Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Detektif untuk ganti rugi

Ajuster atau orang yang memperkirakan kerugian dan sejumlah ganti rugi akibat musibah yang berhubungan dengan asuransi. tugas ini sering mengancam jiwanya.

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN mengucur deras di Jakarta. Tapi Herry Achfas dan Mangadan Napitupulu tetap melaju ke Citeureup, Bogor: ke sebuah pabrik tekstil yang terbakar dua hari sebelumnya. Sampai di sana Herry langsung mewawancarai penjaga pabrik itu. Dari balik kacamata minusnya ia mencatat semua keterangan dalam notesnya. Sementara itu Mangadang dengan tustelnya memotret puing-puing pabrik yang berserakan. Sesekali ia memungut beberapa barang yang separuh terbakar. "Untuk bukti," katanya. Tak kurang dari 2 jam mereka menjelajahi seluruh areal itu. Tugas hari itu pun dianggap selesai. Keduanya kembali ke kantor mereka di salah satu bagian Setiabudi Building, Jakarta, untuk membuat laporan tentang perkiraan kerugian karena kebakaran tadi. Kedua orang itu adalah pembantu ajuster, orang yang memperkirakan kerugian dan sejumlah ganti rugi akibat musibah yang berhubungan dengan asuransi. Karena pekerjaan itu mereka sering pula disebut reserse asuransi atau detektif asuransi. Perkembangan dunia asuransi yang menggebu memaksa tumbuhnya reserse asuransi ini. Tanpa mereka, ajuster (orang yang menentukan kerugian dan jumlah ganti rugi), tak akan lancar bekerja. Di Indonesia profesi ini diawali oleh Arie Smith, 58 tahun, seorang ajuter WNI elanda yang besar di Surabaya. Setelah mendapat pendidikan khusus di Filipina, ditambah pengalaman 33 tahun di bidang asuransi, Arie Smith membuka usaha ini. PT. First National Ajuster Company (INAC) yang berkantor di lantai dasar Setiabudi Building, Kuningan, Jakarta, adalah perusahaan yang dipimpinnya. Ia mempekerjakan enam orang reserse asuransi, dua di antaranya adalah Herry dan Mangadang. Para pembantu ajuster adalah pekerja lapangan, tanpa mengenal jam--dan penuh tantangan. Karena itu Herry punya nasihat supaya betah. "Harus punya hobi berpetualang, kreatif, ulet dan jujur," katanya. Bekas mahasiswa akademi bank di Jakarta ini, tanpa dia sadari, sudah bekerja 6 tahun sebagai detektif asuransi. Tap1 bidang ini, katanya, "Selalu penuh pengalaman baru dan membuat saya dinamis--tanpa pernah merasa jenuh." Apalagi karena pekerjaan itu harus membuat dia selalu obyektif: ia harus selalu berdiri di tengah, di antara pihak asuransi (penanggung) dan klien (tertanggung). Meski begitu, "Kami sering dituduh tertanggung sebagai alat asuransi untuk mengelabui mereka," tambah Herry. "Sumut" Di Medan Herry pernah punya pengalaman begini. Suatu saat ia bertugas di kota itu untuk mengusut kerugian sebuah pabrik yang terbakar. Selama seminggu berada di sana, ia belum dapat bekerja apa-apa--bahkan tak berhasil memasuki areal pabrik. Ia dipingpong pejabat-pejabat pemerintah di sana dengan mengatakan dia harus mempunyai berbagai macam izin dari instansi-instansi pemerintah. Ternyata kemudian main pingpong itu hanya cara untuk menggaet uang dari Herry. Apa boleh buat ia menyerahkan amplop ke pejabat-pejabat itu. Urusan beres. "Ngerti juga orang Jakarta ini, rupanya," celetuk salah seorang diantara aparat pemerintah itu. Tapi sejak itu di kalangan Herry dan kawan-kawannya muncul istilah sinis buat pejabat-pejabat di sana: "SUMUT", alias "semua urusan mesti uang tunai." Tugas seorang reserse asuransi memang sering terhambat. Dulu, misalnya, data-data yang diperoleh seorang reserse asuransi sering berlawanan dengan data dan keterangan kepolisian. Pihak terakhir ini sering hanya mendapat keterangan dan data dari pihak tertanggung --tidak dari pihak asuransi. Tapi, "Sekarang sudah ada kerjasama yang baikantara pihak kepolisian dengan kami." kata Smith. Pengalaman Mangadang Napitupulu, 36 tahun, lain lagi. Pemuda tegap dan kekar dari Tapanuli ini pernah lari terbirit-birit, di Cililitan, Jakarta Timur. Sebuah golok tajam diacungkan ke tubuhnya oleh orang tua yang anaknya tewas ditabrak mobil. Waktu itu Mangadang mendapat perintah mengumpulkan data untuk menghitung jumlah ganti rugi yang wajar atas kematian anak tersebut. Untuk itu ia ingin mewawancarai orang tua tersebut. Si orang tua ternyata salah paham. "Dia kira kami mau menghargai nyawa anaknya dengan uang," kata.Mangadang mengenang. Menghadapi jalan buntu itu ia cepatcepat menghindar sambil meninggalkan kartu nama pada tetangga orang yang menghunus golok tadi. Dia berpesan juga agar bapak anak tadi datang keantornya. Seminggu kemudian sang bapak muncul di kantornya. Secara pelan-pelan Mangadang menjelaskan hak-hak yang dipunyai orang tua itu atas kematian anaknya. Pendekatan pun berjalan siengan lancar. Orang tua itu akhirnya menerima Rp 500 ribu, jumlah klaim kematian anaknya. Penuh Godaan "Tugas kami seperti bumper mobil," kata H.S. Soenarto, 35 tahun, reserse asuransi merangkap Direktur PT Curai Perdana, perusahaan ajuster yang berkantor di Jalan Faletehan 1, Kebayoran Baru, Jakarta. Maksudnya, ia harus bisa berada di tengah. Sebab, penanggung selalu berkemauan membayar ganti rugi sekecil mungkin, sedang tertanggung ingin menerima yang sebesar-besarnya. Soenarto mengakui perusahaannya sering hendak dijadikan alat untuk keuntungan perusahaan asuransi sematamata. Tapi sejauh itu, katanya, godaan tadi tak mempan. Malahan dia dan anak buahnya selalu menjelaskan hak-hak si tertanggung. "Pekerjaan ini memang penuh godaan dan tantangan. Dan selamanya kami harus siap mengalahkannya," kata Soenarto. Beberapa bulan lalu jantung Soenarto berdenyut agak keras. Ketika ia menaksir ganti rugi sebuah perusahaan yang terbakar di Jakarta, di perusahaan itu rupanya sudah menunggu oknum ABRI yang menonjolkan moncong pistolnya di pinggang celana. Oknum itu dengan mengatasnamakan pemilik perusahaan menuntut klaim Rp 75 juta. Tapi Soenarto menghadapi orang itu dengan tenang. Ia terangkan duduk perkara yang sebenarnya. "Saya tak mau didikte," kata Soenarto. Tapi karena oknum itu tetap ngotot hingga kini kasus itu belum tuntas di pengadilan. Karena tugas, fasilitas disediakan cukup memadai bagi seorang reserse asuransi. Misalnya tinggal di hotel kelas satu bila bertugas di luar kota. Tapi ia pun harus sanggup diterjunkan ke hutan yang penuh nyamuk malaria dan tldur di tempat apa adanya. Bahkan harus pula mampu bertugas di laut atau dasar sungai -- untuk mengusut kasus kapal tenggelam misalnya. Di Jakarta terdapat lima perusahaan ajuster dengan sekitar 30 reserse asuransi. Gaji mereka cukup baik, sekitar Rp 300-Rp 350 ribu. Sedang imbalan dari klien yang didapat berbeda-beda. Curai Perdana memasang tarif 100 dolar per jam kerja, yaitu pada jam-jam ketika para reserse maupun ajuster benar-benar bekerja untuk suatu kasus. Hal ini diatur khusus dalam surat perjanjian. Tiap perusahaan rata-rata menangani 25 kasus setiap bulan. Batas pengusutan sebuah kasus paling lama 6 bulan. Para reserse asuransi rata-rata bertubuh sehat dan liat. Pendidikan umumnya di atas SMA dan kebanyakan mempunyai pengalaman di bidang asuransi. Begitu masuk menjadi reserse asurans, etik dipegang keras. Antara lain dilarang menerima amplop. "Saya sudah tegaskan kepada mereka, sekali berbuat tak benar, out," kata Smith tegas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus