DOKTER Sampe Sembiring berurai air mata di kursi terdakwa.
Sambil melipat tangannya di atas Al Kitab ia berdoa: "Ya Tuhan
kalau ada fitnah atas diri saya hukumlah mereka. Dan kalau saya
yang salah, hukumlah saya," katanya. Pekan-pekan ini Sembiring
dihadapkan ke meja hijau karena dituduh bersalah menjalankan
profesi. Seorang pasiennya, Nyonya Marsaulina boru Munthe,
kehilangan rahimnya setelah berada dalam perawatan Sembiring,
seorang dokter di Puskesmas Pancurbatu, Deli Serdang, Sumatera
Utara itu.
Ibu yang menyeret dokter itu ke meja hijau, Nyonya Marsaulina
boru Munthe, 32 tahun, kebetulan istti seorang jaksa, Berlin
Purba. Desember lalu, Marsaulina yang lagi hamil sebulan,
tiba-tiba menderita sakit perut. "Ia jungkir balik di rumah,"
ujar suaminya kemudian. Keadaan menjadi gawat ketika diketahui
dari rahimnya keluar darah. Dugaan Marsaulina sendiri, tidak
lain, kandungannya keguguran.
Segera Berlin membawa istrinya ke dr. Sembiring yang terhitung
masih tetangganya. "Perut saya ditekan-tekan dokter itu, dan
jarinya masuk ke kemaluan saya," tutur Marsaulina di pengadilan
kemudian. Setelah memeriksa seperlunya, Sembiring meminta izin
untuk mengkuret pasiennya. "Terserah bagaimana baiknya saja
Dok," jawab Marsaulina ketika itu.
Menurut Sembiring, 45 tahun, ia memang melakukan "pemeriksaan
dalam". Ternyata, katanya, di kemaluan pasien itu ada bekas
darah dan pembukaan satu jari. Kesimpulan Sembiring, pasiennya
mengalami abortus sepicus atau abortus yang disertai infeksi.
Sebab itu ia memberikan suntikan oxytetracycline dan ximalidon.
Setelah itu Sembiring mengerjakan pengkuretan seperti yang,
katanya, sudah biasa dikerjakannya selama 18 tahun menjadi
dokter di Puskesmas itu. Sekurang-kurangnya, ada 432 orang yang
pernah dikuretnya. "Tapi tidak pernah terjadi seperti kasus
Marsaulina," ujar Sembiring lagi.
Selesai dikuret, dan siuman dari pembiusan, Marsaulina tidak
lagi merasa melilit perutnya. "Seizin dokter, hari itu juga
saya bawa Marsaulina pulang," ujar Berlin Purba. Tapi Sembiring
membantah. Ia sebenarnya mengusulkan pasiennya itu dirawat dulu
namun tidak diindahkan Berlin.
Dua hari setelah kejadian itu, gejala lain muncul di tubuh
Marsaulina. Perutnya membesar, hingga rata dengan dadanya,
disertai panas. Ia disuntik lagi oleh Sembiring. Tapi tiga hari
berikutnya kambuh lagi. Sekali lagi Sembiring memberikan
suntikan berikut obat. Tapi beberapa hari kemudian rasa sakit
itu menyerang lagi. Pada saat itu Marsaulina tidak bisa bertemu
Sembiring, karena dokter itu sedang mengikuti Muktamar Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) di Solo, 18-21 Desember.
Dokter L. Sebayang yang diminta menolong kemudian, ternyata
menyerah. Sebayang mengirimkan Marsulina ke Rumah Sakit
Pirngadi, Medan, sekitar 17 km dari Pancurbatu. "Saya tidak lagi
disentuh oleh dokter itu," kata ibu tiga orang anak itu. Para
dokter di rumah sakit itu berkesimpulan bahwa rahim Marsaulina
berlubang karena dikuret. Akibatnya itu terjadi pembusukan.
Tidak ada pilihan lain, rahim itu harus disingkirkan.
"Kini bini saya tidak bisa beranak lagi," ujar Berlin kecewa. Ia
masih mengharapkan tambahan seorang putra. Karena dari ketiga
anaknya baru ada satu yang lelaki. "Saya masih perlu anak lelaki
lagi untuk penerus marga," kata Berlin.
Tuduhan Jaksa M. Siregar di persidangan tentu tidak sekadar
mengenai "penerus marga". Tapi menganggap dokter melakukan
kelalaian dan bahkan penganiayaan berat. Salah satu bukti yang
diajukan berupa visum et repertum yang dikeluarkan dr. Jchn
Kaman dan dr. Hasdiana Hasan, 25 April, atau empat bulan setelah
pengkuretan. Visum itu menyebutkan bahwa terdapat darah lama
dalam rongga perut yang mungkin disebabkan dindlng rahim yang
robek.
Pembela Abdul Muthalib Sembiring, dalam eksepsinya, meragukan
tuduhan jaksa yang hanya menyertakan bukti berupa selembar
visum. Apalagi di dalam visum itu ada kata "kemungkinan"
mendahului pernyataan mengenai keadaan rahim Marsaulina. Kata
itu meragukan dan hal yang meragukan bisa batal demi hukum,"
ujar Muthalib.
Keraguan mengenai terjadinya peradangan rahim akibat
pengkuretan seperti yang dilakukan Sembiring, dibenarkan pula
oleh Pengurus IDI Pusat, Kartono Mohamad. "Harus dibuktikan
apakah peradangan itu terjadi karena dikuret atau sebab-sebab
setelah itu," ujar Kartono di Jakarta. Bakteri penyebab
peradangan itu, kata Kartono, bisa masuk ketika pengkuretan,
tapi bisa pula karena kurang bersihnya si ibu merawat dirinya.
Tak lain yang hendak dikatakan Kartono sangat susah untuk
membuktikan, apakah seorang dokter melakukan suatu kesalahan
atau tidak ketika merawat pasiennya. Dan, "kesalahan pun belum
tentu sesuatu perbuatan pidana," tambah Kartono. Sebab itu ia
melihat perlunya suatu "hukum kedokteran" untuk menentukan
tindakan mana saja dan seorang dokter yang merupakan perbuatan
pidana dan tindakan mana yang hanya pelanggaran kode etik.
"Kalau tidak bisa saja dokter yang tidak salah dihukum,
sementara yang salah tidak diapa-apakan," tambah Kartono.
Kasus yang sempat membuat kalangan dokter "prihatin" pernah
terjadi ketika dr. Setianingrum dihukum 3 bulan dalam masa
percobaan 10 bulan di Pati, Jawa Tengah, karena dianggap lalai
sehingga menyebabkan paslennya mati. Tapi kalangan IDI
menganggap tindakan yang dilakukan oleh Setianingrum, menyuntik
streptomycine untuk menolong pasiennya yang pilek, adalah
wajar. "Dokter yang menyuntik pasiennya dan kemudian pasien
meninggal, tidak bisa dihukum, karena tidak ada unsur
kriminalnya," seperti kata ketua IDI Pusat Prof. Dr. Mahar
Mardjono (TEMPO, 24 Oktober 1981).
Tapi, dalam kasus Sembiring itu, ada dokter yang menyayangkan
keberanian dokter Puskesmas itu mengambil risiko. Terutama
tindakan Sembiring melakukan pengkuretan, ketika ia sudah tahu
bahwa pasiennya mengalami abortus yang disertai infeksi.
"Seharusnya pengkuretan dilakukan ketika infeksinya sudah
sembuh," ujar dokter itu. Dan tindakan pengkuretan itu, katanya,
lazimnya dilakukan dokter di rumah sakit yang peralatannya lebih
lengkap. Namun kau dokter yang tidak bersedia disebut namanya
itu, "keberanian seorang dokter menolong pasiennya semacam itu
juga tidak bisa dianggap kriminal." Sebab, tambahnya, mungkin
saja dokter yang berani melakukan kesalahan dan sebaliknya
kesalahan lain bisa pula dilakukan oleh dokter yang takut-takut
mengambil suatu tindakan untuk menyelamatkan pasien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini