Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di Mana Saja, Rekam Saja

Spontanitas membuat film superpendek makin marak karena ketersediaan teknologi. Kini sudah muncul komunitas, tersedia pelatihan, dan lomba.

15 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANEKA rupa barang bekas dari jok kursi sampai botol plastik membentuk delta sampah di perairan wilayah Muara Angke, Jakarta Utara. Daniel Rudi Haryanto, pekerja seni, gemas melihatnya saat melakukan kegiatan bersama komunitas lingkungan di seputar pesisir Jakarta.

Tak lama kemudian, Rudi kembali mendatangi perairan penuh sampah itu. Kali ini ia berbekal kamera tangan (handycam). Pemandangan tak sedap itu direkamnya. Dari kegiatan itu, lahirlah sebuah film berdurasi delapan menit bertajuk Wajah Indonesia. Isinya adegan dua aktor amatir berdebat di atas kapal sampai tertidur. Mereka tergeragap bangun ketika kapal menabrak delta sampah itu.

Rudi memilih media film untuk menunjukkan satu masalah lingkungan karena bisa diputar kapan pun diperlukan dan dramatis. Pertimbangan lain, perkembangan teknologi membuat film tak perlu ribet lagi. Bermodal handycam, rekam, jadilah film. Modal pendukungnya hanya kepekaan pada lingkungan sekitar, dan spontanitas.

Febriansyah, mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, juga selalu menyimpan kamera tangan di ranselnya. Macam-macam yang sudah dia rekam: pengendara sepeda motor atau angkutan umum yang melanggar lampu lalu lintas, tawuran pelajar, bahkan yang usil seperti pasangan yang berpacaran di dalam bus.

Sedangkan Mohammad Addiartha Putra Kusuma, siswa Sekolah Menengah Atas Kolese Kanisius Jakarta, selalu membawa handycam setiap jalan ke mana saja. Satu waktu, dia tersentil melihat temannya yang benci musik jazz gusar membaca iklan Java Jazz di koran. Jadilah film superpendek bertajuk Made With Jazz, yang menjadi film terbaik dalam lomba film SMA di Festival Film Institut Kesenian Jakarta tahun lalu.

”Virus” spontanitas merekam dan membuat film superpendek—hanya beberapa menit—sudah berjangkit di mana-mana, terutama di kalangan anak muda. Hasilnya bisa berupa laporan jurnalistik warga, dokumentasi, atau film pendek. Menurut sineas Garin Nugroho, perilaku membuat film dengan spontan itu mulai marak 10 tahun terakhir, seiring dengan perkembangan teknologi perekam dengan harga makin terjangkau. ”Ini wujud tumbuhnya kultur ekspresi. Ada tambahan ruang kreasi baru,” kata Garin.

Menurut Wahyu Aditya, pendiri kursus animasi Hellomotion, pembuatan film pendek mulanya hanya ajang uji coba teknologi, seperti mencoba kamera baru. Mereka merekam apa saja tanpa plot cerita yang jelas. Film yang diedarkan melalui Internet pun tanpa diedit sebelumnya.

Kegairahan merekam apa saja itulah yang menumbuhkan berbagai pelatihan demi perbaikan mutu. Hellomotion, misalnya, membuka kursus editing dan animasi. Lembaga seperti Liga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Kineruku, Common Room, dan Videolab juga membuat pelatihan. Yang terbaru adalah digelarnya ruang diskusi untuk pelatihan produksi film dokumenter yang dirintis jurnalis sekaligus pembuat film dokumenter Iwan Setiawan. Acara itu bertajuk Salam Dokma (Sabtu Malam Minggu Dokumenter Mania), yang digelar setiap Sabtu pukul 18.00 di Newseum Cafe, Jakarta.

Tantangan kualitas film pendek adalah durasi. Menurut Lulu Ratna, penggiat Boemboe.Org, lembaga yang memfasilitasi perkembangan film alternatif, 20 menit sudah terlalu panjang. Festival Film Konfiden 2009 juga mensyaratkan film yang disertakan maksimal berdurasi 30 menit. Festival tahunan ini sudah diselenggarakan Yayasan Konfiden—juga lembaga film alternatif—sejak 1999. Tahun ini pertama kalinya dibuka juga kategori khusus film karya pelajar SMA, Agustus nanti.

Masih menurut Lulu, film-film pendek menggunakan alur tunggal. Masalahnya, adakah pesan di dalamnya atau sekadar bercerita dalam waktu sangat singkat. Film One Last Cigarette, misalnya, dalam satu menit merangkum adegan lelaki muda merokok, naik ke tembok pembatas Jembatan Pasopati, Dago, Bandung, sampai mencoba bunuh diri, tapi urung.

Karya Fahman Fathurrahman, yang bergiat di Liga Film Institut Teknologi Bandung, itu diganjar The One Minutes Awards untuk kategori One Minute Freedom di ajang festival yang rutin digelar setiap tahun sejak 2000 oleh Sandberg Institute, Amsterdam, Belanda. Seperti pembuat film pendek, Fahman tak keluar modal banyak untuk memproduksinya. ”Pemain dibayar dengan rokok,” kata Fahman, tertawa.

Dengan proses produksi film yang mudah dan murah itu, tak aneh jika pembuat film superpendek terus bermunculan, mulai di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, kota-kota besar lain, sampai Kaliangkrik di lereng Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Pembuat film dari Kaliangkrik ini, Atayosi Irawan, adalah penegasan bahwa produksi film itu bukan monopoli orang tertentu, semisal mahasiswa atau pekerja seni.

Irawan seorang pedagang. Dengan telepon seluler berfasilitas video, sedikitnya 20 film pendek sudah dihasilkan. Film-film itu dipamerkan melalui penyedia video di Internet. Dia mulai iseng-iseng membuat film ketika menjadi tenaga kerja Indonesia di Malaysia. ”Hanya merekam kejadian yang menarik, atau iseng-iseng menirukan efek di film-film,” ujarnya.

Nah, pembuat film itu ada yang beraksi sendiri, tapi kebanyakan bergiat di komunitas. Sayangnya, jumlah komunitas pembuat film ini pun tidak terpetakan. ”Dua orang sudah bisa jadi komunitas, dan sekarang antarkomunitas belum semua terhubung,” kata Lulu Ratna.

Yang jelas, kata Direktur Yayasan Konfiden Alex Sihar, setiap tahun film yang masuk Festival Film Konfiden rata-rata 200 judul. Jumlah film yang masuk sempat melonjak 800 judul pada 2002-2003 karena tersulut euforia festival serupa di sebuah televisi swasta. ”Ini buah revolusi teknologi, biaya produksi film murah,” katanya.

Tingginya antusiasme semacam itu juga terlihat dalam festival di daerah lain. Festival film pendek cukup sering digelar berbagai lembaga. Festival yang dihela Boemboe.Org, misalnya, tercatat pernah digelar di Cirebon, Salatiga, Purwokerto, dan Purbalingga. ”Selanjutnya akan menjajaki luar Jawa,” kata Lulu.

Festival menjadi salah satu media andalan distribusi film-film pendek. Memang belum ada pungutan tiket untuk pertunjukannya. ”Beda dengan bioskop di Eropa, yang sudah memberi screen fee,” katanya. Namun para pembuat film pendek bisa memetik manfaat lain, yakni menggunakan pengalaman mereka untuk menapak ke jenjang industri film yang lebih serius.

Head of Production Mobilelounge Media, Ita Kiswanto, punya harapan yang sama. Mobilelounge adalah pengelola situs yang mendistribusikan video kiriman ke stasiun televisi. Pihaknya sudah menerima 40 kiriman video film berdurasi satu hingga empat menit yang akan segera ditayangkan di televisi, bekerja sama dengan Global TV. Dengan langkah-langkah kecil mencoba membuat film, iseng atau serius, ”Siapa tahu bisa memunculkan sineas-sineas baru,” katanya.

Harapan tersebut sudah terbukti. Contohnya Ifa Isfansyah, sutradara film Garuda di Dadaku yang beredar pertengahan Juni ini. Dia berkenalan dengan dunia film melalui kegiatan iseng merekam peristiwa dengan handycam, selanjutnya meningkat membuat film pendek. Salah satu karyanya adalah film berdurasi 15 menit, Harap Tenang, Ada Ujian!, yang mengambil latar bencana gempa bumi di Yogyakarta, 2006. ”Setelah ada yang menonton dan mengapresiasi, timbul motivasi untuk lebih serius,” katanya.

Meski film pendek dan panjang itu dua hal yang berbeda, Ifa mengakui pembelajaran membuat film pendek cukup memberikan kontribusi untuk bekal menjalani proses produksi film panjang. ”Dari teknis sampai insting dramatika,” ujarnya. Dia mengimbau pembuat film iseng-iseng yang ingin mencebur ke industri film yang lebih serius, ”Harus terus belajar, dan belajar. Jangan berhenti di tingkat sadar produksi.”

Harun Mahbub, Nur Hidayat, Iqbal Muhtarom, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus