ADA harapan baru bagi penderita talasemia. Tim cangkok sumsum tulang Jawa Tengah berhasil melakukan transplantasi pada seorang pasien, Laurentia Putri Maharjani, yang berusia tiga tahun enam bulan, belum lama ini. Sukses operasi di Rumah Sakit Telogorejo, Semarang, itu merupakan yang pertama di Indonesia. Agaknya ini akan membuka jalan untuk membebaskan penderita penyakit keturunan itu dari ketergantungan cuci darah, yang selama ini harus mereka jalani. Memang, untuk lebih yakin akan sukses pencangkokan ini, diperlukan waktu empat minggu setelah operasi. Artinya, selama itu kondisi Laurentia mampu membaik atau tidak. Itulah yang membuat tim dokter maupun orang tua masih waswas. Namun, hingga tiga pekan ini kesehatan gadis mungil itu menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Dia sudah bisa makan dengan lahap, misalnya. Keberhasilan ini tampaknya tak terlepas dari kekompakan kerja 18 dokter dari berbagai bidang keahlian yang diketuai Profesor A.G. Soemantri, ahli hematologi anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Selain tim dokter dari Jawa Tengah, pada saat operasi, mereka juga didampingi tiga ahli cangkok sumsum dan seorang konsultan perawat dari Prince of Wales Children Hospital, Sydney, Australia. Perjalanan penderitaan Laurentia dengan penyakit talasemianya semula tak diduga orang tuanya. Anak ketiga dari tiga bersaudara ini lahir kembar. Ketika itu, menurut bapaknya, Hartono, tubuhnya montok dan sehat. Namun, sejak Laurentia berusia tiga bulan, orang tuanya mulai curiga. Sebab, pertumbuhannya kelihatan terlambat dibandingkan dengan saudara kembarnya. Karena kondisinya demikian, Laurentia dibawa ke dokter. Dari pemeriksaan Prof. Soemantri, diketahui bahwa anak yang masih imut-imut ini menderita talasemia mayor (tipe talasemia berat). "Penderita talasemia akan menghasilkan sel-sel darah merah yang mudah rapuh dan berumur pendek," kata ahli darah ini kepada TEMPO. Sel darah merah penderita talasemia mudah hancur. Pada orang normal sel itu mampu bertahan 120 hari. Namun, bagi penderita talasemia, sel darah merah hanya berusia 3 sampai 4 minggu. Jika tidak cepat mendapatkan darah segar, penderita biasanya pucat, lesu, dan lama-kelamaan pertumbuhan tulangnya terganggu, misalnya menjadi lebih pipih. Sebab, sumsum sebagai pabrik sel darah dipaksa bekerja lembur. Untuk mencegah kerja keras sumsum itulah, biasanya dilakukan transfusi darah 2 hingga 3 bulan sekali. Sayangnya, terapi ini selain mahal juga ada dampak buruknya. "Bisa terjadi penimbunan zat besi secara berlebihan sehingga mengganggu organ liver, limpa, dan jantung. Dengan kondisi itu, usia harapan hidup penderita ditaksir hanya sekitar 20 tahun," kata Soemantri Dengan berbagai risiko itulah kemudian orang tua Laurentia memutuskan untuk segera melakukan operasi. Biaya Rp 22,5 juta ditanggung renteng oleh Yayasan Yasmia, Gubernur Jawa Tengah, PKK, dan DharmaWanita setempat. Setelah melakukan berbagai persiapan, tim dokter mengambil donor sumsum dari kakak Laurentia, yaitu Christina, yang baru berusia enam tahun. Satu-satunya yang cocok hanya sumsum Christina ini. Langkah pertama, mengambil sumsum Laurentia sebanyak 200 cc, kemudian disimpan ke dalam Deepfreez (alat penyimpan sumsum dengan suhu 300 derajat Celsius di bawah nol). Penyimpanan sumsum ini bertujuan sebagai cadangan. Kalau sumsum dari kakaknya yang dicangkokkan ditolak tubuh Laurentia, sumsum ini bisa di pasang lagi. Setelah itu, baru sumsum Christina diambil, lalu dimasukkan ke tubuh Laurentia. Pencangkokan ini secara keseluruhan berlangsung sekitar dua jam. Kondisi Christina, anak yang berbobot 22 kilogram itu, setelah diambil sumsumnya tampak sehat. Dan sehari kemudian dia diizinkan pulang. "Tidak ada efek samping buat pendonornya," kata Dokter A.P. Pradana, salah seorang dokter yang ikut dalam pencangkokan itu. Menurut Dokter Lam Po Tang, salah satu ahli cangkok sumsum tulang dari Australia yang ikut mendampingi dalam operasi itu, setelah pasien sembuh dia akan mengalami pertumbuhan normal. Bahkan bisa melebihi saudara kembarnya. Karena itulah, untuk meredam reaksi penolakan tubuh terhadap sumsum donor, tim dokter akan melakukan radiasi jaringan limfosit menyeluruh dan antibodi monoklonal. Dengan suksesnya operasi transplantasi sumsum tulang tersebut, menurut Soemantri, penderita talasemia bisa mempunyai harapan hidup lebih panjang, yaitu sekitar 50 tahun. Sebagian besar anak penderita talasemia stadium berat seperti Laurentia tidak kelihatan sewaktu lahir. Hingga kini jumlah penderita talasemia di Indonesia cukup besar. Data yang pasti belum ada. Namun, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, misalnya, sudah terdaftar 506 orang. Bila bapak dan ibunya membawa talasemia, perlu diwaspadai anak yang mereka lahirkan. Peluang akan melahirkan anak menderita talasemia sebesar 25%. "Orang tua yang membawa sifat talasemia ini, di Indonesia, sebesar 5-10 persen," kata Dokter Bulan Ginting, ahli talasemia FK UI, yang juga Kepala Pusat Talasemia Indonesia. Teknik operasi sumsum tulang ini, katanya, sebenarnya tidak baru. Di dunia sudah dilakukan sejak tahun 1980-an. Toh, untuk Indonesia, itu baru pertama kali dilakukan. Pelaksanaan operasi cangkok sumsum tulang itu, menurut Bulan Ginting, belum bisa dikatakan berhasil. Walaupun secara teknik sudah beres, untuk menentukan berhasil atau tidaknya mesti ditunggu, sedikitnya lima tahun. Tandanya, si pasien kambuh lagi atau tidak.Gatot Triyanto, G. Sugrahetty, dan Bandelan Amaruddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini