Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dalam studio ia sendirian

Seorang operator studio rekaman, ikut menentukan bagus tidaknya suara musik dan penyanyi dari kaset/hasil rekaman. profil beberapa operator studio rekaman. (sd)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI dalam sebuah ruangan yang tak terlalu besar, tapi berhawa sejuk, terlihat seorang laki-laki sedang duduk sendirian. Di depannya, sebuah dinding kaca membatasinya dengan ruang lain yang lebih besar. Laki-laki itu tampak sibuk melayani beberapa peralatan yang ada di ruang itu. Di hadapannya sebuah alat selebar meja makan penuh tombol elektronik dan pengukur frekuensi suara. Sesekali tangannya menghidupkan atau mematikan tombol tape recorder besar yang berada di sebelah kiri tempat duduknya. Di sebelah kanannya terhampar sebuah instrumen pengontrol yang juga penuh tombol. Laki-laki dalam ruangan itu sekali-sekali melirik ke alat ini. Laki-laki itu adalah Gaffar Pakaya, operator studio rekaman (kaset) Musica. Di tangan orang inilah banyak tergantung bagus tidaknya suara musik dan penyanyi dari kaset yang kemudian sampai ke telinga pendengar. Lewat alat perekam yang digumulinya setiap hari di dalam ruang kerjanya itulah, menurut Pakaya, seorang operator dituntut untuk menghasilkan rekaman yang enak didengar. Karena itu, selain harus menguasai benar segala tombol dan alat yang ada di dalam studio itu, seorang operator juga mesti banyak mengenal musik. "Paling tidak saya harus tahu suara-suara dari semua alat musik," tambah lakilaki kelahiran Poso, Sulawesi Tengah itu. Jelasnya, kata Pakaya pula,"jangan sampai merekam suara bola, tapi yang keluar di kaset seperti suara rebab -atau merekam suara trompet, yang keluar malah suara trompet kendang pencak." Vivi Sumanti Tak kalah penting pula, seorang operator juga harus menguasai alat-alat elektronik. Karena, kata Pakaya, seorang operator benar-benar mesti menguasai berapa frekuensi minimal dan maksimal tiap alat musik, sehingga kalau merekam ia dapat mengatur berapa ukuran suara masing-masing alat yang akan direkamnya. Pakaya, 34 tahun, yang mengaku sudah 10 tahun lebih menjadi operator rekaman, rupanya memang sudah menguasai keahlian yang dibutuhkan untuk tugasnya itu. "Apalagi karena kerja merekam ini sebenarnya sederhana saja, "tuturnya. Yaitu kalau sebuah seri lagu (volume) sudah siap direkam, yang pertama kali dilakukan adalah merekam musik dasarnya secara terpisah, yaitu drum dan bass. Setelah itu perekaman musik-musik pelengkap, seperti piano, organ, gitar, trompet dan sebagainya. Suara penyanyi mendapat giliran perekaman paling akhir. Semua itu direkam dengan tape recorder 16 track, sehingga masing-masing suara dapat terekam secara terpisah. Dalam sebuah pita dua track yang disebut master, rekaman-rekaman yang terpisah tadi akhirnya dihimpun. Master inilah yang kemudian diperbanyak untuk diedarkan dalam bentuk kaset. Menurut Pakaya, untuk memproses satu volume (12 lagu) diperlukan waktu satu bulan -- kalau semuanya serba lancar. "Tapi bisa sampai berbulan-bulan, misalnya karena penyanyinya tak ada waktu, atau musisinya ada halangan," ungkap Pakaya lagi. Sejak kecil ayah dari 4 orang anak itu sudah menyenangi musik. Bahkan ketika masih di sekolah dasar, ia sempat mempelajari not balok. Barangkali karena itulah, ketika ia sedang tekun belajar di Akademi Maritim Ujungpandang, suatu hari ia mcnerima surat dari penyanyi Vivi Sumanti. Biduanita yang pernah dikenalnya di Ujungpandang itu mengajaknya mengadu untung di Jakarta dalam bidang musik. Lewat Vivi Sumantilah Pakaya lebih mengenal musik di Jakarta. Sambil tetap kuliah di Akademi Ilmu Pelayaran, dia mulai mencoba menggubah lagu-lagu pop. Misalnya Ingin Kukatakan (Titiek Sandhora), Jadi Orang Pedua (Tetty Kadi? dan Tak Berguna (Inneke Kusumawati), dan beberapa penyanyi lain. Beberapa di antara lagunya juga pernah direkam Remaco. "Sudah sekitar 400 judul lagu yang saya ciptakan," tambah Pakaya. Perusahaan rekaman Remaco, adalah guru pertama tempatnya belajar rekaman. Sesudah itu ia sempat bekerja di Studio Metropolitan, pimpinan Almarhum Bing Slamet -- sebelum akhirnya bekerja di Musica Studio sampai sekarang. Menangani perekaman suara Oma Irama adalah pengalaman Pakaya yang dianggapnya paling berkesan. Sebab, katanya, sampai 7 volume pertama, hasil rekaman itu belum mengorbitkan nama Oma yang waktu itu belum begitu terkenal. Baru setelah volume 8, 9 dan 10, nama biduan itu meledak, terutama karena lagu Berkelana. "Yang membuat saya bangga pula," tutur Pakaya "adalah karena lagu-lagu itu saya rekam dengan alat yang terbilang kuno, yaitu tape 2 track." Pakaya mengaku sekarang sudah mantap pada profesi sebagai operator. Bukan saja karena penghasilannya yang sekitar Rp 400.000 sebulan, juga pekerjaan ini dianggapnya memberi kepuasan batin. "Apalagi kalau hasil garapan saya banyak digemari," tambahnya. Para artis pun menurut Pakaya selalu bersikap baik terhadapnya. Sebab, meskipun umumnya seorang operator dianggap mempunyai kekuasaan mutlak, "kami selalu saling menghormati." Mustafa Wiryat "Begitu melihat kerja operator, saya langsung tertarik," tutur Mustafa Wiryat. Maka jadilah dia seorang operator, sampai sekarang. Tapi tentu tak semudah itu. Modal pertama Mustafa adalah kecintaannya pada musik dan kelihaiannya memetik gitar sebagai anggota Band Quantamer yang populer awal tahun 60-an. Tangga pertama yang mengantarkannya ke profesi operator adalah ketika bandnya mengiringi rekaman di Remaco. Dan karena sejak itu hampir tiap hari ia mengunjungi studio perusahaan rekaman itu untuk melihat proses perekaman-sambil menawarkan lagu-lagu ciptaannya -- ia pun mulai mempelajari kerja seorang operator. Berbagai pelajaran dan pengalaman dikumpulkannya dari berbagai studio rekaman, sebelum akhirnya, pada 1974 bekerja di Yukawi. "Volume pertama yang saya tangani adalah rekaman Oma Irama dengan Soneta-nya." ungkap Mustafa. Dan kebetulan, dari 10 album penyanyi itu, hampir semuanya laku keras di telinga para pencinta dangdut. Di Yukawi, ayah dari 4 orang anak itu juga menangani rekaman penyanyi anak-anak, seperti Deby Rhoma Irama. "Secara teknis rekaman anak-anak itu sulit," kata Mustafa. Sebab penyanyi-penyanyi cilik itu umumnya sukar berkonsentrasi, sehingga suaranya tak selamanya tertangkap secara mantap oleh pengeras suara. Akibatnya, satu lagu bisa menelan waktu rekaman 4 sampai 5 hari. Mustafa yang masih terus mencipta lagu, mengaku secara materiil menjadi operator jauh lebih menyenangkan daripada sebagai pencipta lagu. Nama operator memang tak banyak dikenal. "Tapi sebagai operator saya mendapat penghasilan tetap -- kadang-kadang juga mendapat persen dari artis yang merasa puaspada hasil kerja saya," kata Mustafa, 38 tahun. Sejak setahun lalu, Mustafa bekerja sebagai operator di Purnama Record. Ia memang mengaku, "seorang operator dapat membantu seorang artis agar rekamannya bagus, tapi juga dapat menghancurkan artis itu." Namun sampai sekarang, operator yang berpenghasilan sebulan rata-rata Rp 500.000 itu, belum pernah berniat jahat terhadap seorang artis pun. Selain sebagai operator Flower Sound Studio dan pencipta lagu, Rachman Abdullah, 42 tahun, juga dikenal sering membuat ilustrasi musik untuk beberapa film cerita. Misalnya, yang paling akhir lagu Bila Dua Mata Memandang dalam film Remaja di Lampu Merah. "Kalau mengikuti jiwa seni, saya sebenarnya lebih puas mencipta lagu dan bermain musik," kata ayah dari 5 orang anak ini "tapi seperti anda tahu, apakah seorang tua seperti saya ini dapat hidup layak hanya dari main musik?" Pemain gitar itu memang telah menggubah beberapa lagu. Antara lain yang terkenal di tahun 59/60, Kisah Cinta lewat suara Ivo Nilakrisna dan Surabaya melalui suara ara Puspita. Sebelum menjadi operator di Flower Sound Studio, Rachman telah berkelana di beberapa studio rekaman. Mula-mula di Remaco, lalu membina Dimita Studio (yang sekarang tak ada lagi), di Musica Studio dan menjadi operator freee lance. Namun sampai sekarang ia nnasih merasa mendapat perlakuan kurang pantas dari para produser. Sebab, "bagi produser tampaknya yang penting barangnya laku, mutu kemudian -- karena itu jerih payah operator kurang di hargai. "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus