HUJAN mengucur deras di Jakarta. Tapi Herry Achfas dan
Mangadan Napitupulu tetap melaju ke Citeureup, Bogor: ke sebuah
pabrik tekstil yang terbakar dua hari sebelumnya.
Sampai di sana Herry langsung mewawancarai penjaga pabrik itu.
Dari balik kacamata minusnya ia mencatat semua keterangan dalam
notesnya. Sementara itu Mangadang dengan tustelnya memotret
puing-puing pabrik yang berserakan. Sesekali ia memungut
beberapa barang yang separuh terbakar. "Untuk bukti," katanya.
Tak kurang dari 2 jam mereka menjelajahi seluruh areal itu.
Tugas hari itu pun dianggap selesai. Keduanya kembali ke kantor
mereka di salah satu bagian Setiabudi Building, Jakarta, untuk
membuat laporan tentang perkiraan kerugian karena kebakaran
tadi.
Kedua orang itu adalah pembantu ajuster, orang yang
memperkirakan kerugian dan sejumlah ganti rugi akibat musibah
yang berhubungan dengan asuransi. Karena pekerjaan itu mereka
sering pula disebut reserse asuransi atau detektif asuransi.
Perkembangan dunia asuransi yang menggebu memaksa tumbuhnya
reserse asuransi ini. Tanpa mereka, ajuster (orang yang
menentukan kerugian dan jumlah ganti rugi), tak akan lancar
bekerja. Di Indonesia profesi ini diawali oleh Arie Smith, 58
tahun, seorang ajuter WNI elanda yang besar di Surabaya.
Setelah mendapat pendidikan khusus di Filipina, ditambah
pengalaman 33 tahun di bidang asuransi, Arie Smith membuka usaha
ini.
PT. First National Ajuster Company (INAC) yang berkantor di
lantai dasar Setiabudi Building, Kuningan, Jakarta, adalah
perusahaan yang dipimpinnya. Ia mempekerjakan enam orang reserse
asuransi, dua di antaranya adalah Herry dan Mangadang.
Para pembantu ajuster adalah pekerja lapangan, tanpa mengenal
jam--dan penuh tantangan. Karena itu Herry punya nasihat supaya
betah. "Harus punya hobi berpetualang, kreatif, ulet dan jujur,"
katanya.
Bekas mahasiswa akademi bank di Jakarta ini, tanpa dia sadari,
sudah bekerja 6 tahun sebagai detektif asuransi. Tap1 bidang
ini, katanya, "Selalu penuh pengalaman baru dan membuat saya
dinamis--tanpa pernah merasa jenuh." Apalagi karena pekerjaan
itu harus membuat dia selalu obyektif: ia harus selalu berdiri
di tengah, di antara pihak asuransi (penanggung) dan klien
(tertanggung). Meski begitu, "Kami sering dituduh tertanggung
sebagai alat asuransi untuk mengelabui mereka," tambah Herry.
"Sumut"
Di Medan Herry pernah punya pengalaman begini. Suatu saat ia
bertugas di kota itu untuk mengusut kerugian sebuah pabrik yang
terbakar. Selama seminggu berada di sana, ia belum dapat bekerja
apa-apa--bahkan tak berhasil memasuki areal pabrik. Ia
dipingpong pejabat-pejabat pemerintah di sana dengan mengatakan
dia harus mempunyai berbagai macam izin dari instansi-instansi
pemerintah.
Ternyata kemudian main pingpong itu hanya cara untuk menggaet
uang dari Herry. Apa boleh buat ia menyerahkan amplop ke
pejabat-pejabat itu. Urusan beres. "Ngerti juga orang Jakarta
ini, rupanya," celetuk salah seorang diantara aparat pemerintah
itu. Tapi sejak itu di kalangan Herry dan kawan-kawannya muncul
istilah sinis buat pejabat-pejabat di sana: "SUMUT", alias
"semua urusan mesti uang tunai."
Tugas seorang reserse asuransi memang sering terhambat. Dulu,
misalnya, data-data yang diperoleh seorang reserse asuransi
sering berlawanan dengan data dan keterangan kepolisian. Pihak
terakhir ini sering hanya mendapat keterangan dan data dari
pihak tertanggung --tidak dari pihak asuransi. Tapi, "Sekarang
sudah ada kerjasama yang baikantara pihak kepolisian dengan
kami." kata Smith.
Pengalaman Mangadang Napitupulu, 36 tahun, lain lagi. Pemuda
tegap dan kekar dari Tapanuli ini pernah lari terbirit-birit, di
Cililitan, Jakarta Timur. Sebuah golok tajam diacungkan ke
tubuhnya oleh orang tua yang anaknya tewas ditabrak mobil. Waktu
itu Mangadang mendapat perintah mengumpulkan data untuk
menghitung jumlah ganti rugi yang wajar atas kematian anak
tersebut. Untuk itu ia ingin mewawancarai orang tua tersebut. Si
orang tua ternyata salah paham. "Dia kira kami mau menghargai
nyawa anaknya dengan uang," kata.Mangadang mengenang.
Menghadapi jalan buntu itu ia cepatcepat menghindar sambil
meninggalkan kartu nama pada tetangga orang yang menghunus golok
tadi. Dia berpesan juga agar bapak anak tadi datang keantornya.
Seminggu kemudian sang bapak muncul di kantornya. Secara
pelan-pelan Mangadang menjelaskan hak-hak yang dipunyai orang
tua itu atas kematian anaknya. Pendekatan pun berjalan siengan
lancar. Orang tua itu akhirnya menerima Rp 500 ribu, jumlah
klaim kematian anaknya.
Penuh Godaan
"Tugas kami seperti bumper mobil," kata H.S. Soenarto, 35 tahun,
reserse asuransi merangkap Direktur PT Curai Perdana, perusahaan
ajuster yang berkantor di Jalan Faletehan 1, Kebayoran Baru,
Jakarta. Maksudnya, ia harus bisa berada di tengah. Sebab,
penanggung selalu berkemauan membayar ganti rugi sekecil
mungkin, sedang tertanggung ingin menerima yang
sebesar-besarnya.
Soenarto mengakui perusahaannya sering hendak dijadikan alat
untuk keuntungan perusahaan asuransi sematamata. Tapi sejauh
itu, katanya, godaan tadi tak mempan. Malahan dia dan anak
buahnya selalu menjelaskan hak-hak si tertanggung. "Pekerjaan
ini memang penuh godaan dan tantangan. Dan selamanya kami harus
siap mengalahkannya," kata Soenarto.
Beberapa bulan lalu jantung Soenarto berdenyut agak keras.
Ketika ia menaksir ganti rugi sebuah perusahaan yang terbakar di
Jakarta, di perusahaan itu rupanya sudah menunggu oknum ABRI
yang menonjolkan moncong pistolnya di pinggang celana. Oknum itu
dengan mengatasnamakan pemilik perusahaan menuntut klaim Rp 75
juta. Tapi Soenarto menghadapi orang itu dengan tenang. Ia
terangkan duduk perkara yang sebenarnya. "Saya tak mau didikte,"
kata Soenarto. Tapi karena oknum itu tetap ngotot hingga kini
kasus itu belum tuntas di pengadilan.
Karena tugas, fasilitas disediakan cukup memadai bagi seorang
reserse asuransi. Misalnya tinggal di hotel kelas satu bila
bertugas di luar kota. Tapi ia pun harus sanggup diterjunkan ke
hutan yang penuh nyamuk malaria dan tldur di tempat apa adanya.
Bahkan harus pula mampu bertugas di laut atau dasar sungai --
untuk mengusut kasus kapal tenggelam misalnya.
Di Jakarta terdapat lima perusahaan ajuster dengan sekitar 30
reserse asuransi. Gaji mereka cukup baik, sekitar Rp 300-Rp 350
ribu. Sedang imbalan dari klien yang didapat berbeda-beda. Curai
Perdana memasang tarif 100 dolar per jam kerja, yaitu pada
jam-jam ketika para reserse maupun ajuster benar-benar bekerja
untuk suatu kasus. Hal ini diatur khusus dalam surat perjanjian.
Tiap perusahaan rata-rata menangani 25 kasus setiap bulan. Batas
pengusutan sebuah kasus paling lama 6 bulan.
Para reserse asuransi rata-rata bertubuh sehat dan liat.
Pendidikan umumnya di atas SMA dan kebanyakan mempunyai
pengalaman di bidang asuransi. Begitu masuk menjadi reserse
asurans, etik dipegang keras. Antara lain dilarang menerima
amplop. "Saya sudah tegaskan kepada mereka, sekali berbuat tak
benar, out," kata Smith tegas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini