VALLERIA Fiorelli gembira. Ahli virus dari Italia ini bersemangat hendak memulai uji klinik vaksin HIV pada manusia. "Kami sedang menunggu persetujuan final," kata Fiorelli, yang bekerja di National Health Institute, Padua, Italia.
Fiorelli memang layak gembira. Jika disetujui, seperti laporan Reuters Health, pekan lalu, langkah ini akan bernilai penting karena berbagai riset vaksin HIV selama ini baru sampai tahap uji hewan laboratorium. Kelak, vaksin ini akan dikembangkan sebagai obat jitu HIV/AIDS. Ini sebuah harapan bagi 40 juta penyandang HIV/AIDS di dunia—sekitar 110 ribu di antaranya berada di Indonesia.
Nah, sembari menanti perkembangan Dr. Fiorelli, ada baiknya kita melongok Indonesia. Di negeri ini, HIV/AIDS pertama kali ditemukan pada wisatawan asing yang meninggal di Bali, April 1987. Namun, sejauh ini, penanganan AIDS—sindrom kerontokan sistem kekebalan tubuh—di negeri ini belum maju pesat dibandingkan dengan 16 tahun silam.
"Buktinya, kami masih kesulitan obat," kata Tono, bukan nama sebenarnya, yang dijumpai TEMPO di Yayasan Pelita Ilmu (YPI), lembaga swadaya masyarakat pendamping ODHA (orang hidup dengan HIV/AIDS), di Jakarta.
Janji pemerintah untuk memproduksi obat antivirus HIV generik belum juga terbukti. Menteri Kesehatan Achmad Suyudi pun pernah berjanji memberikan subsidi obat untuk ODHA. Tapi janji tinggal janji. "Kami punya segunung tagihan untuk pemerintah," katanya.
Tono, 32 tahun, asal Pekanbaru, Riau, mengetahui dirinya positif HIV pada Desember 2000. "Saya tertular melalui hubungan seksual karena gonta-ganti pasangan," katanya terus terang.
Begitu tahu positif terinfeksi HIV, Tono tidak segera mengupayakan pengobatan. Dia menunggu pasif sampai akhirnya, tahun 2001, dia ambruk. Skor CD4 (jumlah sel limfosit yang bertugas memerangi virus) Tono hanya 6 sel per mikroliter darah. "Mestinya saya sudah mati," katanya. Normalnya, angka CD4 di kisaran 800-1.000 sel tiap mikroliter darah.
Setelah tahu angka CD4-nya begitu rendah, Tono segera bergabung dengan YPI dan menjalani pengobatan intensif. Setiap bulan dia harus membelanjakan Rp 400 ribu-Rp 700 ribu untuk obat antiretroviral (ARV). "Orang tua yang mensubsidi," katanya, "tabungan saya sudah ludes."
Lain lagi kisah Rizal, juga nama samaran. Pemuda 25 tahun yang juga positif terinfeksi HIV ini belum menjalani pengobatan. Itu bukan lantaran segan berobat. Dia tak punya uang untuk menjalani tes CD4 dan viral load.
Paket tes CD4 dan viral load (kepadatan virus) memang cukup mahal. Sekali tes dibutuhkan ongkos Rp 1,5 juta per orang dan harus dilakukan kolektif. Jika pesertanya hanya seorang diri, ongkos tes bisa melambung sampai Rp 9 juta. Rizal tertawa getir, "Gue mana sanggup?"
Namun Profesor Dewa Nengah Wirawan, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali, memberikan saran. "Uji viral load tidaklah mutlak. Yang terutama adalah tes CD4," kata pendiri Yayasan Kerti Praja, LSM yang menjadi motor kampanye peduli HIV/AIDS di Bali, ini.
Ketika seseorang didiagnosis positif HIV, Wirawan menjelaskan, sebaiknya dia menjalani tes CD4. Bila tes menunjukkan angka CD4 di bawah 200 sel per mikroliter darah, orang tersebut harus segera minum obat ARV. Jika tidak, sistem pertahanan tubuhnya bakal terus merosot hingga mengundang berbagai penyakit, termasuk kanker, dan infeksi oportunistik.
Berikutnya, setelah minum ARV, barulah dilakukan tes kepadatan virus. Tes ini untuk mengevaluasi keefektifan pengobatan. Dalam rentang setahun, misalnya, uji viral load akan membuktikan sejauh mana obat ARV menumpas HIV. "Tapi uji viral load bisa dilakukan belakangan. Tes CD4 lebih mendesak," katanya. Kepada para ODHA lebih disarankan melakukan penghitungan CD4 3 sampai 4 bulan sekali.
Susahnya, tes CD4 tidaklah gampang, terutama bagi ODHA yang tinggal di luar Pulau Jawa. Selain mahal, ongkosnya Rp 150 ribu-Rp 200 ribu, tes CD4 membutuhkan sampel darah segar—tak boleh lewat dari 24 jam.
Artinya, sampel darah ODHA harus segera dikirim ke rumah sakit di kota besar yang berfasilitas komplet—di Jakarta ada di RS Cipto Mangunkusumo dan RS Dharmais. Sudah tentu hal ini sangat menyulitkan ODHA yang tinggal di pedalaman Papua, Flores, atau Sulawesi.
Terkait dengan kerumitan tadi, Profesor Wirawan mengembangkan terobosan. Dia merintis metode pengujian CD4 secara manual dengan alat sederhana: mikroskop, lampu tambahan, dan zat pewarna khusus. Sejumlah teknisi laboratorium direkrut dan dilatih untuk menghitung jumlah sel CD4 yang tampak di bawah kaca mikroskop.
Langkah ini boleh dibilang sukses. Setelah hampir setahun uji coba, pengujian manual ini bisa konsisten dengan tingkat kekeliruan 20 persen. Tapi muncul persoalan lain. "Teknisi saya mengeluh," kata Wirawan, "mata mereka bengkak-bengkak tiap kali usai menghitung sel CD4."
Untunglah baru-baru ini datang bantuan mesin penghitung CD4 dari Amerika. Harga mesin dengan metode flowcitometry ini sekitar Rp 300 juta dan ongkos tes diberlakukan Rp 75 ribu per sampel darah. Selain mesin ini lebih akurat ketimbang cara manual, mata para teknisi pun tidak perlu lagi bengkak-bengkak.
Namun, biarpun sudah ada mesin bantuan, Wirawan tetap tidak akan melupakan metode menghitung CD4 manual. Dia berjanji membagi teknologi praktis ini kepada mereka yang peduli HIV di berbagai sudut Indonesia. "Pasti banyak kawan di pelosok yang membutuhkannya," katanya.
Pelatihan manual ini akan memudahkan jangkauan tes CD4 di semua wilayah. Kelak, bila itu terjadi, barulah penanganan HIV/AIDS di negeri ini melangkah ke tahap lebih lanjut.
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini