DIDONG mungkin tak akan pernah mati. Salah satu jenis kesenian
rakyat Gayo ini, agaknya cukup luwes menyesuaikan diri dengan
zaman dan lingkungan.
Seperti bisa disaksikan di Taman Ismail Marzuki Sabtu malam yang
lalu. Terbatasnya ruang Teater Arena TIM, tak menghalangi dua
kelop (grup) didong tampil bertanding mencipta dan membawakan
syair. Memang dua grup itu tak hadir sekaligus di arena seperti
biasanya di Gayo, tapi bergantian tiap setengah jam. Juga, syair
yang didendangkan tak bebas menurut kehendak para ceb (pilpinan
grup). Panitia menentukan temanya: kelestarian alam dan riwayat
Sanggar Buntul Kubu--sanggar kebudayaan Aceh di akarta yang
didirikan 1974, yang menyeponsori acara ini. Itulah sebabnya
kadang disebut nama Emil Salim, Menteri Pengawas Pembangunan dan
Lingkungan Hidup lewat syair dalam bahasa Aceh.
Toh, hal-hal yang "tidak lazim" itu tak membuat didong malam itu
jadi hambar. Penonton, yang penuh, tetap bertahan dari pukul
20.00 sampai dengan 05.00 pagi. Mereka pun responsif: kadang
tertawa, kadang melontarkan teriakan mengejek atau memberi
semangat grup yang disukai.
Hanya ada sekitar 40 orang mula, duduk membentuk lingkaran.
Beberapa membawa bantal kecil di tangan, untuk ditepuk-tepuk
guna memperoleh bunyi. Yang lain cukup bertepuk tangan.
Sementara empat ceh bergantian mendendangkan syair yang telah
dipersiapkan, atau yang secara spontan dicipta saat itu juga,
guna menyerang atau menjawab grup lawan.
Dengan posisi duduk dan hampir saling merapatkan diri itu,
gerakan tubuh dan tangan yang dilakukan memang terbatas. Ada
goyang badan ke kanan lantas ke kiri. Atau ke depan dan ke
belakang.
Al Quran
Tapi goyangan badan atau gerakan tangan yang terbatas itu, yang
dilakukan secara serentak oleh 40 orang mengiringi dendang lagu
sang ceh, memang memukau. Dan bila anggota grup serentak
menirukan kalimat yang barusan didendangkan ceh, suasana memang
mirip suatu pengajian. Nada lagu didong agak mirip dengan lagu
pembacaan Al Quran.
Itu semua memberikan kesan, selingkar orang muda itu hanya
mengulangulang gerak yang sama dan lagu yang sama. Meski, tentu
saja, syair yang didendangkan bukan merupakan ulanganulangan.
Namun justru perulangan-perulangan itulah yang agaknya membawa
hanyut penonton ke dalam irama gerak dan lagu itu. Bahkan bisa
dilihat, para pelaku didong terkadang seperti mengalami trance,
karena begitu asyik.
Di saat lain, yang membuat betah penonton adalah syair yang
lucu, atau syair yang menyerang grup lawan. hetika satu grup
malam itu membuka serangan, "mengapa syair dan lagu yang
dibawakan dari tadi hanya itu-itu saja," penonton pun bertepuk.
Pada kesempatan berikut, grup yang diserang membalas. Dituduhnya
grup lawan mencuri lagu dan syair dari kelop lain.
Balas-membalas berlangsung terus. "Para penonton tentu bisa
menilai, siapa yang sekedar berbicara kenes, siapa yang lugas,"
begitu ceh menyanyi.
Muntah Darah
Boleh dikata serang-menyerang, ejek mengejek merupakan bumbu
pelepas kantuk. Dan biasanya, nyanyian yang agak panas ini
memang muncul sekitar tengah malam hingga saat terakhir. Mirip
saat munculnya goro-goro dalam wayang kulit.
Untuk menciptakan suasana, terkadang sebelum menyanyi ceh meniup
seruling, menyebar lagu yang mengharukan, atau yang bersuasana
gembira. Sesuai dengan isi syair yang hendak didendangkan.
Tak jelas benar kapan didong tercipta. Mungkin usianya setua
usia pesta perkawinan -- karena dimunculkannya dulu-dulunya
hanya pada pesta itulah. Dan pada mulanya yang bertanding adalah
kelop pihak pengantin pria melawan pihak pengantin putri. Yang
disyairkan, terbatas soal adat-istiadat dan teka-teki. Yang satu
bertanya, yang satu harus menebak.
Perkembangan kemudian, dengan menipisnya ikatan belah (marga)
anggota- kelop tak hanya datang dari satu marga, tapi meluas,
datang dari satu kampung. Dan pertandingan kemudian menjadi
antarkampung. Syair yang didendangkan pun kemudian berkembang.
Cerita rakyat, hikayat, sejarah tanah Gayo, bahkan kemudian
peristiwa aktual masuk pula ke dalam didong.
Dan karena kelop didong yang sering menang pertandingan kemudian
sering diundang bertanding dari kampung ke kampung, ekses
persaingan masuk pula dalam kesenian ini. Meskipun jarang
terjadi, konon, pernah satu grup didong tiba-tiba kehilangan
suaranya tak mampu membalas syair lawan. Bahkan pernah pula ceh
muntah darah, dan karenanya pertandingan batal.
Kini di Gayo ada sekitar 86 kelop didong. Yang tertua adalah
kelop Ujung Gele dan Sipi-sipi yang terbentuk di akhir tahun
30-an. Yang termuda Timang Rasa (terbentuk 1977), salah satu
grup yang bertanding malam itu di TIM. Grup lawannya adalah
Teruna Jaya (berdiri di akhir 50-an).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini