Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni bertanding syair

Jenis kesenian rakyat gayo, berkembang menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, dipertunjukkan di tim. pertunjukannya semalam suntuk. (ter)

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIDONG mungkin tak akan pernah mati. Salah satu jenis kesenian rakyat Gayo ini, agaknya cukup luwes menyesuaikan diri dengan zaman dan lingkungan. Seperti bisa disaksikan di Taman Ismail Marzuki Sabtu malam yang lalu. Terbatasnya ruang Teater Arena TIM, tak menghalangi dua kelop (grup) didong tampil bertanding mencipta dan membawakan syair. Memang dua grup itu tak hadir sekaligus di arena seperti biasanya di Gayo, tapi bergantian tiap setengah jam. Juga, syair yang didendangkan tak bebas menurut kehendak para ceb (pilpinan grup). Panitia menentukan temanya: kelestarian alam dan riwayat Sanggar Buntul Kubu--sanggar kebudayaan Aceh di akarta yang didirikan 1974, yang menyeponsori acara ini. Itulah sebabnya kadang disebut nama Emil Salim, Menteri Pengawas Pembangunan dan Lingkungan Hidup lewat syair dalam bahasa Aceh. Toh, hal-hal yang "tidak lazim" itu tak membuat didong malam itu jadi hambar. Penonton, yang penuh, tetap bertahan dari pukul 20.00 sampai dengan 05.00 pagi. Mereka pun responsif: kadang tertawa, kadang melontarkan teriakan mengejek atau memberi semangat grup yang disukai. Hanya ada sekitar 40 orang mula, duduk membentuk lingkaran. Beberapa membawa bantal kecil di tangan, untuk ditepuk-tepuk guna memperoleh bunyi. Yang lain cukup bertepuk tangan. Sementara empat ceh bergantian mendendangkan syair yang telah dipersiapkan, atau yang secara spontan dicipta saat itu juga, guna menyerang atau menjawab grup lawan. Dengan posisi duduk dan hampir saling merapatkan diri itu, gerakan tubuh dan tangan yang dilakukan memang terbatas. Ada goyang badan ke kanan lantas ke kiri. Atau ke depan dan ke belakang. Al Quran Tapi goyangan badan atau gerakan tangan yang terbatas itu, yang dilakukan secara serentak oleh 40 orang mengiringi dendang lagu sang ceh, memang memukau. Dan bila anggota grup serentak menirukan kalimat yang barusan didendangkan ceh, suasana memang mirip suatu pengajian. Nada lagu didong agak mirip dengan lagu pembacaan Al Quran. Itu semua memberikan kesan, selingkar orang muda itu hanya mengulangulang gerak yang sama dan lagu yang sama. Meski, tentu saja, syair yang didendangkan bukan merupakan ulanganulangan. Namun justru perulangan-perulangan itulah yang agaknya membawa hanyut penonton ke dalam irama gerak dan lagu itu. Bahkan bisa dilihat, para pelaku didong terkadang seperti mengalami trance, karena begitu asyik. Di saat lain, yang membuat betah penonton adalah syair yang lucu, atau syair yang menyerang grup lawan. hetika satu grup malam itu membuka serangan, "mengapa syair dan lagu yang dibawakan dari tadi hanya itu-itu saja," penonton pun bertepuk. Pada kesempatan berikut, grup yang diserang membalas. Dituduhnya grup lawan mencuri lagu dan syair dari kelop lain. Balas-membalas berlangsung terus. "Para penonton tentu bisa menilai, siapa yang sekedar berbicara kenes, siapa yang lugas," begitu ceh menyanyi. Muntah Darah Boleh dikata serang-menyerang, ejek mengejek merupakan bumbu pelepas kantuk. Dan biasanya, nyanyian yang agak panas ini memang muncul sekitar tengah malam hingga saat terakhir. Mirip saat munculnya goro-goro dalam wayang kulit. Untuk menciptakan suasana, terkadang sebelum menyanyi ceh meniup seruling, menyebar lagu yang mengharukan, atau yang bersuasana gembira. Sesuai dengan isi syair yang hendak didendangkan. Tak jelas benar kapan didong tercipta. Mungkin usianya setua usia pesta perkawinan -- karena dimunculkannya dulu-dulunya hanya pada pesta itulah. Dan pada mulanya yang bertanding adalah kelop pihak pengantin pria melawan pihak pengantin putri. Yang disyairkan, terbatas soal adat-istiadat dan teka-teki. Yang satu bertanya, yang satu harus menebak. Perkembangan kemudian, dengan menipisnya ikatan belah (marga) anggota- kelop tak hanya datang dari satu marga, tapi meluas, datang dari satu kampung. Dan pertandingan kemudian menjadi antarkampung. Syair yang didendangkan pun kemudian berkembang. Cerita rakyat, hikayat, sejarah tanah Gayo, bahkan kemudian peristiwa aktual masuk pula ke dalam didong. Dan karena kelop didong yang sering menang pertandingan kemudian sering diundang bertanding dari kampung ke kampung, ekses persaingan masuk pula dalam kesenian ini. Meskipun jarang terjadi, konon, pernah satu grup didong tiba-tiba kehilangan suaranya tak mampu membalas syair lawan. Bahkan pernah pula ceh muntah darah, dan karenanya pertandingan batal. Kini di Gayo ada sekitar 86 kelop didong. Yang tertua adalah kelop Ujung Gele dan Sipi-sipi yang terbentuk di akhir tahun 30-an. Yang termuda Timang Rasa (terbentuk 1977), salah satu grup yang bertanding malam itu di TIM. Grup lawannya adalah Teruna Jaya (berdiri di akhir 50-an).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus