Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Dari Jantung ke Impotensi

Sebagian besar penderita penyakit jantung koroner berisiko mengalami disfungsi ereksi. Untuk menanganinya, pedoman pengobatan disfungsi ereksi dari Ikatan Dokter Indonesia sebaiknya dipatuhi.

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH jatuh, tertimpa tangga. Pepatah itu tak salah lagi telah dengan pas mencerminkan penderitaan ganda yang ditanggung para pasien penyakit jantung koroner. Soalnya, selain harus berjuang melawan rasa sakit karena penyakit jantung koroner, cepat atau lambat biasanya sebagian besar dari mereka juga menanggung derita akibat disfungsi ereksi atau impotensi. Sejumlah penelitian, di antaranya oleh Asia Pacific Society for Impotence Research (APSIR), telah membuktikan hal itu. Hasil penelitian APSIR terhadap 30 pasien pasca-operasi pintas jantung menunjukkan, sebesar 57 persen mengalami disfungsi ereksi setelah 1-2 tahun. Penelitian lain, juga oleh APSIR, menyebutkan petaka disfungsi ereksi pada pasien yang pernah mendapat serangan jantung mencapai 59 persen. Sedangkan pada orang yang tidak pernah mendapat serangan jantung, insiden disfungsi ereksi "hanya" 35 persen. Data petaka ganda bagi penderita jantung koroner itu menjadi perbincangan menarik dalam salah satu sesi simposium "Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskuler" di Jakarta, pekan lalu. Menurut Dr. Daulat Manurung dari Sub-Bagian Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-UI/RSCM, "Disfungsi ereksi pada PJK (penyakit jantung koroner) dapat terjadi karena faktor risiko disfungsi ereksi juga merupakan faktor risiko PJK." Selain kesamaan faktor risiko?seperti merokok dan mengonsumsi alkohol?terjadinya disfungsi ereksi juga bisa dipicu oleh obat-obatan yang biasa diminum pasien jantung koroner. Faktor usia juga tidak bisa dinafikan karena penyakit jantung koroner sering terjadi pada usia tua. Maksudnya, semakin tua usia seseorang, semakin besar pula risiko yang dihadapinya untuk terkena jantung koroner dan impotensi. Lalu, apa yang bisa dilakukan pasien yang sudah jatuh lalu tertimpa tangga semacam itu? Impotensi tak berarti kegiatan seksual juga harus dihentikan. Dr. Akmal Taher, dari Sub-Bagian Urologi Bagian Ilmu Bedah RSCM, menolong pasiennya dengan suntikan khusus. Pasiennya, Mario (bukan nama sebenarnya), 47 tahun, adalah seorang penderita diabetes melitus yang pernah menjalani operasi bypass jantung di Sydney, Australia. Operasi berhasil dengan mulus dan ia masih bisa menikmati hidupnya, termasuk menikmati kehangatan seksual. Tapi, 12 tahun kemudian, saat usianya 59 tahun, kehangatan itu hancur berantakan. Seperti dikisahkan Akmal, pensiunan pegawai bank ini mengalami impotensi berat. Menimbang riwayat penyakit yang telah dideritanya, Akmal memberikan terapi dengan penyuntikan obat Papaverin-Fentolamin, yang bisa membuat ereksi optimal. Suntikan pertama ke batang penis memang dilakukan oleh dokter di klinik. Namun, suntikan berikutnya bisa dilakukan sendiri oleh Mario. Injeksi dilakukan lima belas menit sebelum hubungan seksual dilakukan. Dan obat itu akan menimbulkan efek ereksi kira-kira sampai setengah jam. Ini tak jadi masalah buat Mario. Karena sudah terbiasa menyuntikkan insulin untuk pengobatan diabetesnya, ia tak mengalami kesulitan menyuntikkan Papaverin-Fentolamin ke batang penisnya. "Hasilnya cukup bagus," ujar Akmal. Pada beberapa kasus disfungsi ereksi, pasien memang diperbolehkan menyuntikkan obat sendiri. Ini berlaku bagi penderita impotensi yang muncul karena penyakit jantung koroner ataupun penyebab lainnya. Menurut pedoman dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dikeluarkan tahun 1999, efek samping bisa dihindari bila tahap-tahap penanganan disfungsi ereksi ditaati. Dalam pedoman ini disebutkan, misalnya, pasien yang baru pertama kali datang dengan keluhan impotensi tidak bisa langsung diberi obat. "Itu berbahaya," kata Dr. Pradana Soewondo dari Pusat Diabetes dan Lipid FK-UI/RSCM. Selain belum tentu pasien membutuhkannya?karena kasusnya belum tentu tergolong disfungsi ereksi?obat juga punya efek samping yang harus diwaspadai. Penderita penyakit jantung yang sedang menggunakan obat mengandung nitrat, misalnya, tidak boleh mengonsumsi obat seperti Viagra, yang berbahan aktif sildenafril sitrat. Obat mengandung nitrat organik umumnya digunakan untuk mengatasi gejala angina pectoris (sakit di dada). Akan fatal akibatnya bila pada saat bersamaan pasien mengonsumsi sildenafril sitrat. "Karena dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah rendah (hipotensi) berat, yang bisa mengancam jiwa," ujar Pradana. Secara garis besar, pedoman IDI memang menghendaki agar upaya non-pengobatan harus lebih dulu ditempuh. Misalnya, pasien diminta menghentikan pemakaian dan mengganti obat yang diduga menyebabkan disfungsi ereksi, mengubah gaya hidup dengan tidak merokok, dan tidak mengonsumsi alkohol dan obat-obatan. Tapi, jika upaya itu tidak berhasil, barulah pasien diterapi dengan obat-obatan. Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus