Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Dari Sebuah Perang

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah perang kemerdekaan meletus di Guinea-Bissau sepanjang 1964-1974. Ada banyak kisah heroik ketika para pemuda Afrika Barat itu menolak penjajahan Portugal dengan senjata. Tapi tak banyak catatan tentang fakta ini: para pemuda berhati luhur tersebut berada di usia pasca-akil-balik dan—tentu saja—tidak kuat menekan libido yang meluap-luap. Kolonialisme Portugal memang dapat dienyahkan, tapi perang itu juga meninggalkan jejak mengerikan. Kini, demikian majalah The Economist edisi bulan lalu menyimpulkan, terdapat satu juta warga Afrika Barat (baca: Guinea-Bissau, Gabon, dan Kamerun) yang terinfeksi HIV-2. Ya, HIV-2, virus kedua yang diperkirakan ikut bertanggung jawab atas penyebaran AIDS di Benua Hitam Afrika. Dr. Luc Montagnier, salah seorang ahli dari Institut Pasteur, Paris, yang menemukan (lebih tepat lagi, mengisolasi) HIV-1, memang pernah menyinggung HIV-2 dalam jurnal Proceeding of the National Academy of Science pada 1986. Tapi ia tidak pernah menyingkap jauh model-model penyebaran HIV-2 di Afrika Barat. Tujuh belas tahun berselang, barulah rahasia itu terungkap. Bulan lalu, Anne-Mieke Vandamme, seorang ahli dari Universitas Leuven, Belgia, menyidik kandungan genetis si virus. Vandamme dan timnya meneliti berbagai perubahan yang terdapat dalam rangkaian genetis virus itu. Di samping itu, mereka juga mengamati perkembangan kondisi jaringan yang terinfeksi sang virus dari waktu ke waktu. Hasilnya, persinggungan manusia dengan HIV-2 terjadi dua kali—sekali pada 1940, dan sekali lagi pada 1945. Persentuhan awal itu tak menyebar-luas sang virus. Tapi para pemuda yang terlibat dalam perang kemerdekaan itu diperkirakan punya andil menularkannya ke banyak orang. Dalam perang, para pemuda pejuang kemerdekaan harus bergerak cepat, berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lain. Tapi, sebenarnya dari mana mereka mendapatkan HIV-2? Masyarakat lokal memanggilnya sooty mangabey, tapi kalangan ilmiah punya sebutan khusus, Cercocebus torquatus. Ia tergolong monyet hebat: bertubuh pendek, tapi berpotongan ramping. Untuk kelas monyet, kemampuannya berkomunikasi lewat bahasa tubuh, bahasa isyarat, terbilang tinggi. Di era 1940-an, para ahli pernah menyatakan spesies ini punah. Tapi kemudian mereka tahu, masih ada segelintir sooty mangabey yang bertahan di hutan-hutan tropis. Penyebaran HIV-2 tidak sedahsyat HIV-1. Tapi kini para ahli mendapati dua jenis kera yang mengantarkan HIV ke tubuh manusia: sooty mangabey dan simpanse. Sebagaimana diketahui, simpanse diperkirakan menularkan HIV-1 kepada manusia. Perjuangan para ahli menaklukkan HIV memang masih makan waktu dan biaya besar. Dua puluh tahun lalu, Luc Montagnier mengumumkan keberhasilannya mengisolasi virus penyebab AIDS. Ia menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus). Tapi nama LAV lantas tidak dikenal. Robert Gallo, seorang peneliti Amerika Serikat, juga memproklamasikan penemuannya: sebuah virus penyebab AIDS yang diberinya nama HTLV-3. Tak lama berselang, jalan tengah ditempuh. Mereka sepakat menyebutnya HIV. Waktu berganti, dunia berubah, tapi HIV kini telah menimbulkan begitu banyak korban. Dalam pertemuan kelompok-kelompok pencegah AIDS di pertengahan Mei barusan, mereka mengeluarkan satu perhitungan mengerikan. Jika tak ada perubahan dalam cara penanggulangan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh itu, 45 juta orang akan menjadi mangsa virus tersebut. Kini, jumlah mereka yang terjangkit HIV-2 memang lebih sedikit dibanding penderita HIV-1 (1 berbanding 40 juta). Tapi penemuan HIV-2 telah menunjukkan adanya dua musuh yang harus dihadapi sekaligus. Dan para ahli tak menyerah. Awal bulan ini, Jay Levy, seorang peneliti di Universitas California, San Francisco, mengumumkan suksesnya mengisolasi virus yang menyerupai HIV-2. Virus yang satu ini memang mirip HIV-2, tapi daya rusaknya tidak sedahsyat HIV-2. "Tidak membunuh," kata Levy. Levy memperoleh sampel darah dari seorang pasien yang meninggal dunia di Mali, Afrika Barat. Langkah Levy di laboratorium merupakan bagian dari usaha panjang para ahli dalam membuat vaksin HIV. Perjalanan melawan AIDS masih panjang: ada catatan keberhasilan, ada pula musuh yang baru kita sadari keberadaannya. Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus