PENYAKIT kelamin, seperti gonore (GO) dan sifilis, bukan hanya berjangkit di kota-kota. Penyakit akibat "jajan seksual" itu diduga sudah merambah Lembah Baliem, di pedalaman Irian Jaya. Hal itu terungkap ketika Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara T.B. Silalahi berkunjung ke provinsi itu, 31 Maret lalu. Itulah sebabnya, disamping menyerahkan daftar isian proyek (DIP) untuk Provinsi Irian Jaya, Silalahi juga memberikan bantuan Rp 300 juta -- "titipan" dari enam pengusaha di Jakarta. Yang menarik, bantuan sosial itu dirinci lagi. Sejumlah Rp 80 juta di antaranya khusus untuk pemberantasan penyakit kelamin. Te-patnya, untuk daerah Jayawijaya dan Jayapura. Terkuaknya penyebaran penyakit "kotor" di pedalaman Irian Jaya itu datang dari laporan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang dilayangkan ke kantor Menteri Silalahi. Laporan itu berisi rangkuman penelitian Willem Hendrik Vriend, dokter Belanda yang bertugas di pedalaman Irian Jaya pada tahun 1960-1993. Dokter ahli penyakit tropis dan ahli bedah ini menyebutkan bahwa di Lembah Baliem, Jayawijaya, telah muncul wabah penyakit kelamin yang serius. Penyakit kelamin itu, menurut dugaan Vriend, datang dari Jakarta. Ketika itu, tahun 1960-an, sejumlah penduduk dari sana diundang pesiar ke Ibu Kota. Mereka dilaporkan "mencoba senjatanya" di lokalisasi prostitusi kawasan Senen, Jakarta. Sekembali ke Wamena, tanpa disadari, mereka telah menjadi penyebar penyakit kotor itu. Menurut analisa Vriend, jika wabah itu tak ditangani secara tuntas, pada tahun 2000 suku Dani di Wamena itu bisa punah secara alami. Sebab, penyakit kelamin itu dapat membuat mandul pria maupun wanita. Berdasarkan laporan PGI, ada dua kecamatan yang penduduknya dikhawatirkan diserang raja singa. Dua kecamatan yang disebut- sebut itu adalah Sarmi di Kabupaten Jayapura dan Kecamatan Kota Wamena di Kabupaten Jayawijaya. "Upaya penanggulangan penyakit kelamin merupakan masalah mendasar untuk pengentasan kemiskinan," kata Silalahi kepada TEMPO. Penanggulangan penyakit yang menyebar lewat hubungan seksual ini tak cukup dengan droping uang atau obat-obatan. Yang lebih penting, perlu pula pendekatan budaya dan agama. Seperti dikatakan Gubernur Irian Jaya Jacob Pattipi, mungkin saja penyakit kelamin itu ada tapi penderitanya malu melapor ke dokter. "Yang mereka anggap bisa menjamin kerahasiaan penyakitnya hanyalah pendeta," katanya. Kasus berjangkitnya penyakit sifilis di Kecamatan Sarmi dan Wamena, menurut Jacob, belum dapat dipastikan seratus persen kebenarannya. Untuk itulah Gubernur menerjunkan petugas ke lapangan. "Kalau hanya dengar-dengar, apa yang mau ditangani? Informasi seperti itu perlu ditanggapi," katanya. Menurut Jacob, jika benar ada warga Wamena yang ke Jakarta untuk "jajan" di tempat pelacuran, biasanya mereka tak malu- malu "memamerkan diri" sepulang ke kampungnya. Bahkan ada semacam kebiasaan bahwa pria itu lebih "laku" di kalangan kaum wanita di kampungnya. Kebiasaan ini, menurut dugaan Gubernur, dapat memacu penyebaran penyakit kelamin itu. Namun, Gubernur Jacob pun punya kiat untuk menghadang penyakit kelamin itu masuk ke Irian Jaya. "Mereka, misalnya yang baru saja bertugas di Jakarta, pemain sepak bola atau lainnya, begitu turun dari pesawat langsung digiring ke rumah sakit. Mereka baru bisa pulang ke rumah setelah diberi suntikan," kata-nya. Lain penjelasan Gubernur Jacob, lain pula jawaban Kanwil Departemen Kesehatan setempat. Dokter Slamet Sunarno, kepala kanwil di sana, membantah berita merebaknya penyakit kelamin di Jayawijaya dan Jayapura itu. "Kami tak melihat angka penderita penyakit kelamin yang berlebihan," katanya kepada TEMPO. Slamet juga mengaku belum menerima laporan yang dikirim Dokter Vriend. Slamet tak sekadar membantah. Dia bahkan sudah siap dengan angka-angka yang kecil tentang jumlah penderita penyakit kelamin itu. Di Jayawijaya, katanya, penyakit sifilis boleh dibilang relatif jarang. Hasil penelitiannya tahun ini, dari 216 sampel, hanya ada tiga orang yang positif. Namun, yang sedikit mencolok adalah penderita GO. Tahun lalu ditemukan ada empat orang penderita setiap 1.000 orang. Dibandingkan dengan di Wamena dan Jayapura, penderita GO di Jayawijaya lebih tinggi. Di Wamena, tahun lalu hanya ditemukan 0,48 per 1.000 penduduk. Di Jayapura, dari 607 sampel ditemukan dua orang positif GO. Dokter Vriend, 65 tahun, yang kini menetap di Australia, ketika dihubungi TEMPO lewat telepon, tak membantah laporan tentang penyakit kelamin yang melanda suku Dani di Wamena itu. "Jika tak ada perubahan perilaku seksual, pemberian antibiotik tak banyak menolong mereka," katanya. Ia enggan menjelaskan pengalamannya selama bertugas di Lembah Baliem. Ia akan menerbitkan bukunya. Sinyalemen itu, menurut Dokter Suriadi Gunawan, ada benarnya. Namun, kata Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular ini, janganlah terlalu dibesar-besarkan seolah ada masyarakat yang akan punah. "Karena penyakit kelamin tak pandang suku. Di daerah lain seperti Jawa juga banyak yang kena," kata dokter yang pernah bertugas di pedalaman Irian Jaya ini.Gatot Triyanto dan Syahril Chili
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini