Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK banyak katalogus pameran seni rupa yang membantu penonton memahami karya-karya yang dipamerkan. Semarak 30 Semar tidak saja sangat membantu pameran tunggal Widayanto kali ini, tapi bahkan memang layak diluncurkan sebagai buku: dikemas dalam bentuk coffee table book, dengan kualitas foto dan cetak yang prima.
Dengan judul ”Ki Semar dari Dapur Tembikar”, Rudy Badil mengulas perjalanan Widayanto dalam menciptakan patung-patung keramik. Inilah tulisan pertama dalam buku ini, sesudah pengantar pendek dari Widayanto dan sambutan dari Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Secara keseluruhan tulisan wartawan senior ini memberikan gambaran proses kreatif sang keramikus kelahiran Jakarta ini. Ternyata di balik karya-karya yang ”perfek” itu ada usaha yang tak mudah: membaca buku, berdiskusi, mencari referensi lain-lain. Misalnya, dikisahkan oleh Badil, sewaktu mendapat ide menciptakan patung-patung keramik Ganesha, Widayanto sampai merasa perlu mengoleksi foto-foto bayi gemuk lucu-lucu dari majalah wanita. Yang dicari, ”Badan gemuk terokmok tapi sehat, bukan gendut gleber-gleber…,” tulis Badil mengutip kata-kata seniman keramik itu. Ganesha, dewa ilmu pengetahuan itu, adalah sosok yang subur namun bukan gembur.
Juga ada anekdot. Widayanto mengunjungi Kasongan, Yogyakarta, desa gerabah yang terkenal itu. Ia kaget melihat keramik-keramik di situ meniru karya-karyanya. Ia amati karya-karya itu, dan ini mengundang perhatian pemilik toko yang lalu menawarinya dengan bujukan lihai: ”Ini semua model asli bikinan Widayanto.”
Seniman yang berlagak sebagai turis lokal itu hanya tersenyum kecut. Rupanya, namanya sangat dikenal, namun sosok si empunya nama sama sekali tak diketahui. Akhirnya tak tahan juga turis ini, dan memperkenalkan diri. Hebat, pedagang itu hanya sejenak kaget, dan segera berucap, ”Wah, Mas Widayanto toh, selamat datang di Kasongan. Terima kasih, terima kasih ya, Mas….”
Dua tulisan kemudian datang dari Susanto Pudjomartono, wartawan yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, kemudian ditunjuk menjadi duta besar untuk Rusia. ”Rindu Semar”, esai pertama, adalah ulasan mengapa Widayanto mengambil tema Semar, dan apa yang dilakukan oleh keramikus itu terhadap tokoh punakawan sakti ini.
Semar sebagai tema dalam karya seni modern Indonesia, menurut Susanto, bukan hal baru. Banyak perupa dan sastrawan mengambil tokoh ini sebagai pokok dalam ciptaan mereka. Yang terlupakan disebut adalah karya mural Affandi di gedung East-West Center Hawaii, Amerika Serikat. Karya yang dibuat pada 1967 itu berjudul Wisdom from the East, menggambarkan tiga pemikir dari Timur sedang berbincang: Mahatma Gandhi, lalu yang kedua dipercaya sebagai Buddha—keduanya dalam sosok manusia—dan yang ketiga Semar, dihadirkan dalam bentuk wayang kulit tanpa gapit. Ketiganya berada dalam telapak tangan kiri mahabesar, konon inilah tangan Sang Mahakuasa.
Namun, berbeda dari karya-karya yang sudah ada, Widayanto mengangkat Semar menjadi warga dunia. ”Semar telah diglobalisasikan menjadi ’Semar Internasional’…. Ia dapat menyapa Nihow… bisa pula berupa dewa Yunani Zeus, atau Yesus…,” tulis Susanto. Singkat kata, dalam esai ini Susanto menyimpulkan bahwa ”Widayanto telah mencoba nyebul (meniup) Semar dengan napas baru”.
Dan Semar tak bisa dilepaskan dari wayang (kulit). Wayang di Jawa diciptakan untuk menjadi media pertunjukan lakon Mahabharata dan Ramayana dari India. Dalam proses, dua epos itu diceritakan kembali oleh para pujangga Jawa, sehingga lama-kelamaan dirasa sebagai milik orang Jawa (Indonesia), karena diciptakan pula tokoh-tokoh—termasuk Semar—yang tak ada dalam kisah aslinya. Inilah, menurut penyair Sapardi Djoko Damono, globalisasi sastra tertua yang pernah terjadi di Nusantara.
Karena itu, memang tak bisa tidak, untuk melengkapi kisah Semar, Susanto pun menulis soal wayang, ”Wayang Akan Hilang?” Esai ini menguraikan nasib wayang yang oleh sebagian besar masyarakat masa kini dianggap hanya sebagai hiburan. Namun penulis yakin wayang tidak akan hilang, karena ada berbagai upaya untuk mempertahankan wayang dengan cara menyesuaikannya dengan zaman tanpa menghilangkan bobot.
Alhasil, buku ini secara komprehensif memberikan gambaran tentang 30 karya keramik bertema Semar; Semar itu sendiri; lalu tentang wayang, jagat tempat Semar berkiprah; serta sebuah esai mengenai sang keramikus dan proses penciptaannya. Ini bukan sekadar buku katalogus.
BBU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo