat aneh ini dituliskan seorang penderita kelainan saraf afasia, yang diminta mendskripsikan sebuah foto. Dalam foto itu terpampang seekor kucing yang duduk d kursi meja makan, sedang memperhatikan seorang ibu yang menuangkan minuman di atas meja. Afasia adalah terganggunya persepsi bahasa seseorang, akibat cedera otak, misalnya pendarahan. "Bisa karena benturan keras akibat kecelakaan lalu lintas, bisa juga karena stroke," kata dr. Sidiarto Kusumoputro. Ia dan istrinya, dr. Lily Sidiarto, adalah ahli neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang telah lama merintis pengembangan terapi untuk rehabilitasi gangguan persepsi akibat kerusakan sistem saraf. Di antaranya, terapi untuk mengatasi afasia. Untuk pengembangan terapi inilah, Kamis pekan ini, kedua ahli itu menyelenggarakan diskusi kecil di FKUI. Selain mengundang ahli-ahli bahasa, diundang juga seorang neurolog dari Belanda: dr. Renny Dharma perwira-Prins, untuk menyampaikan berbagai informasi mutakhir. "Afasia terjadi karena otak kiri mengalami cedera," begitu Sidiarto menjelaskan. "Pada bagian inilah terletak jaringan persepsi bahasa." Penelitian yang masih terus dilakukan sampai sekarang menunjukkan bahwa persepsi bahasa merupakan sebuah proses. Dilihat dari sistem kerja saraf, proses itu terjadi di berbagai bagian yang terpisah di belahan otak kiri. Ide untuk bicara antisipasi terhadap lawan bicara -- umpamanya, diolah di bagian muka otak kiri, sementara pemilihan kalimat bagi ide itu terjadi di bagian belakangnya. Karena pusat-pusat pengolahan bahasa itu terpencar, cedera otak tidak merusakkan seluruh sistem pengolahan ballasa di otak. "Hanya sebagian kemampuan berbahasa terganggu," ujar Sidiarto. Afasia (yang berarti tidak berbicara alias bungkam) memang tidak berarti rusaknya seluruh persepsi bahasa. Ada beberapa bagian persepsi yang masih bekerja normal. Teori persepsi belakangan ini memang sedang berubah. Mei lalu, sebuah tim dari University Iowa, Amerika Serikat, yang dipimpin pasangan Dr. Antonio dan Dr. Hanna Damasio, melontarkan teori baru tentang persepsi. Kesimpulan dibangun setelah kedua ahli saraf itu meneliti terbentuknya persepsi melalui sistem penglihatan. Obyek penelitian mereka, penderita prosopagnosia -- gangguan pada sstem saraf yang membuat seseorang tak mampu mengenal wajah, bahkan wajahnya sendiri di cermin. Seperti pada afasia, prosopagnosia terjadi akibat pendarahan otak. Hasil penelitian pasangan Damasio menunjukkan, kegagalan penderita prosopagnosia mengenali wajah tidak berarti rusaknya seluruh kemampuan membangun persepsi. Penderita, misalnya, masih bisa mengenali ekspresi, bahkan menebak usia dengan mengamati tekstur kulit wajah. Cedera otak, menurut kedua ahli saraf itu, pada dasarnya hanya merusakkan sebagian persepsi. Akibatnya, persepsi menjadi tidak lengkap, tapi bukan rusak total. Mempertimbangkan berbagai penelitian mutakhir, Sidiarto berpendapat bahwa komponen-komponen bahasa perlu dirinci lebih tajam, untuk mendeteksi kerusakan persepsi bahasa pada pasien afasia. Juga untuk menyusun terapinya. Terapi afasia selama ini terbatas pada ikhtiar membangun kemampuan berkomunikasi pasien secara umum. Yang diperlukan ternyata sistem yang lebih rinci pada media komunikasinya, yaitu bahasa. "Kelainan afasia harus ditinjau berdasar pemilahan komponen bahasa, seperti fonologi, morfologi, semantik, atau lainnya," kata Sidiarto. Untuk usaha ini, Sidiarto berpendapat, penanganan afasia di masa mendatang perlu melibatkan lebih banyak ahli bahasa. Khususnya ahli bahasa Indonesia, "Karena afasia yang menimpa penderita Indonesia tidak lain gangguan pada kemampuan menggunakan bahasa Indonesia." Jim Supangkat & Sri Indrayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus