Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANPA banyak bicara, keramikus Widayanto mengangkat Lurah Desa Karangtumaritis menjadi warga dunia. Lurah itu bernama Semar, hidup dalam dunia pewayangan Jawa dan Bali, berperan sebagai pamong: orang yang melayani. Dunianya adalah dunia Pandawa dan Amarta, juga dunia Rama dan Sinta, ditambah jagatnya Arjuna Sasrabahu. Pendek kata, bila wayang kulit dipergelarkan, apa pun lakonnya, bila sang dalang berkenan, Semar (dan anak-anaknya) pun dihadirkan.
Berangkat dari Semar yang ada di mana-mana itu meski tetap dalam dunia pewayangan, pameran 30 karya keramik berwujud Semar di Galeri Nasional hingga Jumat pekan lalu sesungguhnya bukan milik F. Widayanto sendiri. Toh, tetap saja pameran ini punya sesuatu yang tak terduga. Tiba-tiba kita bertemu dengan Semar yang memerankan Yesus (dalam King of King). Atau yang sedang berbaring sebagai Buddha (Lotus Fall). Ada pula yang mengingatkan kita pada patung Sang Pemikir karya Rodin (Think S’mar). Juga hadir Semar sebagai Salvador Dali, pelukis surealis yang begitu khas kumisnya itu (Dali Mania).
Ada pula Semar yang mendapat penghormatan khusus dari penciptanya, ditaruh di ruang tersendiri, dengan pencahayaan yang diatur dan diberi julukan Ayoming Jagad (pelindung semesta). Wajahnya memandang lurus ke depan, senyum lebar dan mata membelalak. Di tangan kiri, bola dunia. Kata penciptanya dalam buku yang diterbitkan bersamaan dengan pameran ini: ”Semar… untuk segala masa, segala bangsa, dan segala budaya….”
Dari pameran tunggal ke pameran tunggal, Widayanto memang selalu mengambil satu tema garapan. Pameran ”Wadah Air” (1987), lalu ”Loro Blonyo” (1990), dan seterusnya sampai pameran yang ke-13 kini, ”Semarak 30 Semar”. Dan dari pameran tunggal yang pertama, ”Wadah Air” itu hingga yang ”Semar”, satu hal tetap terjaga: kepiawaian tangannya meremas, mengelus, menjemput, memoles dalam membentuk tanah liat, termasuk menggambarinya dengan hiasan-hiasan dan lalu mewarnainya, tak perlu dipertanyakan.
Ihwal bentuk, penguasaan anatomi figur umpamanya—dari zaman ”Loro Blonyo”, lalu ”Ganesha-Ganeshi” sampai ”Semar” kini—sedemikian rupa hingga figur-figurnya hadir bak pemain akrobat: apa pun polah sang figur, asal masih memungkinkan untuk dipajang dan tidak ambruk, dengan enak figur itu pun hadir. Lalu detail—keramikus satu ini boleh dibilang master of details—meski itu lipatan kain, atau ruas jari, atau kerut di sudut bibir, tergarap dengan keprigelan yang cermat. Juga, teknik Widayanto menambahkan bahan lain pada keramiknya demikian menyatu hingga terasa bahwa semua itu keramik. Baru dalam jarak dekat kita melihat ternyata itu logam (misalnya kipas bertongkat, tali ikat pinggang, cabai hiasan telinga, dan batu cincin pada Semar-Semar itu).
Juga, dalam soal rasa bentuk, tiap bentuk hadir mewakili karakter masing-masing. Daging ya terasa daging, kuku ya kuku, berbeda dengan kain atau topi, apalagi dengan bentuk burung (misalnya pada God Will Do, Semar yang tengkurap dengan tangan kanan menyangga kepala, dua burung putih menemaninya; satu di belikat kiri, satu lagi bertengger di tangan kanan).
Pada wayang kulit, wayang Semar ”hidup” ketika sang dalang menghadirkannya dengan latar belakang kelir putih dengan penerangan blencong, lampu minyak yang didesain khusus (kini banyak dalang menambahkan penerangan dengan lampu listrik). Maka sebentuk kulit kerbau itu pun memukau, mengundang tawa, menyeret emosi penonton untuk bersorak dan bertepuk. Pada wayang yang sama dan tentu saja tak berubah itu, di tangan ki dalang kita melihat ekspresi sedih, gembira, marah, terharu, dan sebagainya.
Di ruang pameran, Semar-Semar Widayanto tak perlu dihidupkan—justru ini berbahaya karena keramik adalah benda yang termasuk mudah retak, gempil, pecah. Patung-patung keramik berbentuk Semar ini sudah ”hidup”, dengan berbagai peran, terutama tampak dari bentuk dan kostumnya. Yang segera perlu dicatat, menurut kesan saya, ketiga puluh Semar itu semuanya berwajah sumringah, gembira, tanpa beban. Ekspresi ini terasa biarpun Semar sedang mengantuk (Sleepless Batara dan Leyehan), atau sedikit sendu (ya, sedikit saja) pada Moody Blue.
Ada perkecualian, memang. Semar tampak serius pada dua patung: Think S’mar dan Smarasati. Tersebut pertama dengan mata ”kosong” Semar yang duduki itu menatap ke depan dengan sudut pandang ke bawah. Tersebut berikut, Semar berdiri, tangan kiri dilipat ke belakang dan tangan kanan ditekuk mengepit sarung, mata terpejam, dahi berkerut. Dua Semar yang serius berpikir. Smara, bisa bermakna ”peperangan, bidadari, papan” (kata benda), atau ”tertarik” (kata kerja). Sedangkan sati berarti sungguh-sungguh atau sangat.
Inilah tafsir Widayanto atas Semar yang umumnya dianggap makhluk yang sudah mengatasi keduniawian, menjadi simbol penjaga alam semesta. Ia sekaligus suka dan duka (ia selalu tersenyum, tapi matanya merah pertanda sering menangis). Dalam dirinya adalah segala usia: tampil sebagai orang tua namun berkuncung bagaikan anak-anak. Ia dipanggil bapak, namun dada dan pantatnya lebih mirip perempuan. Ia dewa, saudara tua Batara Guru, namun hidup di antara rakyat jelata. Ia mengabdi dan melayani para satria namun juga berperan sebagai orang tua dan guru. Secara fisik ia buruk, tampil hampir telanjang, namun sakti mandraguna.
Semar dengan demikian adalah segalanya. Tak mudah menghadirkan ”segala”-nya ini hanya dengan 30 patung keramik, betapapun sempurna penggarapan teknik itu. Misalnya, Widayanto ”melupakan” Semar yang merakyat sebagaimana pada wayang kulit (ini disinggung juga oleh Susanto Pudjomartono pada buku Semarak 30 Semar). Pencipta wayang Semar (entah siapa) memberinya sarung batik motif kawung. Motif ini, menurut keyakinan turun-temurun, adalah motif yang demokratis: boleh dan pantas dipakai siapa saja, dari raja sampai punggawa, dari satria sampai jelata.
Namun itulah Widayanto. Kecenderungannya pada detail, mengisi setiap bidang dengan ornamen, sesungguhnya bertentangan dengan hakikat Semar yang ”sederhana”. Menurut rasa saya, ornamen yang ramai itulah yang menenggelamkan perbedaan antara Semar yang satu dan yang lain. Setidaknya, beda antara Semar yang satu dan yang lain tak cepat terasa.
Mungkin, inilah ”risiko” seorang keramikus yang harus bekerja terencana, ”matematis”, memperhitungkan keseimbangan, mencermati tiap sentimeter persegi permukaan bentuk. Daya pukau karya Widayanto menurut saya memang di situ: kemeriahan yang harmonis, disuguhkan dalam teknik tingkat tinggi, keperpaduan bentuk yang merepresentasikan gagasan. Kerumitan dan kepresisian karya yang datang dari Widayanto memang berkelas. Dengan demikian, akhirnya, tergantung selera Anda. Sebagai perbandingan, inilah Kabuki yang meriah dandanannya, tampil dalam teknik tinggi, dan tak relevan untuk dibandingkan dengan Noh yang subtil, yang mengisap kesadaran penonton hampir dengan tanpa gerak, untuk dituntun memasuki dunia yang lain.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo