Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kolektivisme dan individualisme

Politik barat adalah individualisme yang mulai tumbuh pada abad ke-13. sedangkan moralitas kolektivisme atau anti individualisme timbul abad ke-16. kedua paham politik ini bertentangan sangat mendasar.

16 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA orang tahu bahwa budaya politik Barat itu individualistis. Termasuk Michael Oakeshott, seorang filsuf Inggris kenamaan. Akan tetapi, dalam sebuah ceramah di Universitas Harvard pada tahun 1958, yang baru sekarang dibukukan, Oakeshott meletakkan budaya itu dalam sebuah kerangka yang menakjubkan. Hal ini juga merupakan dasar perbandingan dengan Indonesia. Kerangka itu adalah sejarah Eropa, khususnya sejarah perkembangan ide-ide orang Eropa tentang hubungan antara moralitas dan politik. Berbeda dengan kebanyakan filsuf politik, yang suka berpikir abstrak saja, Oakeshott tidak mau memisahkan perkembangan ide atau teori para intelektual dari konteks masyarakat tempat ide itu tumbuh dan mekar. Oakeshott menemukan tiga jenis moralitas di Eropa, yakni moralitas ikatan komunal, moralitas individualisme, dan moralitas kolektivisme. Ketiganya dikaitkan dengan tuntutan politik massa, dan diungkapkan secara intelektual oleh para teoretikus terkenal seperti John Locke, Jeremy Bentham, dan Karl Marx. Pada abad pertengahan, hampir semua orang terikat pada komunitas primordialnya. Kedudukan, hak, dan kewajiban ditentukan dari luar manusia sendiri, oleh adat dan struktur sosial yang sudah mapan. Konsepsi umum tentang semua kegiatan sosial diilhami oleh model keluarga atau kekerabatan. Penguasa adalah pelaksana dan penjaga hukum dan adat. Moralitas individualisme mulai tumbuh pada abad ke-13 dan sudah sangat kentara pada abad ke-16. Titik tolaknya adalah pilihan pribadi dan kesadaran bahwa manusia berhak mengubah dan membentuk lingkungan sosial dan budayanya. Jenis pemerintahan yang dituntut oleh manusia baru ini bertugas menjamin kemerdekaan perorangan dan hak milik pribadi. Moralitas kolektivisme atau anti individualisme, yang menjunjung cita-cita solidaritas dan persamaan, timbul pada abad ke-16. Ia merebak sampai sekarang. Dalam budaya ini, pemerintah digugat untuk bersikap aktif dan memajukan kepentingan masyarakat sebagai suatu kesatuan. Teori politik kolektivisme dibagi tiga -- menurut tujuan pokok penganutnya -- yaitu apakah yang diinginkan: negara berdasarkan agama, produktivisme, atau distribusi. Salah satu tokoh versi agama adalah John Calvin, ketika dia berkuasa di Jenewa. Keyakinan produktivisme dijelaskan sebagai kewajiban pemerintah untuk mengolah sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat. Yang terakhir, distribusi, mengharuskan negara membagi hasil produksi ekonomi secara merata. Dalam segala versinya, kolektivisme dianggap bertentangan secara fundamental dengan individualisme. Kata Oakeshott, "Kolektivisme mengharuskan pemerintah memaksakan satu pola tingkah laku atas semua subjeknya." Sejauh ini, analisa Oakeshott sebenarnya agak konvensional. Yang menakjubkan adalah pendapatnya mengenai kausalitas. Ia menyinggung banyak faktor, termasuk perkembangan perdagangan dan industri, tapi inti jawabannya adalah choice working upon chance, pilihan memanfaatkan kesempatan. Maksudnya, tak ada satu faktor penentu yang berasal dari luar kemampuan manusia. Setiap orang pada setiap zaman menghadapi berbagai kendala, kemungkinan, dan kesempatan. Meskipun ia tidak mengerti segala implikasi dari perbuatannya, ia harus memilih. Struktur sosial dan budaya diubah sedikit demi sedikit, tanpa arah jelas yang bisa diramalkan sebelumnya, oleh pilihan-pilihan ini. Oakeshott melihat moralitas kolektivisme sebagai semacam pelarian. Berbagai hal menyebabkan banyak orang "tidak mau atau tidak mampu memanfaatkan kemerdekaan pribadi yang ditawarkan oleh moralitas individualisme." Penganut kolektivisme sering menggunakan kosakata moralitas ikatan komunal, seakan-akan mereka mau menghidupkan kembali budaya lama, tetapi Oakeshott menegaskan bahwa mereka adalah manusia Eropa modern. "Keadaan Eropa modern telah melahirkan dua tipe manusia yang berlawanan: si individu dan orang yang tak bisa membuat dirinya menjadi individu." Membaca buku ini menantang saya untuk berpikir tentang Indonesia. Apa yang dikecam oleh Oakeshott sebagai moralitas kolektivisme sudah diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Lagi pula, mereka cenderung percaya bahwa kolektivisme itu berakar pada, dan disahkan oleh, moralitas ikatan komunal. Apakah kenyataan ini berarti bahwa moralitas individualisme mustahil berkembang di Indonesia? Penjelasan Oakeshott secara khusus tentang kolektivisme dan individualisme tidak menolong saya untuk memecahkan masalah ini. Tembok yang didirikannya antara dua moralitas itu terkesan terlalu tinggi dan tebal. Tetapi saya mengaku terpesona oleh rumusannya tentang choice dan chance, pilihan dan kesempatan. Sebab, di dalam tembok Indonesia yang sebenarnya, yaitu masyarakat modern yang majemuk dan sedang membangun, pasti ada lubang dan celah. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh orang yang ingin memperluas ruang gerak bagi si individu. Tentu saja, seperti diakui Oakeshott, dengan pengertian bahwa kita selalu bertindak dalam kesamaran dan tak bisa meramalkan hasil akhir dari perbuatan kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus