TIGA apotek di Medan, yakni Mega, Vita Bintang, dan Siang Malam 2, tidak boleh melayani konsumen. Izinnya dibekukan sejak Januari silam, karena ketiganya bermain dengan obat antibiotik augmentin palsu. Itu diungkapkan oleh Dokter Hadi Santoso, Kakanwil Departemen Kesehatan Sumatera Utara, kepada wartawan di RS Pirngadi Medan, Sabtu pekan lalu. Dilihat ciri-ciri fisiknya, augmentin injeksi yang dijual di tiga apotek tersebut memang ganjil. "Masa, ada endapan dalam augmentin injeksi seperti yang mereka jual itu," kata sumber di Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Medan kepada TEMPO. Kalau augmentin yang berendapan diinjeksikan ke dalam tubuh manusia, ini jelas berbahaya. Seharusnya, augmentin berbentuk larutan jernih. Larutan berendapan yang sulit diserap itu bisa menimbulkan pengaruh sampingan. Tapi apa saja pengaruhnya belum dapat dipastikan. Menurut Hadi Santoso, perbuatan pemilik ketiga apotek yang sudah dipaksa menutup pintunya itu dinilai melanggar peraturan dan merugikan masyarakat. Padahal, pihak apotek seharusnya ikut mengamankan dan bertanggung jawab terhadap peredaran obat di pasar. "Kini malah mereka yang menjual obat palsu," katanya. Jauh sebelumnya kepada semua pengusaha apotek diingatkan agar tidak mengedarkan obat yang tak memenuhi standar dan kualitas. Itu dimaksudkan menghindari hal yang tak diinginkan. "Kualitas obatnya kelihatan tidak terjamin," kata Drs. Oyong Syafriadi, Kepala Balai POM Medan. Obat palsu yang ditangkap basah Balai POM itu memang tak memenuhi standar karena adanya endapan tadi. Edannya, masuknya obat palsu ke dalam lemari tiga apotek itu ternyata tanpa diketahui si apoteker, penanggung jawab di apotek. "Ini akibatnya jika sebuah kapal dengan dua nakhoda," kata sebuah sumber yang sangat mengetahui liku-liku pembelian obat di Apotek Mega. Selama ini, menurut sumber yang menolak ditulis jati dirinya, pemilik modal terlalu campur tangan menangani obat-obatan. Mau mereka dengan membeli obat dengan cara "haram" itu cuma cari untungnya saja, padahal mendapat labanya belum tentu seberapa. Seperti obat augmentin dimaksud, termasuk obat yang kurang lancar pemasarannya, karena memang jarang diperlukan. Masyarakat apoteker di Medan menyayangkan Apotek Mega yang berdiri sejak 1971, karena malah kesandung dengan "batu kerikil" kecil. "Kami malu sekali, entah ke mana muka ini mau disembunyikan," kata seorang apoteker yang solider pada nasib rekannya. Bagi pemilik, sebagai "makhluk bisnis", mungkin tidak seberapa. "Tapi jika sudah begini, orang hanya menyalahkan kami," kata salah seorang apoteker yang terkena sial. Akibatnya, apoteker laksana ayam jago yang tanpa taji di dalam sebuah apotek yang dikuasai si pemilik modal. Dalam bahasa masyarakat apoteker, mereka itu diperlakukan sebagai "orang gajian" yang hampir tidak bisa menjalankan fungsi pengawasan. Penyebabnya, konon, apotek itu umumnya memang usaha keluarga. Ambisi pemilik apotek makin bermaharaja sejak ada deregulasi di bidang kesehatan, yaitu setelah syarat mendirikan apotek itu digampangkan. Malah dalam tempo kurang sebulan, misalnya, izin sudah dapat diraih. Sedangkan pertimbangan lingkungan, seperti jarak, jumlah dokter, sekarang justru tidak lagi dipersoalkan. Inilah suasana yang diinginkan deregulasi yang ditata dalam Paket 28 Mei 1990 itu. Kemudahan tersebut bahkan membuat persaingan semakin ketat. Apalagi tumbuhnya apotek itu bak jamur di musim hujan, sehingga pendapatan pemilik juga berubah "lepas makan" saja. Pemasukan di Apotek Mega belakangan ini, misalnya, menurut sebuah sumber, cuma sepertiga dibandingkan dengan pendapatan tiga belas tahun silam. Dapat diduga bila pengusaha menekan biaya di sana-sini. "Contohnya, ia berani membeli obat yang nonstandar itu," kata sumber yang juga seorang apoteker. Pemilik ketiga apotek yang ditutup di Medan itu, hingga Sabtu malam pekan lalu, belum bisa dihubungi. Apoteknya memang sudah ditutup dan dikunci dari luar. Namun, ketika ditelepon, seperti ke Apotek Mega dan Apotek Vita Bintang, petugasnya mengatakan pemiliknya sedang tidak di tempat. Yusri, pemilik Apotek Vita Bintang di Jalan Zainul Arifin, ketika ditelepon juga disebut sudah keluar dari kantor. Demikian juga ketika pemilik Apotek Mega di Jalan Asia dihubungi. Kata penerima telepon di sana, pemiliknya sedang tidak di tempat. Begitu pula ketika ditanyakan perihal apoteker yang bekerja di situ, malah disebut sudah berangkat ke Jakarta. Beberapa sumber yang ditemui TEMPO, yang diduga punya sangkut paut dengan apotek yang ditutup, menolak bicara. "Janganlah soal tersebut diperpanjang," kata seorang sumber yang punya hubungan dengan Apotek Mega. Sebelum memberangus Apotek Mega, Vita Bintang, dan Siang Malam 2, Kanwil Departemen Kesehatan Sumatera Utara juga menutup dua apotek lain dan satu depot obat. Kesalahannya, selain menjual obat palsu, bahkan mereka meracik sendiri obat yang hendak dijualnya itu. Apotek-apotek yang sudah ditutup itu, menurut Kakanwil Departemen Kesehatan Sumatera Utara, selama tiga bulan izin operasinya dibekukan. "Setelah itu barulah dilakukan evaluasi lagi," kata Hadi Santoso. Mukhlizardy Mukhtar dan Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini