Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Psikologi Olahraga atau Psikolog Olahraga

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jo Rumeser*) *) Psikolog, tinggal di Jakarta SAAT ini, pendidikan psikologi serta himpunan profesi psikologi di Indonesia sudah bersepakat untuk membedakan antara sarjana psikologi dengan psikolog. Untuk bisa menjadi psikolog, seorang sarjana psikologi perlu mengambil tambahan kursus atau studi. Analoginya sama dengan sarjana hukum dan notaris atau sarjana kimia dengan apoteker. Obyek studi psikologi adalah perilaku manusia, baik terbuka maupun tertutup, seperti berpikir dan emosi. Karena obyek studi disiplin psikologi adalah perilaku, "obyek" para psikolog berpusat pada mengapa seseorang berperilaku tertentu, sekaligus dapat memperkirakan atau meramalkan kemungkinan munculnya perilaku tertentu. Jadi, manuver para psikolog akan selalu berada di antara mengapa dan meramalkan. Di antara kedua polar tersebut dapat muncul berbagai kegiatan, misalnya untuk meramalkan, para psikolog melakukan evaluasi psikologi atau dalam bahasa sehari-hari disebut psikotes. Sementara itu, untuk menjawab mengapanya, ia melakukan wawancara ataupun observasi yang sistematis. Karena sudah tahu mengapanya, psikolog pun dapat mengubahnya bila perlu. Untuk itu, digunakanlah berbagai teknik, mulai dari brain washing sampai teknik terapi yang beraliran humanistik. Salah satu kembangan aplikasi disiplin psikologi adalah dalam bidang olahraga. Pertanyaannya, seberapa jauh manfaat disiplin psikologi bagi kemajuan olahraga serta untuk peningkatan prestasi atlet. Jawabnya sederhana sekaligus klasik, bisa bermanfaat dan bisa juga kurang bermanfaat. Kalau ditanyakan apa manfaatnya dan bagaimana memanfaatkannya, jawabannya menjadi lebih rumit. Salah satu hal yang perlu dibedakan adalah memanfaatkan psikologi atau memanfaatkan psikolog. Meminjam istilah "tokoh-tokoh Republik" saat ini, hal tersebut harus diklarifikasi. Memanfaatkan psikologi berarti memanfaatkan kaidah-kaidah ilmu psikologi, atau menerapkan prinsip-prinsip ilmu psikologi dalam aktivitas olahraga. Bila hal ini yang terjadi, tidak ada keharusan hadirnya secara fisik seorang psikolog. Apakah hal ini dimungkinkan? Sangat mungkin. Kita lihat saja bagaimana para pelatih besar mengimplementasikan kaidah ilmu psikologi dalam kerja mereka sehari-hari. John Wooden, salah seorang pelatih bola basket legendaris di Amerika?salah satu atletnya, Karem Abduljabbar, saat ia masih berkompetisi di NCAA?memanfaatkan prinsip-prinsip yang ada pada teori pembelajaran maupun psikologi kognitif, khususnya human information process. Pelatih american football yang legendaris, Vince Lombardi, dikenal sebagai pelatih yang mempunyai keunggulan dalam memompa semangat para atletnya. Ini berarti ia amat mahir memberikan motivasi. Sampai-sampai ada yang menyebutkan ucapannya "winning isn't everything, it's the 'only' thing" sebagai Lombardian ethics. Sedangkan di tanah air kita bisa melihat bagaimana Coerver, pelatih PSSI asal Belanda, mengatakan bahwa "musuh pelatih" bukanlah 11 pemain yang menjadi first line up atau pemain inti, tetapi pemain yang duduk di bangku cadangan. Coerver sesungguhnya memperhatikan kaidah dinamika kelompok dari cabang psikologi sosial. Bersamaan dengan itu, ia juga mewaspadai masalah motivasi para pemain cadangan. Barbatana, pelatih PSSI Garuda asal Brasil, pernah menghukum seorang atlet yang bandel bukan dengan hukuman fisik seperti lari keliling lapangan, tetapi dengan melarang pemain ikut berlatih. Padahal, ia mempunyai pedoman bahwa untuk bisa terpilih dalam tim, setiap pemain harus hadir dan ikut berlatih. Di sini Barbatana jeli sekali menerapkan hukum reward & punishment atau pujian dan ganjaran dalam membentuk perilaku tertentu. Dalam kelompok ini perlu juga kita masukkan D'Amato almarhum, yang membawa Mike Tyson dari tukang berkelahi menjadi petinju andal. Peran D'Amato terbukti sesudah ia meninggal, Tyson mengalami gejolak dalam karir tinjunya. Tidak heran bila beberapa pakar psikologi olahraga berani mengatakan bahwa para pelatih yang berhasil sesungguhnya adalah practitioner psychologists. Pada waktu yang lalu FIFA bekerja sama dengan sebuah perusahaan minuman yang terkenal menerbitkan pedoman pembinaan sepak bola untuk kelompok umur. Pedoman tersebut disusun dengan memperhatikan tahap-tahap perkembangan anak. Misalnya pada kelompok umur di bawah 10 tahun si anak tidak boleh diikat dengan suatu posisi tertentu, mainnya seperti model gerombolan ikan. Ketentuan off-side juga tidak diberlakukan, yang dilarang adalah memegang bola dengan tangan dan bermain kasar. Selain itu, ukuran bola juga harus lebih kecil dari yang dipakai oleh orang dewasa. Ketentuan ini didasarkan pada asumsi bahwa anak pada kelompok usia ini perlu diberi kebebasan dan kesenangan agar terbangkitkan minatnya. Selain itu, anak usia ini perlu mengembangkan perbendaharaan gerakan psikomotoriknya. Jadi, jangan membatasi geraknya dengan posisi tertentu di lapangan atau dengan menggunakan bola yang terlalu besar sehingga sulit bagi dia untuk "memanipulasi" bola tersebut dengan anggota tubuhnya. Melalui pendekatan ini, anak dapat dirangsang kreativitasnya dalam mengolah bola serta memanfaatkan ruang-ruang kosong di lapangan. Bagaimana ceritanya tentang psikolog? Para psikolog dapat dimanfaatkan dari dua sisi. Sisi yang pertama adalah memanfaatkan pemahamannya akan kaidah psikologi untuk kemudian digunakan untuk membantu para pembina dalam program pemasalan maupun peningkatan prestasi. Sisi yang kedua adalah menggunakan para psikolog secara langsung, yaitu memasukkan mereka sebagai salah satu anggota tim pembina. Berarti mereka terjun langsung dalam penanganan para atlet. Satu hal yang perlu diwaspadai, nakhoda dari tim pembina adalah pelatih. Jadi, psikolog tidak boleh bertindak sebagai pelatih bayangan. Psikolog berfungsi sebagai pembantu pelatih dalam program pencapaian prestasi yang lebih baik. Kalau lebih kita pertajam dengan mempertanyakan apakah sebaiknya para atlet?khususnya atlet puncak?perlu didampingi psikolog, jawabnya adalah: tidak selalu. Mengapa? Pertama, psikolog tidak perlu dimasukkan sebagai anggota tim pembina bila ia tidak dapat memberikan kontribusi yang signifikan atau nilai tambah dalam proses pencapaian prestasi. Kedua, kalau pelatih tidak percaya bahwa psikolog dapat memberikan nilai tambah. Ketiga, kalau atletnya tidak percaya atau skeptis terhadap keterlibatan psikolog dalam program pembinaannya. Keempat, kalau dana tidak tersedia. Sebagai akhir kata dapat disampaikan bahwa psikologi olahraga sebagai suatu pengetahuan mempunyai manfaat yang sejajar dengan kedokteran, gizi, dan lain-lain. Tetapi, bila menyangkut psikolog, perlu kehati-hatian yang tinggi dalam melibatkannya secara langsung dalam program pembinaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus