Muhammad Qodari*)
*) Peneliti di ISAI, Jakarta, dan mantan Ketua Kelompok Studi Mahasiswa-UI Eka Prasetya tahun 1995-1996
DALAM analisis kekuatan politik, gerakan mahasiswa tak kalah pentingnya dengan kekuatan lain: militer atau partai politik, misalnya. Analisis ini berlandaskan pada pengalaman empiris, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tempat mahasiswa kerap memainkan peran menentukan dalam perubahan politik besar-besaran. Dengan karakteristik khasnya, mahasiswa sewaktu-waktu bisa menjelma menjadi kekuatan politik yang tak bisa diabaikan. Catatan sejarah pascakemerdekaan Indonesia merekam prestasi gerakan mahasiswa menumbangkan dua sosok mahaberkuasa: Sukarno di tahun 1966 dan Soeharto di tahun 1998.
Gerakan mahasiswa pantas disebut sebagai kekuatan politik tersendiri. Pendidikan yang diperolehnya di perguruan tinggi membuat mahasiswa relatif lebih "nalar" untuk mengolah informasi sosial-politik yang berkembang di masyarakat. Bukan berarti mahasiswa tidak dapat dimanipulasi oleh penguasa. Tetapi, jelas lebih sulit dibandingkan dengan mengendalikan, katakanlah, alam pikiran "masyarakat desa". Mahasiswa juga berada pada usia biologis ketika semangat muda dan energi dinamis tengah mencapai puncaknya, yang kerap diasosiasikan dengan idealisme yang (masih) tinggi. Mahasiswa relatif belum mencicipi, dan karenanya belum tercemar, oleh berbagai vested interest di dalam lingkup kehidupan sehari-hari. Jumlah mahasiswa yang ratusan ribu menambah potensi gerakan mahasiswa untuk diperhitungkan sebagai kekuatan politik tersendiri.
Akan tetapi, perpecahan gerakan mahasiswa akhir-akhir ini membuat cara baca kita terhadap gerakan mahasiswa harus dikoreksi. Pembacaan selama ini terfokus pada apa maunya mahasiswa dan agenda politik apa yang seharusnya mereka tetapkan. Menurut saya, fokus ini tidak tepat. Sebab, selain sebagai aktor yang setiap tindakannya dapat mempengaruhi konstelasi politik, gerakan mahasiswa juga harus dibaca sebagai produk atau "anak kandung" dari suatu sistem politik itu sendiri. Sistem politik adalah "author" dari "teks" yang bernama gerakan mahasiswa. Lihat saja, kekohesifan-soliditas gerakan mahasiswa 1966 dan 1998 telah "didiktekan" oleh sistem politik otoriter yang dipersonifikasikan oleh sosok Sukarno dan Soeharto. Juga "didiktekan" oleh kemuakan dan penentangan terhadap rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, yang serba memaksa dan hegemonik. Sederhananya, Sukarno dan Soeharto sendirilah "dalang" di balik gerakan mahasiswa yang menjatuhkan keduanya.
Pemahaman sistem politik sebagai "dalang" di balik gerakan mahasiswa ini membuat kita mengerti mengapa gerakan mahasiswa 2001 terpecah setidaknya ke dalam tiga kelompok isu seperti sekarang ini. "Author" gerakan mahasiswa 2001 berbeda dengan "author" gerakan mahasiswa 1998. Kejadian ini sebetulnya bukan hal yang baru. Peristiwa Malari tahun 1974, gerakan mahasiswa besar pasca-1966 pertama kembali turun ke jalan, bagi sebagian orang lebih dilihat sebagai produk pertarungan elite politik Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang berebut pengaruh dengan Aspri Presiden Bidang Polkam merangkap Kepala Bakin Jenderal Ali Moertopo. Bahkan, jauh sebelum tahun 1974, sesaat setelah kejatuhan Sukarno, sudah tercipta polemik terbuka antara elemen gerakan mahasiswa 1966 yang masuk ke dalam parlemen dan yang "ngotot" berjuang di luar. Logika sistem politik masa transisi menguak perbedaan kelompok mahasiswa ke permukaan.
Karena itu, tidak mengherankan bahwa gerakan mahasiswa 2001 terfaksionalisasi seperti sekarang ini. Di satu sisi, perpecahan ini mengajarkan kepada gerakan mahasiswa bahwa mereka bukanlah aktor yang seotonom seperti yang sering diklaim selama ini, baik oleh masyarakat maupun diri mereka sendiri. Perbedaan karakteristik yang diberikan pada berbagai elemen yang menyusun gerakan mahasiswa menjadi manifest dan sangat potensial untuk dipengaruhi, untuk tidak mengatakan dimanipulasi, oleh berbagai kelompok elite masa transisi yang tengah memperebutkan panggung kekuasaan nasional.
Kekuatan mahasiswa pro-Gus Dur, seperti diungkap berbagai media massa, cenderung berkaitan dengan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan NU atau PKB. Sebaliknya, kekuatan mahasiswa kontra-Gus Dur didominasi oleh kelompok yang melihat Gus Dur sebagai sosok pemimpin yang tidak mengakomodasi kepentingan atau agenda sosial-politik Islam. Kenyataan itu sangat ironis, mengingat di samping karakteristik khusus yang mencirikan kedua kelompok pro dan kontra tersebut, keduanya sama-sama mengaku berjuang menyelamatkan reformasi.
Di antara kedua kelompok yang cenderung terjebak pada sikap pro dan kontra Gus Dur tersebut, sebetulnya ada kelompok ketiga yang berusaha melepaskan diri dari bahaya pendiktean situasi di atas. Sayang, kelompok terakhir ini yang justru tidak beroleh sokongan memadai dari konstituen mahasiswa. Padahal, dengan kesadaran bahwa gerakan mahasiswa merupakan "produk" langsung dari konstelasi politik transisional yang terus berubah-ubah, gerakan mahasiswa mesti keluar dari pendiktean situasi itu.
Karenanya, menurut saya, agenda terpenting gerakan mahasiswa 2001 yang kini terfaksionalisasi adalah menyelenggarakan "moratorium" atau jeda politik di antara sesama mereka terlebih dahulu. Seluruh elemen gerakan mahasiswa punya pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan sebelum akhirnya memutuskan kembali (atau tidak kembali) turun ke jalan. PR tersebut adalah mencari titik temu atau satu kesepakatan terhadap reformasi itu sendiri. Memang berat, tapi apa boleh buat.
Lalu, bagaimana bila berbagai elemen mahasiswa tidak dapat mencapai kata sepakat dalam agenda aksi mereka? Menurut saya, setiap elemen gerakan mahasiswa?dari kelompok isu mana pun?telah kehilangan basis legitimasinya untuk meneruskan turun ke jalan. Sebab, seperti sudah saya argumentasikan di atas, sistem politiklah "dalang" sesungguhnya dari gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa "tak lebih" dari aktor yang dibatasi logika perebutan kekuasaan masa transisi. Hanya sistem politik otoriter-permanen yang dapat melahirkan gerakan mahasiswa yang solid dan sejati. Sistem politik transisi seperti sekarang ini pasti akan "mendiktekan" bias kepentingan pada elemen mahasiswa sebagai fungsi tak terhindarkan dari pertarungan politik memperebutkan kekuasaan di lapisan elite politik baru. Kecuali kalau memang seluruh elemen mahasiswa 2001 mampu kembali berdiri di bawah satu payung yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini