Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Datang bulan, perlu cuti?

Cuti haid pada buruh wanita sedang dipersoalkan. banyak perusahaan tak mencantumkan hak cuti tersebut. perlu ditinjau kembali undang-undang yang mengatur tenaga kerja wanita. (ksh)

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH haid alias datang bulan, tiba-tiba ramai dibicarakan. Pekan lalu Ketua FBSI, Agus Sudono, mengungkapkan adanya sejumlah perusahaan yang tidak memberikan cuti haid kepada buruh-buruh wanitanya, seperti ditentukan UU yang ada. Bahkan, katanya, ada pula perusahaan yang menyodorkan perjanjian kerja dengan syarat si karyawan tidak akan cuti ketika datang bulan. Karena ada beberapa anggapan, bahwa sekarang sudah tidak tepat lagi memberikan cuti haid kepada karyawan wanita, Sudono mengusulkan agar pemerintah membahas kembali masalah itu. Yakni apakah seorang wanita yang sedang datang bulan cukup manusiawi atau tidak bila harus terus bekerja. "Sesuai dengan Pancasila atau tidak -- karena banyak pendapat yang saling berbeda," kata Agus Sudono. Haid, datang bulan, atau menstruasi adalah proses alami di kalangan kaum wanita. "Secara normal, haid memang tidak mengganggu," ujar dr Biran Effendi, Ahli Kebidanan & Kandungan dari Klinik Raden Saleh, Jakarta. Hanya kadangkala ada gejala psikologis yang cukup mengganggu yang disebut premenstrual tenson yang disebabkan adanya perubahan hormonal. Si wanita mudah marah, bahkan bisa menuju ke agresif negatif. Tapi ada pula yang merasakan perutnya kejang, mulas, kaki dan pinggang seakan mau copot, bahkan ada yang diserta muntah-muntah. "Ini biasa diderita oleh wanita yang selaput lendirnya ada di luar rahim," kata Biran. Kesakitan yang biasa ini disebabkan lendir yang berwujud darah, menetes di luar rahim. Ada pula teori terakhir yang mengatakan rasa nyeri karena adanya zat prostaglandin. Zat ini keluar bersamaan dengan lepasnya selaput rahim dan ini menyebabkan rangsangan ke otot-otot polos (yaitu usus, rahim, rongga perut). "Sakitnya bukan main," seru Biran lagi. Dokter biasa memberikan obat anti-prostaglandin. Di zaman kedokteran mutakhir ini, memang ada pil yang menunda datangnya haid. "Asal alasannya relevan, bisa kami berikan," kata Biran. Yang biasa minta pil tunda ini ialah para olahragawati yang akan bertanding. Bahkan belakangan juga para calon hajjah yang akan menunaikan ibadat haji. Tapi obat yang mengandung hormon ini mengakibatkan gejala sampingan, seperti, rasa mual dan pusing. Jadi tidak semua orang juga bisa menelan pil tunda atau obat untuk mengurangi rasa sakit. "Karena itu, sama halnya dengan cuti haid yang kini dihebohkan," kata Biran lagi, "sebaiknya obat itu diberikan kepada orang tertentu saja." Dokter lain, Kartono Mohammad, tidak menyangkal bahwa wanita yang mendapat haid bisa terganggu kegiatannya. "Kondisi tubuh agak lemah, otomatis prestasi juga menurun," katanya. Tapi Kartono "kurang setuju kalau haid dijadikan hak untuk meninggalkan kerja." Karena kalau itu dijadikan hak, berarti harus libur 2 hari, sakit atau tidak sakit. Yang penting menurut Kartono, perusahaan harus lebih berhati-hati ketika menerima pekerja wanita. Artinya, sejauh mana masa-masa haid akan mengganggu tugasnya. Dan sejauh mana si pekerja wanita menyadari bahwa cuti datang bulan itu berarti juga mengurangi kesempatannya untuk berprestasi lebih baik. Peraturan tentang cuti hamil dan cuti haid bagi pekerja wanita semula tercantum dalam UU Kerja No.12/1948 juncto No.1/1951. Dalam UU tersebut dijelaskan, buruh wanita tidak boleh bekerja sewaktu datang haid. Istilah "buruh" bukan berarti untuk pekerja kasar saja, juga menyangkut staf. UU ini kemudian disusun kembali di tahun 1968. "Masalah haid ini waktu itu sudah dipermasalahkan," kata Prof.Dr. Awaloedin Djamin, yang di tahun 1966 jadi Menteri Nakertranskop. Menanggapi UU yang mengatur cuti haid ini, menurut Ny. Suwarni Salyo, S.H., memang terdapat dua aliran. Anggota pengurus YTKI (Yayasan Tenaga Kerja Indonesia) ini berceritera bahwa kelompok pertama menghendaki peraturan tentang cuti haid dihapuskan. Contohnya, pembantu rumah tangga toh tidak pernah minta libur karena sakit haid. Kelompok kedua, mereka yang ingin tetap mempertahankan cuti haid tersebut. Yang terakhir ini berprinsip bahwa suatu hak yang pernah diberikan, jangan dilepaskan lagi. Suwarni Salyo maupun Awaloedin Djamin tetap berpendapat bahwa masalah pokoknya bukan apakah haid itu benar mengganggu atau tidak, tapi bagaimana UU tetap berada dalam proporsi yang benar. "Apakah hak itu mau diambil atau tidak oleh wanita," kata Awaloedin yang kini jadi pimpinan YTKI. Menurut Suwarni, "alasan mengurangi daya saing wanita dengan adanya cuti haid, tidak terbukti." Nyatanya, banyak perusahaan yang tetap mempekerjakan wanita karena dianggap cocok dilakukan oleh wanita. Perusahaan makanan/minuman, tekstil, elektronika, rokok, memakai tenaga wanita berdasarkan efisiensi perusahaan. "Jadi cuti haid masih relevan di negara kita," tambah Suwarni Salyo. Tapi dia setuju kalau ada peninjauan periodik terhadap UU yang mengatur tenaga kerja wanita. Misalnya, dalam masalah cuti hamil, sebaiknya dibatasi sampai 3 kali saja, karena dalam UU Kepegawaian telah disesuaikan dengan program KB: anak hanya dibatasi 3 orang saja. Dari dua juta lebih buruh Indonesia, sekiar 30% terdiri dari pekerja wanita. Oetoyo Oesman, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, menyangkal tulisan di koran South China Morning Post pertengahan Juli, bahwa hak hukum wanita dalam hal ini diabaikan. Koran tersebut mengutip pendapat tokoh pembela buruh wanita, Syahriar Mahnida, S.H., yang mengatakan semakin banyak kantor yang menyodorkan perjanjian kerja tanpa hak cuti hamil, apalagi cuti haid. Setelah meneliti hampir 500 perusahaan, Mahnidar menemukan ada 62 perusahaan yang menghapus hak yang dikuatkan oleh UU tersebut. Kebanyakan perusahaan itu berada di Jakarta dan sekitarnya. Kalau di Jakarta saja begitu, bagaimana pula nasib buruh wanita di luar daerah ? "Karena itu, saya tetap tidak setuju kalau UU itu dicabut," kata Suwarni Salyo, S.H., Iagi. Suwarni mengambil contoh buruh wanita yang harus bekerja sambil berdiri atau yang bekerja dengan mempergunakan kaki, misalnya, di pabrik garmen atau tenun. Selain itu, memang banyak wanita yang tidak tahu bahwa ada hak libur 2 hari kalau datang bulan. Di Kudus, misalnya, ada sekitar 30 ribu buruh wanita yang bekerja di pabrik rokok kretek. Dulu, tahun 60-an ada perjanjian perburuhan antara majikan dan buruh. Yaitu mereka yang mengambil cuti haid di waktu hari kerja, akan mendapat imbalan Rp 350 per hari untuk buruh harian dan Rp 250 per hari bagi buruh borongan. Sedangkan mereka yang mendapatkan gaji tetap bulanan, hanya mendapatkan hak cuti saja tanpa imbalan. Tapi sekarang perjanjian serupa itu tak terdapat lagi. Malah sebaliknya. "Saya tak tahu kalau boleh libur," ujar Suharti, pekerja pabrik rokok Noyorono, Kudus. Sedangkan Murwati yang telah bekerja selama 6 tahun di pabrik perajutan Baringtex, Semarang, mengaku malu kalau mengambil cuti haid. Masalahnya harus melaporkan dulu -- dan wanita biasanya malu atau sungkan untuk menceritakan perihal yang sangat pribadi ini, lebih-lebih kepada pria. Di Laweyan, Solo, pusat pabrik batik atau di Kudus yang penuh dengan pabrik rokok, sebagian besar buruh wanitanya, tidak tahu-menahu tentang hak ini. "Saya kira semua buruh tahu," tukas Mukti Ali, wakil ketua PPRK (Perkumpulan Perusahaan Rokok Kretek). Karena itu dia merasa tidak perlu menempelkan pengumuman di papan pengumuman atau memberitahukan secara lisan. Sedangkan pengurus PPRK yang lain menuduh bahwa buruh wanita yang tahu hak cuti atau hamil, sering "banyak akalnya". Misalnya, mengambil cuti haid hari Sabtu atau Senin, meski haidnya tidak jatuh pada hari tersebut, agar libur lebih lama. "Marinem yang jadi buruh batik di Solo beda lagi pendapatnya: "Alangkah enaknya ya, kalau boleh libur dan tetap dibayar." Dia mengaku bahwa kalau badannya sedang lungkrah (tidak sehat karena haid) penghasilannya berkurang. Di hari biasa, Marinem dapat menarik upah sampai Rp 800 per hari. "Kalau sedang lungkrah, paling banter dapat Rp 600," gumamnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus