Berbincanglah dengan Andreas Pundung Istiawan, 25 tahun, maka Anda akan berjumpa dengan sebuah pribadi yang kaya. Sebagai penyandang status HIV positif, ia tidak segan mengisahkan perjalanan hidupnya. "Saya bersedia melakukan testimoni di mana saja," katanya, "agar tak ada anak-anak muda yang bernasib seperti saya."
Mata Andreas menerawang. "Saya ini pecandu narkoba sejak remaja," tuturnya dalam sebuah perbincangan dengan TEMPO. Ganja, pil ekstasi, putaw (bubuk heroin), semuanya pernah dia coba. Tak ada sedikit pun rasa takut. Semuanya demi kenikmatan sesaat, melayang ke negeri khayal bersama narkoba.
Kecanduan narkoba ini pula yang menjebloskan Andreas ke LP Cipinang, Jakarta. Selama enam bulan di penjara, dia menyaksikan betapa lokasi ini pun dipenuhi narkoba. "Sipir juga ikut-ikutan. Mereka menyewakan jarum suntik bekas kepada tahanan yang ingin ngedrug," katanya. Ongkos sewa Rp 3.000 sekali pakai. Mereka yang sedang sakaw—kesakitan yang amat sangat gara-gara ketagihan obat—tak peduli lagi ujung jarum itu sudah tumpul dan pasti akan merobek kulit lengan dengan kasar.
Dunia Andreas berubah ketika di awal tahun 2001 dia memeriksakan darah. Hasil tes menyatakan dia positif human immunodeficiency virus (HIV). Andreas pun limbung. Sejuta pertanyaan "mengapa" menggempur benaknya. Lelaki ini pun meninggalkan pekerjaan sebagai teknisi laboratorium di Universitas Pelita Harapan, Jakarta.
Syukurlah, Andreas segera bangkit. Dia bergabung menjadi relawan di Yayasan Pelita Ilmu (YPI), lembaga swadaya masyarakat yang khusus mendampingi para "odha"—orang dengan HIV/AIDS. Dengan segenap tenaga, dia berkunjung dari sekolah ke sekolah menjelaskan betapa besar risiko penularan HIV dari jarum narkoba.
Andreas juga tidak segan melayani permintaan wawancara dari media massa. Awalnya, dia masih enggan potretnya dipampang di surat kabar atau majalah. Tapi perlahan-lahan dia makin gagah berdiri. Bahkan dia bersedia diwawancarai wartawan televisi tanpa ada sedikit pun gambar yang dikaburkan. "Tak ada gunanya sembunyi. Kalau kita ingin dipedulikan, harus ada yang berani tampil," tuturnya
Sridaryanti, 45 tahun, sang ibu, juga sosok yang tak kalah gagah. Dia menyokong perjuangan Andreas dengan sepenuh hati. "Anak saya adalah poster hidup, contoh nyata betapa HIV dapat menulari siapa saja yang menjadi pengguna narkoba suntik," katanya.
Maka, Sri pun aktif bergabung dengan Pelita Plus, organisasi di bawah naungan YPI. Di lembaga ini Sri mengajarkan berbagai keterampilan, membuat kartu ucapan, kalung dari batu-batuan alam, hiasan dinding, agar kawan-kawan odha bisa merintis jalan untuk mandiri.
Ibu Sri—begitu ia dipanggil kawan-kawan odha—juga tidak tanggung-tanggung melimpahkan kasih sayang. Dia selalu datang ke markas YPI bila ada odha yang membutuhkan dukungan. "Sering ada kawan yang putus asa," katanya, "tiba-tiba mau bunuh diri."
Memang, Sri menambahkan, tidak semua odha setangguh Andreas. Pada umumnya mereka berada dalam kondisi psikologis terguncang. Maklumlah, mereka cukup paham bahwa AIDS yang mematikan itu belum punya obat penangkal yang jitu. Itulah sebabnya masih banyak odha yang bersikap amat tertutup. Terlebih karena masyarakat kita pun masih memandang odha dengan stigma dan diskriminasi. Bagi para odha, sikap diskriminatif keluarga dan masyarakat jauh lebih mengerikan ketimbang aksi virus HIV itu sendiri.
Andy, nama samaran, yang duduk di samping Sri, menceritakan betapa pekatnya diskriminasi bagi para odha. "Teman saya, sebut saja bernama Nona, dipecat dari pekerjaan setelah bosnya tahu dia HIV positif," tutur Andy. Padahal Nona karyawan yang berdedikasi tinggi dan telah bekerja di kantor itu selama belasan tahun.
Nona memang tidak tinggal diam. Dia telah melaporkan nasibnya kepada para petinggi di Departemen Tenaga Kerja. "Tapi hanya janji-janji yang dia dapatkan," kata Andy.
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini