Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berani salah, takut salah

Dokter puskesmas pancarbatu (sum-ut), dr. sampe sembiring, diajukan ke pangadilan, dituduh bersalah menjalankan profesinya, seorang pasiennya, ny. marsaulian boru munthe, kehilangan rahimnya. (hk)

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKTER Sampe Sembiring berurai air mata di kursi terdakwa. Sambil melipat tangannya di atas Al Kitab ia berdoa: "Ya Tuhan kalau ada fitnah atas diri saya hukumlah mereka. Dan kalau saya yang salah, hukumlah saya," katanya. Pekan-pekan ini Sembiring dihadapkan ke meja hijau karena dituduh bersalah menjalankan profesi. Seorang pasiennya, Nyonya Marsaulina boru Munthe, kehilangan rahimnya setelah berada dalam perawatan Sembiring, seorang dokter di Puskesmas Pancurbatu, Deli Serdang, Sumatera Utara itu. Ibu yang menyeret dokter itu ke meja hijau, Nyonya Marsaulina boru Munthe, 32 tahun, kebetulan istti seorang jaksa, Berlin Purba. Desember lalu, Marsaulina yang lagi hamil sebulan, tiba-tiba menderita sakit perut. "Ia jungkir balik di rumah," ujar suaminya kemudian. Keadaan menjadi gawat ketika diketahui dari rahimnya keluar darah. Dugaan Marsaulina sendiri, tidak lain, kandungannya keguguran. Segera Berlin membawa istrinya ke dr. Sembiring yang terhitung masih tetangganya. "Perut saya ditekan-tekan dokter itu, dan jarinya masuk ke kemaluan saya," tutur Marsaulina di pengadilan kemudian. Setelah memeriksa seperlunya, Sembiring meminta izin untuk mengkuret pasiennya. "Terserah bagaimana baiknya saja Dok," jawab Marsaulina ketika itu. Menurut Sembiring, 45 tahun, ia memang melakukan "pemeriksaan dalam". Ternyata, katanya, di kemaluan pasien itu ada bekas darah dan pembukaan satu jari. Kesimpulan Sembiring, pasiennya mengalami abortus sepicus atau abortus yang disertai infeksi. Sebab itu ia memberikan suntikan oxytetracycline dan ximalidon. Setelah itu Sembiring mengerjakan pengkuretan seperti yang, katanya, sudah biasa dikerjakannya selama 18 tahun menjadi dokter di Puskesmas itu. Sekurang-kurangnya, ada 432 orang yang pernah dikuretnya. "Tapi tidak pernah terjadi seperti kasus Marsaulina," ujar Sembiring lagi. Selesai dikuret, dan siuman dari pembiusan, Marsaulina tidak lagi merasa melilit perutnya. "Seizin dokter, hari itu juga saya bawa Marsaulina pulang," ujar Berlin Purba. Tapi Sembiring membantah. Ia sebenarnya mengusulkan pasiennya itu dirawat dulu namun tidak diindahkan Berlin. Dua hari setelah kejadian itu, gejala lain muncul di tubuh Marsaulina. Perutnya membesar, hingga rata dengan dadanya, disertai panas. Ia disuntik lagi oleh Sembiring. Tapi tiga hari berikutnya kambuh lagi. Sekali lagi Sembiring memberikan suntikan berikut obat. Tapi beberapa hari kemudian rasa sakit itu menyerang lagi. Pada saat itu Marsaulina tidak bisa bertemu Sembiring, karena dokter itu sedang mengikuti Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Solo, 18-21 Desember. Dokter L. Sebayang yang diminta menolong kemudian, ternyata menyerah. Sebayang mengirimkan Marsulina ke Rumah Sakit Pirngadi, Medan, sekitar 17 km dari Pancurbatu. "Saya tidak lagi disentuh oleh dokter itu," kata ibu tiga orang anak itu. Para dokter di rumah sakit itu berkesimpulan bahwa rahim Marsaulina berlubang karena dikuret. Akibatnya itu terjadi pembusukan. Tidak ada pilihan lain, rahim itu harus disingkirkan. "Kini bini saya tidak bisa beranak lagi," ujar Berlin kecewa. Ia masih mengharapkan tambahan seorang putra. Karena dari ketiga anaknya baru ada satu yang lelaki. "Saya masih perlu anak lelaki lagi untuk penerus marga," kata Berlin. Tuduhan Jaksa M. Siregar di persidangan tentu tidak sekadar mengenai "penerus marga". Tapi menganggap dokter melakukan kelalaian dan bahkan penganiayaan berat. Salah satu bukti yang diajukan berupa visum et repertum yang dikeluarkan dr. Jchn Kaman dan dr. Hasdiana Hasan, 25 April, atau empat bulan setelah pengkuretan. Visum itu menyebutkan bahwa terdapat darah lama dalam rongga perut yang mungkin disebabkan dindlng rahim yang robek. Pembela Abdul Muthalib Sembiring, dalam eksepsinya, meragukan tuduhan jaksa yang hanya menyertakan bukti berupa selembar visum. Apalagi di dalam visum itu ada kata "kemungkinan" mendahului pernyataan mengenai keadaan rahim Marsaulina. Kata itu meragukan dan hal yang meragukan bisa batal demi hukum," ujar Muthalib. Keraguan mengenai terjadinya peradangan rahim akibat pengkuretan seperti yang dilakukan Sembiring, dibenarkan pula oleh Pengurus IDI Pusat, Kartono Mohamad. "Harus dibuktikan apakah peradangan itu terjadi karena dikuret atau sebab-sebab setelah itu," ujar Kartono di Jakarta. Bakteri penyebab peradangan itu, kata Kartono, bisa masuk ketika pengkuretan, tapi bisa pula karena kurang bersihnya si ibu merawat dirinya. Tak lain yang hendak dikatakan Kartono sangat susah untuk membuktikan, apakah seorang dokter melakukan suatu kesalahan atau tidak ketika merawat pasiennya. Dan, "kesalahan pun belum tentu sesuatu perbuatan pidana," tambah Kartono. Sebab itu ia melihat perlunya suatu "hukum kedokteran" untuk menentukan tindakan mana saja dan seorang dokter yang merupakan perbuatan pidana dan tindakan mana yang hanya pelanggaran kode etik. "Kalau tidak bisa saja dokter yang tidak salah dihukum, sementara yang salah tidak diapa-apakan," tambah Kartono. Kasus yang sempat membuat kalangan dokter "prihatin" pernah terjadi ketika dr. Setianingrum dihukum 3 bulan dalam masa percobaan 10 bulan di Pati, Jawa Tengah, karena dianggap lalai sehingga menyebabkan paslennya mati. Tapi kalangan IDI menganggap tindakan yang dilakukan oleh Setianingrum, menyuntik streptomycine untuk menolong pasiennya yang pilek, adalah wajar. "Dokter yang menyuntik pasiennya dan kemudian pasien meninggal, tidak bisa dihukum, karena tidak ada unsur kriminalnya," seperti kata ketua IDI Pusat Prof. Dr. Mahar Mardjono (TEMPO, 24 Oktober 1981). Tapi, dalam kasus Sembiring itu, ada dokter yang menyayangkan keberanian dokter Puskesmas itu mengambil risiko. Terutama tindakan Sembiring melakukan pengkuretan, ketika ia sudah tahu bahwa pasiennya mengalami abortus yang disertai infeksi. "Seharusnya pengkuretan dilakukan ketika infeksinya sudah sembuh," ujar dokter itu. Dan tindakan pengkuretan itu, katanya, lazimnya dilakukan dokter di rumah sakit yang peralatannya lebih lengkap. Namun kau dokter yang tidak bersedia disebut namanya itu, "keberanian seorang dokter menolong pasiennya semacam itu juga tidak bisa dianggap kriminal." Sebab, tambahnya, mungkin saja dokter yang berani melakukan kesalahan dan sebaliknya kesalahan lain bisa pula dilakukan oleh dokter yang takut-takut mengambil suatu tindakan untuk menyelamatkan pasien.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus