ADA pameran yang berlangsung dua tahun sekali, Biennale Seni Lukis, diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Segera, Juli ini, akan diadakan yang ketujuh. Ada pameran tiga tahunan, Triennale Jakarta, oleh dewan itu juga. Yang pertama, tahun lalu, menampilkan patung. Dan kini, di Bandung (Balai Pertemuan Ilmiah, 4-14 Juli) Bienal-1 Seni Grafis Indonesia diselenggarakan Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Seni gambar dengan hasil ganda berkat teknik cetak ini - seni grafis menurut banyak orang memang sudah waktunya ditunjang oleh pameran yang lebih giat, termasuk pameran besar (se-Indonesia) yang berkala, demi penyebaran dan perkembangan lebih lanjut. Peralatan yang dibutuhkannya menyebabkan seni ini tak dapat berkembang sesubur seni lukis di sanggar-sanggar pada 1940-1970. Tapi lembaga pendidikan tinggi seni rupa, terutama di Yogyakarta (ASRI, sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI) dan di Bandung (sekarang FSRD-ITB) mempunyai peralatan makin lengkap, bahkan menghasilkan tenaga-tenaga terdidik khusus seni grafis. Maka, telah beberapa lama terbentuk angkatan seni grafis, yaitu pegrafis yang lumayan jumlahnya. Sebagian besar masih muda. Lihat saja biennale di Bandung itu. Pesertanya sekitar 50 orang, 21/2 kali lipat jumlah peserta Pameran Seni Grafis Indonesia tahun lalu di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dari jumlah itu, 20 orang berusia 30 ke bawah, hanya 5 berumur 50 ke atas. Kemudaan angkatan seni grafis kita, seperti tercermin pada pameran ini, niscaya tidak terusik, meskipun kita perhitungkan beberapa pegrafis lebih tua, seperti A.D. Pirous, yang tidak ikut serta. Karena pegrafis muda yang tak ikut akan terhitung lebih banyak. Tapi kemangkiran itu, memang, telah menyebabkan bandingan jumlah yang amat miring antara peserta dari Yogyakarta (hampir setengah dari seluruh peserta) dan dari kota lainnya (Bandung 16, Jakarta 7, Surakarta 3). Mungkin kemiringan ini pula yang menyebabkan penyelenggara mengikutkan juga perupa Bandung yang selama ini tidak dikenal sebagai pegrafis, di samping menyertakan pegrafis dengan karya-karya lama (misalnya dari 1981, 1984, bahkan ada yang buatan 1972 dan 1975). Ada sekitar 80 karya dipamerkan. Teknik yang tampak paling banyak dipakai ialah cukil (kayu dan hardboard). Cetak saring menempati kedudukan kedua, sedang yang ketiga ialah etsa. Hanya ada satu hasil litografi (cetak batu). Ada banyak corak atau ragam - boleh dibilang sebanyak peserta pameran. Jika mau menerobos perbedaan secara kasar dan buru-buru, barangkali kita akan mendapatkan empat atau lima golongan besar. Ada yang tidak menggambarkan obyek apa-apa, atau nyaris begitu, meskipun golongan ini kecil. Pegrafis tertua dalam pameran ini, Mochtar Apin, dengan cetak saring menyaiikan warna-warna keras pada bidang lebar-lebar, diperlunak oleh batas tak beraturan seperti hasil sobekan. Apa yang pertama-tama dituntut dari kita tentunya ialah kemampuan merasakan warna dan mencerap silih pengaruh antara warna-warna. A. Sadali memamerkan sebuah etsa keabu-abuan, mengajak kita merenungi batang-batang dan sisa-ssa emas, untuk kesekian kali, sesudah kita melihat yang semacam itu dalam sekian banyak lukisannya yang lebih banyak kita kenal. Ke dalam kubu-nonfiguratif atau nonobyek tif ini termasuk pegrafis lebih muda seperti Bambang Setiawan, Eka Suprihadi, Bachtiar Sofwandi, Nunung Nurdjanti. Yang tersebut terakhir ini membuat "konstruksi" dari segitiga-segitiga yang beragam. Tentu saja, tertib bentuk dengan jalan pengulangan (penjajaran atau pendaratan motif misalnya). peragaman (variasi) dan kontras, serta integrasi, adalah ciri gambar golongan yang biasa disebut "dekoratif". Ini tidak harus nonfiguratif ataupun geometris. Golongan ini pun tidak besar. Penganutnya antara lain Bambang Sugen, Edi Sunaryo, Firman, Herry Wibowo, dan "neotradisionalis" Pracoyo (menggambar wayang kulit Jawa) serta Sugeng Restuadi (menggarap tema dari perwayangan dalam corak yang kebali-balian). Lagi, di sini kita berhadapan dengan kasus tum pang tindih golongan. Bukankah karya kedua orang yang disebutkan terakhir itu mempunyai sifat fantastis, khayali? Golongan yang cenderung kepada khayal yang ganjil atau aneh ini merupakan golongan yang lumayan besar. Mulai dari pegrafis senior: Gregonus Sidharta Soegijo. Klayalan Sebuah Topeng, cetak saring, memadukan citra tubuh wanita (separuh badan kc bawah telanjang) di bagian atas bidang gambar atau, katakan, di latar belakang. Di depannya bertabur bunga matahari, amat besar. Sedang di latar depan, di bagian bawah bidang gambar, sosok orang, tampak sampal dada, agak merunduk, berwajah topeng, dan sedikit menyeringai. Penganut seni "cerita khayal" ini berumur 30an dan 20-an, dan macam-macam kelakuannya. Lihat, misalnya, Baja Muljana, Johan Suwondo, Sugeng Restuadi, Pracoyo, dan penggambar yang tidak mudah ditandingi: Ater, Waluya dan Tisna. Yang disebut terakhir ini, salah satu karyanya, Pesta Pencuri, sebuah etsa. Ada bermacam ragam makhluk ganjil dan mengerikan tampak sedang berpesta. Mereka yang tahu sejarah seni rupa Barat akan mengenali sosok-sosok ciptaan Picasso (antara lain dari Guernica) "dicuri" dalam karya Tisna ini. Jadi, yang berpesta itu sosok-sosok dalam gambar, atau Tisna? Etsa ini dapat membawa Anda kepada pikiran yang macam-macam dan berbelit. Pikiran atau gagasan agaknya mempunyai tempat penting, kalau bukan pusat, bagl seJumlah pegrafis muda. Dalam Satu Sisi Mata Pria, cukilan hardboard Andang Suprihadi, sosok-sosok mata, kucing, wanita, putri duyung, tulang Ikan, dan lain-lain, beserta asosias yang ditimbulkannya bersama-sama membangun sebuah gagasan tentang kepriaan. Kelembutan dan ketenangan grafis Sita Damayanti menyelubungi pikiran yang jelas. The Origin and the End of All Existence (awal dan akhir semua wujud) harus dibaca dalam urutan: pertemuan tepung sari dan benang sari, tunas, perkembangan penuh, layu, tepung sari dan benang sari. Gagasan membawa beberapa pegrafis kepada kata. Kata-kata dalam karya Priyanto S. mengajak kita berpikir tentang sebuah batu. Tentu saja, dalam karya gratis arti kata berpadudengan gagasan rupa. Misalnya dalam cetak saring Prinka (Nama-Nya I dan II), warna terang dan rata, raut geometris yang jernih, dan gubahan diagonal, ikut membentuk makna keseluruhan. Kata-kata sendiri, dalam gambar, berwujud tulisan yang tampak: menjadi bagian dari gambar. Haryadi Suadi tertarik kepada rupa tulisan, dan tidak kepada kata ia menyusutkan tulisan menjadi garis dan irama, yang hanya membangkitkan gagasan yang sangat umum dan samar tentang tulisan (Isim, cukilan kayu). Sama halnya seperti bermacam tanda dan lambang dalam Rajah (I dan II) Sunarto tidak harus dlcan maknanya yang khusus dan tepat. Akhirnya, golongan terbesar. Inilah yang mengutamakan semangat: daya hidup, atau keadaan jiwa, atau suasana hati. Meski menggambarkan obyek-obyek, karya dalam golongan ini lazim diberi ciri oleh pemiuhan (distorsi), atau perombakan bentuk, atau penyederhanaan. Kamusnya penuh istilah yang mengacu kepada daya atau tenaga: tegang, kuat, keras, lembut, halus, dinamis, lincah, tenang, diam, dan lain-lain. Dari pegrafis yang lebih tua, Kaboel Suadi (terutama Model Berdiri, cukilan kayu), berdiri di depan. Dari yang lebih muda, Ivan Ramelan, tampak unggul dalam etsa. Kita catat Sukamto dan Ahmad Kurnia (Figur-figur I). Yang muda, antara lain, Harry Tjahjo Surja, Armein F. Umar, dan termuda, Setianingsih Purnomo dan Henri Loupias. Setiawan Sabana, barangkali tidak masuk ke dalam golongan terbesar itu, Rembulan dan Tiga Rembulan, lebih bergegas daripada bersemangat dalam pengertian di atas. Dalam biennale pertama ini, terdapat hasil-hasil yang lemah dalam hal cetak-mencetak. Kutangkap, cukilan hardboard, misalnya, akan lebih baik jika Agus Sriwidodo lebih terampil dalam mencetak. Bersama katalog pameran ini disebarkan selipat tentang Masyarakat Seni Grafis. Ini adalah kumpulan pegrafis dan penggemar seni grafis, yang akan mengadakan kegiatan macam-macam untuk para anggotanya. Antara lain sewa-menyewa dan jual-beli hasil grafis. Kumpulan ini dapat didirikan di kota-kota yang punya kegiatan seni grafis. Konon, Masyarakat Seni Grafis akan dimulai di Bandung, dalam lingkungan ITB dan alumninya. Dijanjikan akan diadakan pameran, ceramah, diskusi, semihar, peragaan, dan penerbitan. Mudah-mudahan, semua itu, plus biennale, dapat memacu seni grafis kita yang muda dan lesu itu. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini