Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di Karawang Apa Daya

Buruh tani di Karawang tidak punya sawah. Penghasilannya kecil, tapi tidak dapat mencari pekerjaan lain karena tidak mempunyai keahlian. (sd)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI daerah Karawang, Jawa Barat, juga banyak petani tidak punya sawah. Mereka menyebut dirinya "buruh tani". Mereka dilahirkan dari keluarga yang juga tidak punya tanah. Otong, 49 tahun, di Jatisari, Karawang, menyebutkan ia keturunan buruh tani. Kini penghasilannya Rp 350 sehari. Ia mencangkul sawah orang mulai pukul 7 pagi sampai pukul 4 sore. Siang hari majikannya akan memberi dia makan, tanpa tambahan apa-apa lagi. Ia masih bisa memilih pekerjaan lain, jadi tukang kayu, tukang batu, tapi keahliannya tak ada. Setiap hari, Otong naik sepeda ke Ciasem (12 Km) untuk bisa menjual tenaganya. Barangkali ini sebabnya tubuhnya jadi segar terus. "Itu senam pagi yang membuat sehat dan awet muda," ujar Otong kepada Helman Eidy dari TEMPO. Otong menumpang hidup di rumah mertuanya. Ia punya anak dua orang, dengan hidup yang tak pernah enak. Menu makannya setiap hari sekitar daun singkong, kangkung dan ikan asin. Kadang-kadang ia sempat menangkap belut atau mancing ikan, selagi bekerja di sawah. "Kalau tidak begitu tidak akan pernah makan ikan," katanya. Otong tidak setuju kalau orang punya tanah secara berlebihan. Ia melihat sendiri orang kota yang punya tanah di desa seringkali tidak mempedulikan hidup orang-orang yang tidak bertanah. Tapi ia bisa berbuat apa? Mula-mula ia berharap anak-anaknya bisa merubah nasib. Lalu keduanya ia masukkan ke sekolah. "Saya menginginkan mereka jadi Camat. Camat 'kan enak, punya sawah lebar-lebar," ujarnya. Tapi mimpi itu tak kesampaian. Karena kesulitan biaya, kedua anaknya menyerah di kelas III SD. Sekarang mereka hanya jadi camat di kali, menguber-uber belut atau ikan untuk tambah-tambah dapur ibunya. Buruh tani sebenarnya tidak terbatas pada lelaki saja. Perawan, janda atau nenek, banyak juga yang memburuh di sawah. Hanya saja pekerjaan mereka musiman. Mereka bukan tukang pacul. Pekerjaannya terbatas pada saat-saat menyiangi sawah, menanam benih atau menuai padi. Ini dianggap agak ringan, sehingga hasilnyapun lebih sedikit. Untuk setengah hari kerja upahnya Rp 100, sedangkan kerja penuh hanya Rp 150. Praktis, kesempatan memburuh di sawah bagi wanita agak terbatas. Radinah, 37 tahun, di desa Kuta Ampel, Batujaya, masih di bilangan Karawang, adalah seorang buruh tani. Tujuh tahun yang lalu suaminya meninggal. Sakam, suaminya, tidak meninggalkan apa-apa, kecuali 6 jiwa yang harus dirawatnya. Radinah yang berasal dari keluarga buruh tani, tak punya kepintaran lain. Ia tidak punya pilihan lain, kecuali jadi tukang rambet (menyiangi sawah). Dan karena untuk makan saja sudah susah, tak satupun anaknya yang mampu ia sekolahkan. Radinah dengan anak-anaknya makan bubur setiap hari. Kadangkala Idih, abang iparnya yang berusia 50 tahun (suami almarhum kakaknya) mengulurkan sekedar bantuan. Sampai-sampai Radinah yang menumpang di rumah tetangga diberikannya tumpangan, berlindung di bawah atap rumahnya. Idih sendiri adalah buruh tani. Entah karena Tuhan sudah menuliskan sebuah kisah cinta yang sederhana, Idih dan Radinah akhirnya bersatu. Maka buruh tani kembali ketemu buruh tani. Ini berakibat lumayan dalam ekonomi keluarga. Sementara itu tenaga Idih juga sudah mulai luntur, sehingga lama-lama kurang memenuhi syarat sebagai tukang cangkul. Sebagai gantinya Idih pergi ke kali Citarum, menjadi pemikul pasir dengan upah borongan. Sebelum bersatu dengan Idih, hidup Radinah kadang-kadang mencekik. Kalau musim rawan, sering tidak makan. Kadang-kadang hanya punya satu gelas beras bulgur. Ini dibikin bubur campur garam dan dibagi bersama-sama. Satu ketika keadaan kritis sekali. Beras nol sejak pagi anak-anaknya menangis minta makan. Radinah hanya bisa termangu-mangu di pinggir jalan. Tak tersangka lewat sebuah mobil membawa beras. Tanpa diminta, seseorang melemparkan kantong berisi 2 kg beras. Radinah bengong, lalu hanya bisa memuji Tuhan. Sejak saat itu ia sering Jongkok di pinggir jalan, rupanya lebih menguntungkan timbang kerja di sawah. Ditatapnya setiap mobil yang lewat. "Mereka kan datang bawa beras untuk dibagikan," ujarnya. Syukurlah sesudah bersama Idih, ia meneruskan kembali hidupnya sebagai tukang rambet. Ada juga buruh tani yang berasal dari petani biasa. Amad asal kampung Tengah yang berusia 46 tahun bermula petani biasa. Ayahnya seorang polisi desa (Opas Culing) punya 3 hektar tanah. Tanah tersebut kemudian dijual, karena ayahnya takut kalau nanti jadi sengketa di antara anak-anaknya. Meskipun kemudian hasil penjualan tanah itu dibagi rata di antara saudara-saudara Amad, sampai sekarang Amad tidak berhasil punya tanah sendiri. Bendera Biru Kesempatan untuk memiliki tanah sebenarnya ada. Tapi Amad waktu muda lebih membina kariernya sebagai playboy lokal. Ia sudah 19 kali menikah. Seringkali dengan janda atau orang tua kaya, sehingga ia otomatis punya tanah. Tapi dasar gelisah, pernikahan itu selalu ditinggalkannya untuk nikah lagi. Akibatnya, pada usia 46 tahun sekarang, ia tetap tidak memiliki tanah. Sejak tahun 1973 Amad menyudahi petualangan kawin cerainya. Isterinya yang terakhir janda berusia 25 tahun. Pernikahan ini menghasilkan tiga orang anak. Sebagai buruh tani yang menggarap setengah hektar tanah, Amad sering kewalahan. Karena itu ia mencoba mencari tambahan dengan menjadi tukang tambal ban sepeda. Amad juga berhasil menambah penghasilan dengan menjadi penjaga Sekolah Dasar di kampungnya. Dari pekerjaan ini ia dapat fasilitas tanah dekat sekolah, untuk mendirikan gubuk. Tetapi semuanya berantakan pada saat pemilihan Kepala Desa. Amad ternyata memilih Kepala Desa yang memakai bendera merah sementara Kepala Sekolahnya memilih yang pakai bendera biru. Akibatnya, Ahmad didepak ke luar. Ketika Ahmad terpaksa harus meninggalkan gubuk tumpangannya, rekan-rekannya buruh tani mencoba menolong. Mereka mencarikan pinjaman tanah, di mana Ahmad bisa menegakkan gubuk baru. Sesudah itu mereka mengumpulkan sekedar sumbangan untuk biaya pindah Ahmad. Melihat ini Ahmad hanya bisa menitikkan air mata. Apa daya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus