PENYAKIT usus buntu yang belum pecah kini tidak memerlukan meja operasi. Paling tidak, setelah tim medis dari Swedia berhasil membuktikan, penderita usus buntu yang belum pecah bisa disembuhkan lewat pengobatan tanpa harus dibedah. Hasil penelitian yang menggunakan 12.000 responden ini dimuat dalam majalah British Medical Journal, belum lama ini. Penderita yang harus dioperasi, berdasarkan penelitian mereka, adalah penderita yang usus buntunya sudah pecah. Tampaknya, temuan ahli Swedia ini kini bisa menjadi bahan pertimbangan utama, sebelum para dokter memainkan pisau bedahnya. Tapi Dokter Arjono D. Pusponegoro sehari-hari Kepala Sub- bagian Bedah Digestif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta tidak spontan menyambut hasil temuan tim dokter Swedia tersebut. "Sukar sekali menentukan, ini jangan dioperasi atau ini harus dioperasi. Sebaiknya usus buntu dioperasi supaya lebih aman," katanya. Kenapa? Menurut Arjono, jika tidak segera diambil keputusan, bisa-bisa malah terlambat. Sebab, dalam 24 jam, usus buntu yang sudah bengkak bisa mendadak pecah. Padahal, kalau sudah pecah, harus dioperasi. Kalau tidak, akibatnya bisa fatal, karena bisa berakhir pada kematian. Umum diketahui, penyakit usus buntu bisa sembuh sendiri. Jika tidak, akan menjadi kronis, peradangan, abses, kemudian pecah. "Jadi, salah-salah kalau kita bilang jangan dioperasi, tahu- tahu sudah pecah. Itu berbahaya buat pasien," katanya. Sebab itu, dengan temuan tersebut, jangan sampai muncul anggapan bahwa usus buntu tidak perlu dioperasi. Tanggapan ekstrahati-hati juga disampaikan Dokter Ignatius Riwanto. Ahli bedah yang berhasil meraih gelar doktor bidang usus buntu dari Universitas Vrije, Amsterdam, Belanda, ini terus terang tidak berani menanggapi temuan dari Swedia itu. Hanya saja, dia memberikan beberapa kriteria untuk memutuskan apakah operasi diperlukan atau tidak bagi penderita usus buntu. Menurut Riwanto, sebelumnya harus lewat pemeriksaan cermat, meliputi wawancara, pemeriksaan fisik dan laboratorium. "Pemeriksaan ini penting karena banyak gejala yang menyerupai usus buntu," katanya kepada Arief A. Kuswardono dari TEMPO. Menurut staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro tersebut, keluhan penderita usus buntu adalah rasa nyeri pada bagian perut kanan bawah. Dan gejala itu sering mengecoh. Karena tanda-tanda itu juga timbul pada penyakit kencing batu, kelainan kandungan pada wanita, serta peradangan usus besar. Pemeriksaan yang cermat, selain untuk mendeteksi usus buntu, sekaligus menentukan jenisnya, apakah akut atau kronis. Pada penderita usus buntu akut, pasien selalu merasa sakit di bagian perut sebelah kanan bawah, yang terus berulang. "Untuk yang akut biasanya kita ambil tindakan operasi. Karena selain mengganggu, juga bisa menyebabkan pelengketan yang bisa menyumbat usus besar," kata Riwanto. Sedangkan pada penderita kronis, sakitnya terasa sekali-sekali. Kalau diobati, bukan mustahil bisa sembuh sendiri. Namun, ada juga usus buntu kronis yang harus dioperasi, yakni yang mendadak jadi akut. Ini bisa diketahui selama observasi. Dan observasi memang harus dilakukan, untuk menghindari keragu- raguan. Usus buntu akut kadang ada juga yang tidak harus dioperasi. Hal ini bergantung pada jenisnya. Pertama, usus buntu yang belum terinfeksi tapi tiba-tiba menimbulkan rasa sakit. Kedua adalah usus buntu yang mengalami infeksi pada selaput lendir. Hasil observasi, jika tidak apa-apa, pasien bisa langsung pulang. Kepada mereka biasanya disarankan agar memperbanyak makan makanan berserat, seperti sayur dan buah. Tapi ada juga yang terpaksa dioperasi, terutama jika infeksi ini diiringi sumbatan pada usus buntu. Jenis ketiga adalah usus buntu yang mengalami peradangan total. Sebabnya bisa karena sumbatan, usus buntu pecah, infeksi, ataupun pelengketan. Peradangannya bisa meluas dan penderita biasanya harus dioperasi. Jenis lain yaitu usus buntu yang tertutup oleh usus dan lemak usus. Proses penutupan itu sendiri merupakan reaksi normal dari tubuh. Usus akan berkontraksi dengan sendirinya jika ada benda asing masuk. Kontraksi ini menyebabkan keluarnya lemak usus. Usus bersama lemak usus kemudian menimbun benda asing itu. Akibat penimbunan ini, terjadi pengerasan di bagian bawah perut sebelah kanan. Kondisi semacam ini disebut peri mendicular infiltrant, terdiri dari dua jenis: mobile dan fixed. Keduanya harus dioperasi. Bedanya, jenis mobile lebih mudah, karena proses penimbunan belum parah dan keras. Sedangkan yang fixed, karena proses penimbunan sudah lama, menyebabkan usus buntu itu bengkak dan keras. Sebab itu, perlu waktu untuk mengobatinya, biasanya tiga bulan. Selama itu peradangan harus diobati, agar usus buntu itu mengecil. Menurut Riwanto, sampai saat ini belum ada kesepakatan di kalangan ahli bedah di Indonesia mengenai tindakan operasi terhadap pasien yang menderita usus buntu infiltrant jenis fixed. Ada dokter yang berani mengoperasi di saat pasien menderita peradangan. Namun, ada pula yang cenderung menunggu hingga radangnya sembuh. Dari pengamatannya selama ini, Dokter Riwanto menyimpulkan, jumlah penderita usus buntu cepat bertambah. Khususnya, jumlah pasien usia 1030 tahun meningkat. Dalam penilaiannya, hal ini berkaitan dengan perubahan pola makan. "Makanan yang kurang serat justru cenderung meningkatkan risiko usus buntu. Jadi, bukan karena sering makan biji-bijian," katanya.Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini