Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bobot tubuh Handoko—sebut saja begitu—melorot drastis. Dalam sebulan, beratnya turun ke angka 51 dari semula 60 kilogram. Padahal ia tidak sedang berdiet. Mengalami demam dan batuk, lajang 17 tahun ini kehilangan nafsu makan. Takut ada apa-apa, keluarganya lalu membawa dia ke sebuah rumah sakit swasta di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Pemeriksaan rontgen dilakukan, dan ditemukan flek di paru-parunya.
Untuk memastikan, Handoko diperiksa lagi di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, dua pekan lalu. Selain rontgen, juga dilakukan pemeriksaan dahak. Hasil rontgen menguatkan diagnosis sebelumnya: ia positif mengidap tuberkulosis (TB), penyakit infeksi yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Hanya, hasil pemeriksaan dahak menunjukkan sebaliknya. Untuk lebih memastikan, pengujian lewat teknik pembiakan kuman dilakukan, dan hasilnya baru didapat dua bulan kemudian.
Sembari menunggu kepastian, dokter memberinya obat-obatan untuk melawan tuberkulosis. ”Pengobatan akan dilakukan selama 6-8 bulan,” kata Nursari, kakak sulung Handoko. Obatnya berupa pil merah berisi empat komponen, yakni rifampycin, isoniazid, pyrazinamide, dan ethambutol. Sesuai dengan berat badan, Handoko mesti menelan tiga pil sekaligus sebelum sarapan.
Pil serupa juga harus ditelan Nyonya Rohana, 28 tahun—bukan nama sebenarnya—warga Manggarai, Jakarta Selatan, dan puluhan pasien TB lainnya di RS Persahabatan. Setiap hari 80-90 orang datang ke rumah sakit ini karena parunya bermasalah, termasuk karena tuberkulosis. Ini baru dari satu rumah sakit, belum terhitung pasien di berbagai rumah sakit yang lain.
Masih banyaknya kasus tuberkulosis tersebut menjadi sorotan dalam Kongres Tuberkulosis Indonesia I, di Jakarta, dua pekan lalu. Kongres ini membahas teknik diagnosis baru, obat baru, juga kemungkinan vaksin baru, untuk mengatasi TB. Penyakit ini menyedot perhatian karena Indonesia memiliki penderita tuberkulosis ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina.
”Menurut data survei tuberkulosis nasional 2004, setiap 2,5 menit akan muncul satu penderita tuberkulosis baru di Indonesia,” kata Tjandra Yoga Aditama, Ketua Komite Ahli Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas) Penanggulangan TB, yang terlibat aktif dalam kongres. Secara nasional, setiap 100 ribu penduduk, ada 125 pasien tuberkulosis yang menular. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, setiap empat menit, satu orang Indonesia meninggal karena tuberkulosis.
Direktur Gerdunas, I Nyoman Kandun, yang juga menjabat Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, melansir angka yang hampir sama. Menurut dia, sekitar 400 orang mati setiap hari akibat penyakit ini. Jumlah itu setara dengan kecelakaan fatal pesawat Boeing 747 setiap hari dengan semua penumpang mati. Wajar jika tuberkulosis dinobatkan sebagai pembunuh nomor satu di antara penyakit menular. Penyakit ini juga jadi penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit jantung dan pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
Sejatinya, sejak Mycobacterium tuberculosis diungkap oleh ilmuwan Jerman, Robert Koch, pada 24 Maret 1882, sejumlah upaya sudah dilakukan. Optimisme sempat melambung dengan ditemukannya vaksin tuberkulosis, yakni BCG (Bacillus Calmette & Guerin), oleh Dokter Albert Calmette dan peneliti Camille Guerin pada 1927. Apalagi di dunia juga tersedia tiga obat, yakni INH (isoniazid), PAS (para-aminosalicylic acid), dan streptomycin. Ternyata vaksin dan obat-obatan itu belum sepenuhnya mampu mengatasi TB. Buktinya, pada awal abad ke-21 sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis. Jumlah pasien baru di dunia sekitar delapan juta orang setahun dengan angka kematian meningkat jadi 2-3 juta per tahun.
Selain menyerang paru, kuman tuberkulosis juga bisa hinggap di organ tubuh yang lain seperti tulang, susunan saraf pusat, kulit, mata, ginjal, dan lain-lain. Penyakit yang lazim juga disebut sebagai sakit paru (consumption) atau wabah putih (white plague) ini diperkirakan sudah ada sejak 4.000 tahun lalu. Itu dibuktikan dengan adanya kerusakan tengkorak dan tulang belakang pada mumi-mumi Mesir akibat kuman ini. Penyakit ini menyebar lewat udara dari percikan dahak yang dibatukkan (droplet nuclei) pengidap tuberkulosis.
”Setiap detik, satu orang terinfeksi tuberkulosis di dunia,” kata Tjandra, menyitir publikasi WHO tahun ini. Penderita tuberkulosis memiliki gejala klinis seperti batuk selama tiga minggu atau lebih, kehilangan nafsu makan dan berat badan, nyeri dada, dan demam. Setiap 10 detik, satu orang meninggal akibat penyakit ini.
Para ilmuwan terus mengembangkan teknik diagnosis agar deteksi tuberkulosis bisa lebih cepat dan akurat. Kini, diagnosis utama tuberkulosis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dahak untuk menemukan basil tahan asam (BTA). Teknik ini dapat dengan cepat menemukan tuberkulosis yang menular. Kelemahannya, cara ini tak dapat membedakan bakteri yang hidup dan mati. Selain itu, diagnosis baru positif kalau jumlah kumannya 5.000 per cc dahak. Penyempurnaan teknik ini, antara lain, dengan penggunaan fluorescence microscopy, cairan Fuchsin dengan konsentrasi 1 persen atau 0,3 persen.
Repotnya, meski menjadi standar baku, pemeriksaan dahak sulit dilakukan pada anak-anak. Maklum, mereka lebih sering menelan dahaknya. Kebiasaan inilah yang menghidupkan pendapat bahwa anak-anak susah menularkan tuberkulosis pada orang dewasa. Hal itu dibenarkan oleh Dokter Bambang Supriyatno, spesialis paru anak dari FKUI-RSCM.
Teknik pembiakan kuman dari dahak lewat media padat menjadi andalan berikutnya. Masalahnya, butuh waktu sekitar dua bulan untuk melihat hasilnya. Pada masa mendatang, menurut Tjandra, penggunaan media cair bakal lebih populer karena hasilnya bisa lebih cepat dan akurat. Di Indonesia, teknik ini sudah bisa dilakukan. Cuma, biayanya yang mencapai ratusan ribu rupiah menjadi masalah. Biaya juga menjadi kendala pada pemeriksaan tes Mantoux dengan interferon gamma. Diagnosis paling anyar dilakukan dengan nucleic acid amplification dan molecular genotyping. Repotnya, teknik ini belum bisa dilakukan di sini.
Khusus pemeriksaan dengan rontgen, pada orang dewasa, hasilnya memang memiliki makna sangat besar. Cuma, pada anak-anak, hasil itu bisa bermakna besar, bisa juga sebaliknya. Bambang menyebut, maknanya besar jika ada gambaran milier (bintik-bintik, dan merata pada paru), efusi pleura (ada gambaran cairan), atau kavitas (bulatan di paru alias paru bolong). Di luar itu, bisa saja maknanya kecil. Itu sebabnya, dokter tak bisa menentukan diagnosis tuberkulosis pada anak hanya berdasar pemeriksaan rontgen—hal yang diakui Bambang masih agak banyak dilakukan sejawatnya. Untuk itu, sistem scoring lewat model gabungan tes Mantoux, gejala klinis, dan rontgen bisa dipilih. ”Jika hanya rontgen, bisa terjadi banyak kesalahan (diagnosis),” katanya.
Kesalahan diagnosis—yang diikuti pemberian obat yang keliru—harus dihindari karena bisa memicu resistansi obat. Hal yang sama terjadi akibat pasien berhenti mengkonsumsi obat di tengah jalan karena merasa sudah baikan dan tidak tersedianya obat secara berkelanjutan. Kondisi makin gawat jika sampai terjadi multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB), yakni kuman kebal terhadap sedikitnya dua obat utama, yakni Rifampicin dan INH, yang khasiatnya paling oke melawan tuberkulosis.
Kini para ahli tengah meneliti obat-obatan baru yang bisa melawan resistansi sekaligus mempersingkat waktu pengobatan (kurang dari enam bulan), bisa menangani TB latent, dan dapat mengobati tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS. Pengalaman di India, penggantian ethambutol dengan ofloksasin bisa memangkas waktu pengobatan menjadi empat bulan. ”Obat-obatan baru ini diharapkan sudah tersedia pada 2010,” kata Tjandra Yoga.
Diharapkan, pada 2015 sudah ada vaksin yang dapat mencegah seseorang yang terinfeksi (TB latent) menjadi sakit tuberkulosis. Vaksin yang sedang diteliti, misalnya, M 727 (protein adjuvant) dan 5 BCG 30 (recombinant BCG). Bila vaksin ditemukan, kejadian tuberkulosis akan bisa ditekan 20-40 persen dari sebelumnya.
Indonesia pun sibuk mengerem laju tuberkulosis dengan strategi pemberian obat yang diawasi langsung (DOTS, directly observed therapy), plus Gerdunas. Program ini pula yang diikuti Handoko dan Ny. Rohana.
Kandun menegaskan, pengobatan pasien tuberkulosis tak boleh putus sampai sembuh. Itu penting agar tak memicu terjadinya resistansi obat. Jika prinsip itu dipegang, ia berharap, sebelum 2015, target 70 persen kasus tuberkulosis di Indonesia dapat ditemukan dengan kesembuhan mencapai 85 persen—seperti diharapkan WHO—dapat dicapai. Kini, meski pengobatan sudah mencapai di atas 85 persen, target penemuan kasusnya baru 52-54 persen.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo