Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Duka dan Satwa-satwa Aneh

Cinanti Astria Johansjah melukiskan duka lewat binatang. Bicara tentang sang tunggal dan sang liyan.

17 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG itu gelap. Hanya ada cahaya remang-remang menyorot sebuah kursi. Terasa sunyi dan menyesakkan. Di hadapan kursi itu terdapat 10 lukisan berukuran sama. Sulit melihat lukisan-lukisan itu dalam temaram. Beberapa pengunjung tak mau berlama-lama dalam ruangan itu. Hanya melihat sekilas, lalu berlalu. "Seram," mereka berbisik.

Saya memberanikan duduk di kursi itu. Ketika saya duduk, sorot remang-remang itu hilang digantikan kegelapan absolut. Dua detik lamanya, sebelum bunyi "klik" dan cahaya lain yang lebih terang menerangi 10 lukisan di hadapan saya....

Lalu lukisan-lukisan dari cat air itu terlihat jelas: 10 lukisan potret binatang yang dipajang terbalik. Binatang dalam lukisan-lukisan itu bukan binatang yang umum dikenal. Ada serval (sejenis kucing liar Afrika), monyet hidung pesek, burung guan bertanduk, beruang India, dan domba Leicester. Ada juga uakari botak (sejenis monyet), nilgai (semacam antelop Asia), axolotl (salamander Meksiko), gerenuk (antelop leher panjang), sampai burung bangkai berjanggut.

Instalasi seni itu karya Cinanti Astria Johansjah berjudul Exhibit No. Sekian. Cinanti memasang saklar lampu di bawah bantalan kursi. Maka, ketika seseorang duduk di kursi itu, lampu sorot dari atas akan mati. Gelap beberapa detik, sebelum lampu lain menerangi lukisan satwa-satwa aneh di dinding.

Sejak pekan lalu, instalasi itu dipasang di ruang khusus di Galeri ROH Projects, Jakarta Selatan. Lewat pameran tunggal keempatnya, Cinanti berkisah tentang pengalaman menghadapi duka dan kesedihan. Ruang tadi merupakan ruang kontemplasi untuk merenungkan dan mengingat memori tentang duka. Cinanti merancang ruang kontemplasi itu menjadi sebuah ruang yang gelap dan menakutkan. "Saya ingin menantang pengunjung untuk masuk, duduk, dan menyaksikan," ujar Keni-panggilan akrab Cinanti-Rabu sore pekan lalu.

Menurut Cinanti, banyaknya pengunjung yang ragu, takut, atau menghindar dari ruangan itu merupakan reaksi umum kebanyakan orang ketika mengingat kedukaan. Pengalaman menghadapi duka sama seperti pengalaman dalam instalasi itu: membutuhkan keberanian, mengalami kehampaan, sebelum menghadapi kesedihan itu sendiri.

Karya-karya dalam pameran itu merupakan karya yang sangat emosional bagi Cinanti. Pameran itu sekaligus merayakan kembalinya Cinanti ke jagat seni rupa Indonesia. Setelah pameran tunggal terakhirnya lima tahun lalu, Cinanti sempat kesulitan berkarya karena menderita Bell’s palsy. Kini, setelah pulih, dia mengembangkan ide tentang duka yang dicatatnya delapan tahun silam.

Pada Exhibit No. 3, dalam lukisan sepanjang tujuh meter-terpanjang dalam galeri itu-Cinanti melukis seorang gadis kecil. Rambutnya yang gelap dicepol di atas kepalanya. Dia berkaus putih dan bercelana pendek merah. Stocking hitam dia pakai hingga separuh paha. Gadis kecil itu menatap sosok berselubung biru di hadapannya. Yang terlihat dari pandangannya hanya kaki-kaki binatang. Dari binatang besar seperti rusa besar Amerika Utara (moose), antelop raksasa, kuda, harimau, penguin raja, sampai nyala-semacam antelop. Lalu semakin kecil: hyena, burung berkaki biru, hingga tikus Afrika.

Gadis kecil dalam lukisan Cinanti itu merupakan simbol manusia, sosok tunggal yang melihat duka. "Sebenarnya kita tahu (duka) itu apa, tapi kita susah membuka selubungnya." Seperti anak perempuan itu, duka terlihat sebagai sosok yang besar, tapi semakin lama akan semakin kecil. "Intinya, tidak perlu takut menghadapi duka."

Lukisan terpanjang dalam galeri itu diapit oleh dua lukisan potret gadis kecil yang berhadapan. Wajah gadis itu sendu. Sedangkan di dinding yang berseberangan dipasang Exhibit No. 4. Lukisannya anak perempuan yang sama. Kali ini dia mengenakan selubung biru bersama hewan-hewan yang terbilang jarang dilihat banyak orang. Ada okapi, sapi perah, coyote, quokka, kelinci Eropa, hingga chiru-antelop Tibet yang bertanduk tinggi.

lll

Sebelum lulus dari Jurusan Desain Grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Cinanti memang kerap berkarya dengan binatang sebagai obyek. "Saya suka binatang. Mereka lucu," katanya. Dalam pameran pada 2012 yang bertajuk "Postprandial Somnolence", misalnya, dia mengkritik mahasiswa seni rupa yang lebih memikirkan teknik menciptakan karya seni yang menjual ketimbang berkarya untuk seni. Kritik itu dia sampaikan lewat sejumlah instalasi dari faux fur, kayu, resin, dan akrilik, untuk membuat semacam trofi binatang.

Setahun sebelumnya, dalam pameran tunggal di Kuala Lumpur, Cinanti memamerkan bermacam karya trimatra yang unik. Salah satunya Know The Ropes, menampilkan miniatur jemuran baju yang ditiup angin (dengan sosok anak perempuan berkaus putih dan celana merah) dengan jerapah di hadapannya. Miniatur itu ada dalam stoples kaca yang dipajang dengan karpet rumput dan tanah. Pada 2010, Cinanti dengan lukisan satwa mengeksplorasi medium digital yang dipadukan dengan cat air.

Pameran tunggalnya kali ini, bertajuk "DOWN DOWN DOWN the rabbit hole", merupakan kembalinya Cinanti ke lukisan cat air. Terasa sekali bahwa tekniknya berkembang, sapuan kuasnya terasa kuat sekaligus rapuh. Sesuai dengan tema yang dia angkat dalam pameran ini. Binatang-binatang dalam lukisan Cinanti merupakan simbol dari sang liyan. Pilihan binatangnya yang spesifik menunjukkan riset biologi yang mendalam. Seperti Exhibit No. 6, yang menampilkan takin-sejenis kambing langka yang hidup di Himalaya-yang tampak terkapar, padahal tengah menggaruk punggungnya. Exhibit No. 2 menampilkan gadis kecil menatap hornet kecil di kakinya.

Sejak 2009, Cinanti sudah melukis sosok berkaus putih dan celana merah ini. Sepanjang perjalanan karyanya, sosok tunggal ini dilukiskan dengan wajah yang berbeda-beda. Usianya juga berbeda. Kadang perempuan dewasa, tapi dalam pameran ini sosok itu mewakili anak perempuan. Dia adalah sosok tunggal yang menghadapi sang liyan. "Hanya ada yang tunggal (the one) dan sang liyan (the others). Saya menggunakan pendekatan fenomenologi Martin Heidegger," ujarnya.

Tengoklah Exhibit No. 5, yang melukiskan sosok tunggal di antara domba-domba. "Saya menggambarkan si gadis kecil bersama domba-domba menyeberangi Sungai Styx," kata Cinanti. Dalam mitologi Yunani, Sungai Styx adalah sungai yang harus dilalui para arwah sebelum memasuki duka dalam dunia kematian. Mengacu pada model psikologi duka Kübler-Ross, ada lima tahap duka yang dilalui manusia: penyangkalan, kemarahan, bargaining, depresi, dan penerimaan.

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus