Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda ingin menurunkan berat badan? Kuncinya adalah mengurangi frekuensi dan porsi makan. Demikian hasil riset sekelompok ilmuwan dari Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Amerika Serikat, baru-baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riset yang baru diterbitkan di Journal of the American Heart Association itu meneliti pola makan 550 orang dewasa dengan berbagai latar belakang kelompok etnis, berat badan, dan kondisi kesehatan selama enam tahun. Hasilnya, jumlah asupan harian sangat menentukan bobot kita. Penelitian ini juga mendapati bahwa pengaturan waktu makan, kunci utama dalam diet intermittent fasting, tidak mempengaruhi kenaikan dan penurunan berat badan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Meski intermittent fasting populer, penelitian belum bisa menentukan apakah pembatasan jam makan pada siang hari berpengaruh dalam mengontrol berat badan," kata Wendy Bennett, Lektor Kepala Johns Hopkins University School of Medicine, seperti ditulis situs web ilmiah, Science Daily.
Intermittent fasting alias puasa intermiten merupakan metode diet yang digandrungi masyarakat Indonesia, terutama setelah dipopulerkan Deddy Corbuzier, YouTuber dengan 19,8 juta pelanggan, pada 2013. Publik dikejutkan oleh transformasi tubuh bekas pesulap itu dari gempal menjadi atletis dalam waktu singkat. Deddy merangkum serangkaian riset dan pengalaman pribadinya dalam buku elektronik yang bisa diunduh gratis dan menamai pola dietnya Obsessive Corbuzier Diet (OCD).
Pada dasarnya, pola diet itu adalah puasa intermiten. Untuk menurunkan berat badan, pelaku harus berpuasa minimal 16 jam saban hari. Misalnya, dari pukul 20.00 sampai 12.00. Jadi, setelah makan malam sebelum pukul 20.00, kita tak pantang mengkonsumsi apa pun hingga pukul 12.00 keesokan harinya. Selama berpuasa, Anda boleh minum teh dan kopi tanpa gula serta disarankan banyak minum air putih. Jika ingin turun berat badan lebih cepat, waktu puasa bisa diperpanjang menjadi 18 jam dan 20 jam.
Oleh banyak orang, metode ini digemari karena murah dan mudah. Murah karena tak perlu membeli suplemen dan meracik sajian tertentu serta mudah karena tetap bisa menyantap makanan kesukaan di luar waktu puasa. "Cuma perlu menggeser waktu makan malam lebih sore dan menunda sarapan," ujar Gilang Rahardian, karyawan swasta.
Ilustrasi diet intermittent fasting. TEMPO/ Nita Dian
Pria berusia 52 tahun itu menekuni puasa intermiten sejak akhir Agustus lalu. Saat itu, berat badannya 88 kilogram, jauh dari ideal dibandingkan tingginya yang 1,65 meter. Dia memutuskan berdiet karena makin loyo saat bersepeda, celana yang tak lagi muat, serta kawan dekat yang juga bertubuh tambun berpulang akibat serangan jantung.
Setelah mencari tahu berbagai metode diet, Gilang memutuskan menjalani puasa intermiten. Kebetulan, ada temannya yang melakoni OCD ala Deddy Corbuzier. Namun dia ingin hasil yang lebih cepat dari temannya yang berat badannya turun 5 kilogram dalam waktu tiga bulan. Warga Bintaro, Jakarta Selatan, ini pun menambah daftar pantangan dalam dietnya, yaitu tak menyentuh semua bentuk gorengan dan mengganti nasi putih dengan beras shirataki yang kalorinya sangat rendah. "Bahkan, saat bertugas di luar kota, saya bawa rice cooker untuk masak shirataki," ujarnya.
Walhasil, berat badan Gilang turun 20 kilogram dalam waktu empat bulan. Dia yakin penurunan bobotnya tersebut tak memiliki efek samping negatif. Sebaliknya, dia merasa jauh lebih bugar. "GERD (penyakit lambung gastroesophageal reflux disease) saya tidak lagi kambuh dan enggak ngantukan sehabis makan," kata dia.
Tak cuma masyarakat awam, dokter pun menjalani intermittent fasting. Contohnya Piprim Basarah Yanuarso, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Sejak lima tahun terakhir, dia tak lagi sarapan. Dia baru mulai makan pukul 12.00 atau 13.00, dan makan malam sebelum pukul 20.00. "Kecuali akhir pekan, makan pagi sama keluarga atau teman," kata Piprim.
Dia menambahkan intermittent fasting itu dengan puasa sunah Senin-Kamis. Jadi, setelah makan malam, tak ada lagi makanan masuk sampai buka puasa pada magrib keesokan harinya. Saat sahur, dia hanya minum air putih.
Kekonsistenan Piprim berbuah manis. Bobotnya yang sempat 97 kilogram menyusut hingga 69 kilogram. "Sekarang naik sedikit menjadi 75 kilogram," kata pria dengan tinggi badan 1,73 meter itu. "Ya, enggak kurus amatlah."
Menanggapi riset Johns Hopkins University School of Medicine soal pengaturan jam makan, Piprim mengatakan puasa intermiten memang tidak bisa berjalan sendirian. Ia perlu dibarengi olahraga rutin. Piprim pun menggeluti latihan kettlebell 3-4 kali sepekan. Jika sedang libur angkat beban, dia berjalan cepat di treadmill. Intinya, tak ada hari tanpa olahraga.
Piprim juga menambahkan diet rendah karbohidrat dengan tak lagi makan nasi, roti, ataupun mi. Berat? Kata Piprim, tidak, setelah terbiasa. Toh, dia tetap bisa menyantap aneka jenis hidangan, termasuk gulai kepala kambing, saat berbuka puasa. "Kan, yang enak itu lauknya, bukan nasi," ujarnya.
REZA MAULANA | SCIENCE DAILY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo