DI dalam sebuah ruangan yang tak terlalu besar, tapi berhawa
sejuk, terlihat seorang laki-laki sedang duduk sendirian. Di
depannya, sebuah dinding kaca membatasinya dengan ruang lain
yang lebih besar. Laki-laki itu tampak sibuk melayani beberapa
peralatan yang ada di ruang itu.
Di hadapannya sebuah alat selebar meja makan penuh tombol
elektronik dan pengukur frekuensi suara. Sesekali tangannya
menghidupkan atau mematikan tombol tape recorder besar yang
berada di sebelah kiri tempat duduknya. Di sebelah kanannya
terhampar sebuah instrumen pengontrol yang juga penuh tombol.
Laki-laki dalam ruangan itu sekali-sekali melirik ke alat ini.
Laki-laki itu adalah Gaffar Pakaya, operator studio rekaman
(kaset) Musica. Di tangan orang inilah banyak tergantung bagus
tidaknya suara musik dan penyanyi dari kaset yang kemudian
sampai ke telinga pendengar. Lewat alat perekam yang digumulinya
setiap hari di dalam ruang kerjanya itulah, menurut Pakaya,
seorang operator dituntut untuk menghasilkan rekaman yang enak
didengar.
Karena itu, selain harus menguasai benar segala tombol dan alat
yang ada di dalam studio itu, seorang operator juga mesti banyak
mengenal musik. "Paling tidak saya harus tahu suara-suara dari
semua alat musik," tambah lakilaki kelahiran Poso, Sulawesi
Tengah itu. Jelasnya, kata Pakaya pula,"jangan sampai merekam
suara bola, tapi yang keluar di kaset seperti suara rebab -atau
merekam suara trompet, yang keluar malah suara trompet kendang
pencak."
Vivi Sumanti
Tak kalah penting pula, seorang operator juga harus menguasai
alat-alat elektronik. Karena, kata Pakaya, seorang operator
benar-benar mesti menguasai berapa frekuensi minimal dan
maksimal tiap alat musik, sehingga kalau merekam ia dapat
mengatur berapa ukuran suara masing-masing alat yang akan
direkamnya.
Pakaya, 34 tahun, yang mengaku sudah 10 tahun lebih menjadi
operator rekaman, rupanya memang sudah menguasai keahlian yang
dibutuhkan untuk tugasnya itu. "Apalagi karena kerja merekam ini
sebenarnya sederhana saja, "tuturnya. Yaitu kalau sebuah seri
lagu (volume) sudah siap direkam, yang pertama kali dilakukan
adalah merekam musik dasarnya secara terpisah, yaitu drum dan
bass. Setelah itu perekaman musik-musik pelengkap, seperti
piano, organ, gitar, trompet dan sebagainya.
Suara penyanyi mendapat giliran perekaman paling akhir.
Semua itu direkam dengan tape recorder 16 track, sehingga
masing-masing suara dapat terekam secara terpisah. Dalam sebuah
pita dua track yang disebut master, rekaman-rekaman yang
terpisah tadi akhirnya dihimpun. Master inilah yang kemudian
diperbanyak untuk diedarkan dalam bentuk kaset.
Menurut Pakaya, untuk memproses satu volume (12 lagu) diperlukan
waktu satu bulan -- kalau semuanya serba lancar. "Tapi bisa
sampai berbulan-bulan, misalnya karena penyanyinya tak ada
waktu, atau musisinya ada halangan," ungkap Pakaya lagi.
Sejak kecil ayah dari 4 orang anak itu sudah menyenangi musik.
Bahkan ketika masih di sekolah dasar, ia sempat mempelajari not
balok. Barangkali karena itulah, ketika ia sedang tekun belajar
di Akademi Maritim Ujungpandang, suatu hari ia mcnerima surat
dari penyanyi Vivi Sumanti. Biduanita yang pernah dikenalnya di
Ujungpandang itu mengajaknya mengadu untung di Jakarta dalam
bidang musik.
Lewat Vivi Sumantilah Pakaya lebih mengenal musik di Jakarta.
Sambil tetap kuliah di Akademi Ilmu Pelayaran, dia mulai mencoba
menggubah lagu-lagu pop. Misalnya Ingin Kukatakan (Titiek
Sandhora), Jadi Orang Pedua (Tetty Kadi? dan Tak Berguna
(Inneke Kusumawati), dan beberapa penyanyi lain. Beberapa di
antara lagunya juga pernah direkam Remaco. "Sudah sekitar 400
judul lagu yang saya ciptakan," tambah Pakaya.
Perusahaan rekaman Remaco, adalah guru pertama tempatnya belajar
rekaman. Sesudah itu ia sempat bekerja di Studio Metropolitan,
pimpinan Almarhum Bing Slamet -- sebelum akhirnya bekerja di
Musica Studio sampai sekarang.
Menangani perekaman suara Oma Irama adalah pengalaman Pakaya
yang dianggapnya paling berkesan. Sebab, katanya, sampai 7
volume pertama, hasil rekaman itu belum mengorbitkan nama Oma
yang waktu itu belum begitu terkenal. Baru setelah volume 8, 9
dan 10, nama biduan itu meledak, terutama karena lagu Berkelana.
"Yang membuat saya bangga pula," tutur Pakaya "adalah karena
lagu-lagu itu saya rekam dengan alat yang terbilang kuno, yaitu
tape 2 track."
Pakaya mengaku sekarang sudah mantap pada profesi sebagai
operator. Bukan saja karena penghasilannya yang sekitar Rp
400.000 sebulan, juga pekerjaan ini dianggapnya memberi kepuasan
batin. "Apalagi kalau hasil garapan saya banyak digemari,"
tambahnya. Para artis pun menurut Pakaya selalu bersikap baik
terhadapnya. Sebab, meskipun umumnya seorang operator dianggap
mempunyai kekuasaan mutlak, "kami selalu saling menghormati."
Mustafa Wiryat
"Begitu melihat kerja operator, saya langsung tertarik," tutur
Mustafa Wiryat. Maka jadilah dia seorang operator, sampai
sekarang.
Tapi tentu tak semudah itu. Modal pertama Mustafa adalah
kecintaannya pada musik dan kelihaiannya memetik gitar sebagai
anggota Band Quantamer yang populer awal tahun 60-an. Tangga
pertama yang mengantarkannya ke profesi operator adalah ketika
bandnya mengiringi rekaman di Remaco. Dan karena sejak itu
hampir tiap hari ia mengunjungi studio perusahaan rekaman itu
untuk melihat proses perekaman-sambil menawarkan lagu-lagu
ciptaannya -- ia pun mulai mempelajari kerja seorang operator.
Berbagai pelajaran dan pengalaman dikumpulkannya dari berbagai
studio rekaman, sebelum akhirnya, pada 1974 bekerja di Yukawi.
"Volume pertama yang saya tangani adalah rekaman Oma Irama
dengan Soneta-nya." ungkap Mustafa. Dan kebetulan, dari 10 album
penyanyi itu, hampir semuanya laku keras di telinga para
pencinta dangdut.
Di Yukawi, ayah dari 4 orang anak itu juga menangani rekaman
penyanyi anak-anak, seperti Deby Rhoma Irama. "Secara teknis
rekaman anak-anak itu sulit," kata Mustafa. Sebab
penyanyi-penyanyi cilik itu umumnya sukar berkonsentrasi,
sehingga suaranya tak selamanya tertangkap secara mantap oleh
pengeras suara. Akibatnya, satu lagu bisa menelan waktu rekaman
4 sampai 5 hari.
Mustafa yang masih terus mencipta lagu, mengaku secara materiil
menjadi operator jauh lebih menyenangkan daripada sebagai
pencipta lagu. Nama operator memang tak banyak dikenal. "Tapi
sebagai operator saya mendapat penghasilan tetap --
kadang-kadang juga mendapat persen dari artis yang merasa
puaspada hasil kerja saya," kata Mustafa, 38 tahun.
Sejak setahun lalu, Mustafa bekerja sebagai operator di Purnama
Record. Ia memang mengaku, "seorang operator dapat membantu
seorang artis agar rekamannya bagus, tapi juga dapat
menghancurkan artis itu." Namun sampai sekarang, operator yang
berpenghasilan sebulan rata-rata Rp 500.000 itu, belum pernah
berniat jahat terhadap seorang artis pun.
Selain sebagai operator Flower Sound Studio dan pencipta lagu,
Rachman Abdullah, 42 tahun, juga dikenal sering membuat
ilustrasi musik untuk beberapa film cerita. Misalnya, yang
paling akhir lagu Bila Dua Mata Memandang dalam film Remaja di
Lampu Merah. "Kalau mengikuti jiwa seni, saya sebenarnya lebih
puas mencipta lagu dan bermain musik," kata ayah dari 5 orang
anak ini "tapi seperti anda tahu, apakah seorang tua seperti
saya ini dapat hidup layak hanya dari main musik?"
Pemain gitar itu memang telah menggubah beberapa lagu. Antara
lain yang terkenal di tahun 59/60, Kisah Cinta lewat suara Ivo
Nilakrisna dan Surabaya melalui suara ara Puspita.
Sebelum menjadi operator di Flower Sound Studio, Rachman telah
berkelana di beberapa studio rekaman. Mula-mula di Remaco, lalu
membina Dimita Studio (yang sekarang tak ada lagi), di Musica
Studio dan menjadi operator freee lance. Namun sampai sekarang
ia nnasih merasa mendapat perlakuan kurang pantas dari para
produser. Sebab, "bagi produser tampaknya yang penting barangnya
laku, mutu kemudian -- karena itu jerih payah operator kurang di
hargai. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini