MASALAH haid alias datang bulan, tiba-tiba ramai dibicarakan.
Pekan lalu Ketua FBSI, Agus Sudono, mengungkapkan adanya
sejumlah perusahaan yang tidak memberikan cuti haid kepada
buruh-buruh wanitanya, seperti ditentukan UU yang ada. Bahkan,
katanya, ada pula perusahaan yang menyodorkan perjanjian kerja
dengan syarat si karyawan tidak akan cuti ketika datang bulan.
Karena ada beberapa anggapan, bahwa sekarang sudah tidak tepat
lagi memberikan cuti haid kepada karyawan wanita, Sudono
mengusulkan agar pemerintah membahas kembali masalah itu. Yakni
apakah seorang wanita yang sedang datang bulan cukup manusiawi
atau tidak bila harus terus bekerja. "Sesuai dengan Pancasila
atau tidak -- karena banyak pendapat yang saling berbeda," kata
Agus Sudono.
Haid, datang bulan, atau menstruasi adalah proses alami di
kalangan kaum wanita. "Secara normal, haid memang tidak
mengganggu," ujar dr Biran Effendi, Ahli Kebidanan & Kandungan
dari Klinik Raden Saleh, Jakarta. Hanya kadangkala ada gejala
psikologis yang cukup mengganggu yang disebut premenstrual
tenson yang disebabkan adanya perubahan hormonal. Si wanita
mudah marah, bahkan bisa menuju ke agresif negatif. Tapi ada
pula yang merasakan perutnya kejang, mulas, kaki dan pinggang
seakan mau copot, bahkan ada yang diserta muntah-muntah. "Ini
biasa diderita oleh wanita yang selaput lendirnya ada di luar
rahim," kata Biran.
Kesakitan yang biasa ini disebabkan lendir yang berwujud darah,
menetes di luar rahim. Ada pula teori terakhir yang mengatakan
rasa nyeri karena adanya zat prostaglandin. Zat ini keluar
bersamaan dengan lepasnya selaput rahim dan ini menyebabkan
rangsangan ke otot-otot polos (yaitu usus, rahim, rongga perut).
"Sakitnya bukan main," seru Biran lagi. Dokter biasa memberikan
obat anti-prostaglandin.
Di zaman kedokteran mutakhir ini, memang ada pil yang menunda
datangnya haid. "Asal alasannya relevan, bisa kami berikan,"
kata Biran. Yang biasa minta pil tunda ini ialah para
olahragawati yang akan bertanding. Bahkan belakangan juga para
calon hajjah yang akan menunaikan ibadat haji. Tapi obat yang
mengandung hormon ini mengakibatkan gejala sampingan, seperti,
rasa mual dan pusing. Jadi tidak semua orang juga bisa menelan
pil tunda atau obat untuk mengurangi rasa sakit. "Karena itu,
sama halnya dengan cuti haid yang kini dihebohkan," kata Biran
lagi, "sebaiknya obat itu diberikan kepada orang tertentu saja."
Dokter lain, Kartono Mohammad, tidak menyangkal bahwa wanita
yang mendapat haid bisa terganggu kegiatannya. "Kondisi tubuh
agak lemah, otomatis prestasi juga menurun," katanya. Tapi
Kartono "kurang setuju kalau haid dijadikan hak untuk
meninggalkan kerja." Karena kalau itu dijadikan hak, berarti
harus libur 2 hari, sakit atau tidak sakit. Yang penting menurut
Kartono, perusahaan harus lebih berhati-hati ketika menerima
pekerja wanita. Artinya, sejauh mana masa-masa haid akan
mengganggu tugasnya. Dan sejauh mana si pekerja wanita menyadari
bahwa cuti datang bulan itu berarti juga mengurangi
kesempatannya untuk berprestasi lebih baik.
Peraturan tentang cuti hamil dan cuti haid bagi pekerja wanita
semula tercantum dalam UU Kerja No.12/1948 juncto No.1/1951.
Dalam UU tersebut dijelaskan, buruh wanita tidak boleh bekerja
sewaktu datang haid. Istilah "buruh" bukan berarti untuk pekerja
kasar saja, juga menyangkut staf.
UU ini kemudian disusun kembali di tahun 1968. "Masalah haid ini
waktu itu sudah dipermasalahkan," kata Prof.Dr. Awaloedin
Djamin, yang di tahun 1966 jadi Menteri Nakertranskop.
Menanggapi UU yang mengatur cuti haid ini, menurut Ny. Suwarni
Salyo, S.H., memang terdapat dua aliran. Anggota pengurus YTKI
(Yayasan Tenaga Kerja Indonesia) ini berceritera bahwa kelompok
pertama menghendaki peraturan tentang cuti haid dihapuskan.
Contohnya, pembantu rumah tangga toh tidak pernah minta libur
karena sakit haid. Kelompok kedua, mereka yang ingin tetap
mempertahankan cuti haid tersebut. Yang terakhir ini berprinsip
bahwa suatu hak yang pernah diberikan, jangan dilepaskan lagi.
Suwarni Salyo maupun Awaloedin Djamin tetap berpendapat bahwa
masalah pokoknya bukan apakah haid itu benar mengganggu atau
tidak, tapi bagaimana UU tetap berada dalam proporsi yang benar.
"Apakah hak itu mau diambil atau tidak oleh wanita," kata
Awaloedin yang kini jadi pimpinan YTKI. Menurut Suwarni,
"alasan mengurangi daya saing wanita dengan adanya cuti haid,
tidak terbukti." Nyatanya, banyak perusahaan yang tetap
mempekerjakan wanita karena dianggap cocok dilakukan oleh
wanita. Perusahaan makanan/minuman, tekstil, elektronika, rokok,
memakai tenaga wanita berdasarkan efisiensi perusahaan. "Jadi
cuti haid masih relevan di negara kita," tambah Suwarni Salyo.
Tapi dia setuju kalau ada peninjauan periodik terhadap UU yang
mengatur tenaga kerja wanita. Misalnya, dalam masalah cuti
hamil, sebaiknya dibatasi sampai 3 kali saja, karena dalam UU
Kepegawaian telah disesuaikan dengan program KB: anak hanya
dibatasi 3 orang saja.
Dari dua juta lebih buruh Indonesia, sekiar 30% terdiri dari
pekerja wanita. Oetoyo Oesman, Direktur Jenderal Bina Hubungan
Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, menyangkal tulisan
di koran South China Morning Post pertengahan Juli, bahwa hak
hukum wanita dalam hal ini diabaikan. Koran tersebut mengutip
pendapat tokoh pembela buruh wanita, Syahriar Mahnida, S.H.,
yang mengatakan semakin banyak kantor yang menyodorkan
perjanjian kerja tanpa hak cuti hamil, apalagi cuti haid.
Setelah meneliti hampir 500 perusahaan, Mahnidar menemukan ada
62 perusahaan yang menghapus hak yang dikuatkan oleh UU
tersebut. Kebanyakan perusahaan itu berada di Jakarta dan
sekitarnya.
Kalau di Jakarta saja begitu, bagaimana pula nasib buruh wanita
di luar daerah ? "Karena itu, saya tetap tidak setuju kalau UU
itu dicabut," kata Suwarni Salyo, S.H., Iagi. Suwarni mengambil
contoh buruh wanita yang harus bekerja sambil berdiri atau yang
bekerja dengan mempergunakan kaki, misalnya, di pabrik garmen
atau tenun.
Selain itu, memang banyak wanita yang tidak tahu bahwa ada hak
libur 2 hari kalau datang bulan. Di Kudus, misalnya, ada sekitar
30 ribu buruh wanita yang bekerja di pabrik rokok kretek. Dulu,
tahun 60-an ada perjanjian perburuhan antara majikan dan buruh.
Yaitu mereka yang mengambil cuti haid di waktu hari kerja, akan
mendapat imbalan Rp 350 per hari untuk buruh harian dan Rp 250
per hari bagi buruh borongan. Sedangkan mereka yang mendapatkan
gaji tetap bulanan, hanya mendapatkan hak cuti saja tanpa
imbalan. Tapi sekarang perjanjian serupa itu tak terdapat lagi.
Malah sebaliknya.
"Saya tak tahu kalau boleh libur," ujar Suharti, pekerja pabrik
rokok Noyorono, Kudus. Sedangkan Murwati yang telah bekerja
selama 6 tahun di pabrik perajutan Baringtex, Semarang, mengaku
malu kalau mengambil cuti haid. Masalahnya harus melaporkan dulu
-- dan wanita biasanya malu atau sungkan untuk menceritakan
perihal yang sangat pribadi ini, lebih-lebih kepada pria.
Di Laweyan, Solo, pusat pabrik batik atau di Kudus yang penuh
dengan pabrik rokok, sebagian besar buruh wanitanya, tidak
tahu-menahu tentang hak ini. "Saya kira semua buruh tahu," tukas
Mukti Ali, wakil ketua PPRK (Perkumpulan Perusahaan Rokok
Kretek). Karena itu dia merasa tidak perlu menempelkan
pengumuman di papan pengumuman atau memberitahukan secara lisan.
Sedangkan pengurus PPRK yang lain menuduh bahwa buruh wanita
yang tahu hak cuti atau hamil, sering "banyak akalnya".
Misalnya, mengambil cuti haid hari Sabtu atau Senin, meski
haidnya tidak jatuh pada hari tersebut, agar libur lebih lama.
"Marinem yang jadi buruh batik di Solo beda lagi pendapatnya:
"Alangkah enaknya ya, kalau boleh libur dan tetap dibayar." Dia
mengaku bahwa kalau badannya sedang lungkrah (tidak sehat karena
haid) penghasilannya berkurang. Di hari biasa, Marinem dapat
menarik upah sampai Rp 800 per hari. "Kalau sedang lungkrah,
paling banter dapat Rp 600," gumamnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini