SRI Wahyuni, 16 tahun, hari-hari ini harus duduk sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Ia didakwa sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian dua siswi anggota Pramuka SMPN V Lubuklinggau yang dilatihnya. Awalnya soal hukuman. Gara-gara kurang disiplin, 135 anggota Pramuka itu dihukum mencebur ke sungai. Ada dua orang, yakni Maryani dan Triwinanti, masing-masing 13 tahun, yang tak pandai berenang. Keduanya tenggelam. Mereka dapat ditolong rekan- rekannya, tapi jiwanya tak bisa diselamatkan. Keduanya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Hari itu, akhir September tahun silam, rombongan Pramuka SMP Negeri V berangkat ke lokasi air terjun Sungai Temam sekitar 10 km dari sekolahnya, untuk acara pelantikan 10 anggota Pramuka penggalang. Maklum anak-anak, begitu sampai ke lokasi dan melihat air terjun yang bening, tanpa perintah dan tanpa ganti pakaian, mereka saling mendahului mencebur. Saat itulah Sri selaku pelatih, menurut tuduhan jaksa, menghukum anak-anak Pramuka ini push up lima kali, lalu menyeberangi sungai. Itu dilakukan bergiliran tiap regu, sampai terjadinya musibah itu. Sri, siswi kelas satu SMEA Negeri Lubuklinggau dan aktif di Pramuka sejak kelas dua SMP ini, esoknya diperiksa polisi. Ia tidak ditahan dan masih bersekolah. Tapi karena malu, sebulan sejak dijemput polisi ia pindah ke SMA Muhammadiyah. "Ketika pulang ke rumah selesai diperiksa polisi ia menangis, katanya ia dibentak-bentak polisi," ujar Nyonya Kartini Marsan, 35 tahun, ibu kandung Sri. Ibu beranak empat ini tak percaya anaknya yang bercita-cita menjadi hakim ini mencelakakan orang lain. "Ia lemah lembut, telaten, dan sopan kepada orang tua," ujarnya. Toh, Jaksa Abdul Manan di persidangan mendakwa Sri lalai. "Seharusnya sebagai pelatih terdakwa mengecek dulu kemampuan renang tiap siswa yang dilatihnya dan mengecek kedalaman sungai di bawah air terjun itu," ujarnya. Sri ternyata menampik tuduhan itu. "Saya hanya sekadar pembantu pelatih, tidak berhak menghukum," katanya. Menurut Sri, waktu itu dalam keadaan istirahat untuk makan siang. Malah ia tidak melihat ada yang dihukum. Mengetahui ada siswi yang tenggelam pun setelah kedua korban ditolong. Memang, keterlibatan Sri dalam musibah ini menimbulkan keraguan. Murni, ketua rombongan Pramuka itu, malah mengatakan, pada waktu musibah itu terjadi, Sri tengah berada di dekatnya. "Saya tidak melihat ia memberikan hukuman," kata Wakil Kepala Sekolah SMPN V ini. Itu sebabnya penasihat hukum Sri, Gurmani, minta agar dakwaan dibatalkan saja. Soalnya, selain Sri tak layak dimintai pertanggungjawaban karena masih di bawah umur -- ketika itu ia berusia 15 tahun -- dakwaan jaksa tidak tepat. "Yang semestinya bertanggung jawab adalah guru-guru yang menyelenggarakan acara latihan di tempat berbahaya itu," ujarnya. Bahkan, orang tua korban juga tak setuju Sri dijadikan terdakwa. Asikin, ayah Maryani, Februari silam berkirim surat ke Kapolda Sumatera Bagian Selatan. Ia menilai, guru-guru yang membawa rombongan Pramuka itu tidak bertanggung jawab. "Sejak anak saya meninggal, tak seorang pun yang datang ke rumah menyampaikan rasa duka cita," katanya. Asikin tahu anaknya tewas dari tetangganya, bukan dari guru. Maka, ketika tahu hanya Sri yang diperiksa di pengadilan, ia protes dan menyurati Kapolda. "Kami minta agar Bapak Kapolda turun tangan meninjau kembali perkara itu dan menyidik guru- guru yang bertanggung jawab atas musibah itu," tulis ayah tiga anak ini. Kapolda Mayjen Yusnan K. Usman minta bersabar. "Kita perlu waktu untuk mengumpulkan data, baru nanti ditentukan siapa yang harus disidik sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing," ujar Kapolda kepada Ali Fauzi dari TEMPO. Sementara itu, Kapolres Lubuklinggau Letkol Aspan Nainggolan mengatakan penyidikan akan dilakukannya lagi setelah ada petunjuk dari Ketua Pengadilan. Jadi, sementara Sri dulu jadi terdakwa.Hasan Syukur (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini