Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa tanah jepang

Tanah konsulat jepang di medan jadi sengketa, tanah tersebut mempunyai 2 sertifikat. (hk)

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA pembangunan Kantor Konsulat Jepang di Medan sejak dua tahun lalu terbengkali. Tanah yang mereka beli, di Jalan Listrik guna membangun kantor itu dan sudah mendapat sertifikat "hak pakai", belakangan digugat pihak lain. Rehan boru Bangun merasa memiliki sebagian dari tanah itu karena mempunyai sertifikat "hak guna bangunan". Kasus sertifikat ganda yang memang banyak terjadi itu kali ini menimpa badan perwakilan negara lain di sini. Konsulat Jepang yang menyewa kantor di Jalan Suryo 12, Medan, sudah lama merencanakan pindah. Konsul Jenderal Hyosuke Yasui merasa kantornya tidak layak lagi dibandingkan kantor konsulat negara lain di Medan. Sebab itu pada 1979 konsulat membeli sebidang tanah seluas 5.767 m2 di Jalan Listrik itu. "Kami melihat letak tanah itu bagus untuk kantor dan rumah konsul, karena itu kami menghubungi pemiliknya, Hasan Chandra," ujar Yasui kepada TEMPO. Begitulah, dengan harga Rp 367 juta, Hasan Chandra melepaskan HGB-nya atas tanah itu. Setahun kemudian konsulat mendapatkan sertifikat baru, yang biasa diberikan kepada perwakilan asing, yaitu hak pakai. Persoalan muncul ketika konsulat memasang plang di atas tanah itu: "Milik Konsulat Jepang". Seorang penduduk yang merasa pemilik, Rehan, kaget, lalu menggugat haknya melalui pengadilan. Setelah beberapa kali sidang, awal Juli lalu pengadilan menolak gugatan Rehan. Tapi sampai kini Konsulat Jepang belum bisa memenuhi hasratnya untuk membangun kantor baru. Sebab, sampai pekan lalu, melalui pengacaranya, Abdul Muthalib Sembiring Rehan menyiapkan memori banding ke Pengadilan Tinggi Medan. "Kami harus sabar menunggu," kata Yasui. Semula tanah sengketa itu milik Kodam II Bukir Barisan. Dua puluh tahun lalu, tanah itu diserahkan Kodam kepada pimpinan CV Rezeki, Marah Laut dan istrinya, Asmah boru Lubis. Pemberian itu disertai sebuah syarat: mereka harus membangun sebuah bengkel di situ. Untuk itu Marah Laut dan istrinya mengurus dua buah sertifikat HGB. Akhir 1965 mereka mendapatkan sertifikat HGB nomor 9 atas sebagian tanahnya dan sertifikat nomor 13 untuk sisanya. Tapi di atas tanah itu tidak dibangun bengkel sesual dengan perjanjian dengan Kodam II. HGB nomor 9 malah mereka jual kepada Rehan dan HGB nomor 13 kepada Salimin Bahadjadj pada sekitar 1960-an. Karena adanya ingkar janji itulah Kodam II pada 1968 membatalkan kembali perjanjian itu. Tanah itu kemudian diserahkan kepada seorang pedagang, Hasan Chandra. Kodam II, yang waktu itu dipimpin Brigjen Leo Lopulisa, juga meminta Menteri Dalam Negeri membatalkan sertifikat HGB nomor 9 dan 13 atas nama CV Rezeki. Pada 1971 Direktur Jenderal Agraria, Abdurahman membaalkan kedua sertifikat itu, dan memberikan sertifikat HGB baru atas nama Hasan Chandra dengan nomor 43. "Ternyata keputusan kami terdahulu atas kedua sertifikat itu keliru," tulis Abdurahman ketika memberikan keputusan. Namun, rupanya, pembatalan itu tidak mempengaruhi pihak-pihak yang membeli tanah itu dari CV Rezeki. Bahkan Salimin masih sempat menjual tanah itu kepada Tongku Sagala, 1978, sementara Rehan merasa tidak tahu-menahu adanya pembatalan itu. Setelah tanah itu menjadi milik Konsulat Jepang, hanya Rehan yang menggugat. Pemilik sebagian lainnya dari tanah itu, Tongku Sagala, konon diberi ganti rugi oleh Hasan Chandra, sehingga mengurungkan niatnya menggugat Konsulat Jepang. Rehan tentu saja tidak bisa menerima putusan pengadilan. Sambil meminta perpanjangan HGB nomor 9 itu -- yang akan berakhir 1985 -- Rehan meminta pengacaranya naik banding. "Di mana lagi letak kekuatan hukum sebuah sertifikat?" dipertanyakan Abdul Muthali Sembiring, yang merasa kepuusan ltu merugikan kliennya. Ketua Majelis Hakim yang memutuskan perkara itu, S.M. Sudihardjo merasa keputusannya benar. HGB nomor 9 itu, katanya, sudah dibatalkan oleh DirekturJenderal Agraria sejak 1971. "Berarti HGB di tangan Rehan itu dianggap tidak ada lagi," ujar Sudihardjo. Pembatalan sebuah sertifikat atau sebuah akta yang berkekuatan hukum, kata hakim itu lagi, bisa saja dilakukan. "Jika terjadi kekeliruan," tambahnya. Hakim itu membenarkan dalam kasus itu pihak Rehan -- sebagai pembeli beriktikad baik -- menderita rugi. Tapi yang bisa dituntut penggugat itu, katanya, kedua suami istri Marah Laut. Repotnya, Marah Laut dan Asmah tidak ditemukan lagi alamatnya sejak ia menandatangani pengembalian HGB-nya kepada Kodam II, 1968, dan setelah menjual semua tanah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus