USAI sudah putaran kedelapan perundingan dagang multilateral yang disebut GATT itu, pertengahan Desember tahun lalu. Kini tinggal kesibukan ke-117 peserta menerjemahkan bahasa perundingan ke dalam bahasa teknis penerapan pengurangan proteksi di negaranya masing-masing, yang akan berlaku sepenuhnya 10 tahun lagi. Perundingan paling rumit dan ambisius sejak berdirinya GATT 46 tahun yang lalu menggoreskan sejarah baru dengan turut dicakupnya perdagangan hasil-hasil pertanian. Sektor pertanian memang dilindungi ketat di banyak negara. Kebijakan perlindungan itu, dengan berbagai macam bentuk bantuan atau subsidi oleh negara maju, dinilai telah memberikan andil besar terdistorsinya perdagangan internasional seiring dengan surplus produksi yang diakibatkannya, sehingga menghambat negara berkembang. AS, yang sebenarnya memiliki pengecualian perdagangan hasil pertanian sejak tahun 1955, sangat menghendaki penghapusan proteksi secara total. Defisit neraca pembayaran dan perdagangan AS memaksa negara ini mengurangi bantuannya pada sektor pertanian sebesar 40%. Yang kemudian menjadi masalah, karena negara superkuat itu pun ingin negara lain menurunkan subsidi dan proteksinya. Maka, dicantumkanlah perundingan dagang hasil pertanian dalam Putaran Uruguay tahun 1986, yang bermasa kerja empat tahun. Perundingan terutama ditujukan pada produk kaya subsidi, seperti biji- bijian, minyak, dan lemak nabati, persusuan, daging (terutama dari keluarga sapi), serta produk-produk anggur. Di pihak lain, European Union (EU) lebih condong pada komitmen pengurangan secara terbatas. Konsep EU ini cenderung memadukan peningkatan proteksi beberapa komoditi yang bersaing dengan komoditi lokal, dengan cara mengurangi proteksi pertanian secara global. Mekanisme pengambilan keputusan yang mengutamakan tercapainya permufakatan bulat, dan kerasnya lobi petani Eropa yang gigih mempertahankan sistem subsidi, mungkin merupakan faktor penyebab EU lebih memprioritaskan perdamaian dengan petaninya daripada dengan mitra dagangnya. Perbedaan itulah yang menyebabkan AS dan EU sulit mencapai kesepakatan dalam soal penghapusan proteksi produk pertanian. Barulah pada Desember 1991 atau satu tahun setelah masa kerja perundingan diperpanjang, paket rancangan akhir perundingan atau Draft Final Act yang disusun oleh Direktur Jenderal GATT dapat diserahkan ke negara peserta. Rancangan itu mesti dipuji: tak ada satu negara pun yang menolak mentah-mentah rancangan tersebut sekalipun mereka tidak puas dengan beberapa aspek di dalamnya. Hanya EU yang menghadapi kesulitan dengan rancangan akhir itu, yaitu pada pengurangan subsidi. Menyadari bahwa Putaran Uruguay tak akan dapat diselesaikan tanpa memperhatikan kepentingan EU, maka diselenggarakanlah perundingan bilateral antara AS dan EU, yang kemudian dikenal sebagai Blair House Accord. Inti perjanjian adalah mengurangi jumlah komitmen penurunan subsidi yang harus dilakukan sebagaimana yang diuraikan dalam rancangan akhir. Tercapainya kesepakatan perjanjian perdagangan multilateral Putaran Uruguay tidaklah dapat dilepaskan dari kesepakatan bilateral AS-EU tentang tambahan perubahan dalam persetujuan bilateral mereka satu minggu sebelum batas waktu perundingan. AS tampaknya telah mundur dari tuntutan penghapusan subsidi total, dan mengakomodasi kepentingan EU. Soalnya, AS juga memiliki kepentingan cukup besar, misalnya dalam produk industri dan jasa di negara perunding yang lain. Namun, kesepakatan bilateral itu masih perlu disimak sejauh mana mempengaruhi rancangan akhir yang sejauh itu telah diterima sebagai acuan perundingan. Ada indikasi bahwa tambahan pada perjanjian bilateral AS-UE menyangkut pergeseran periode tahun perhitungan, dan kriteria proteksi yang masih dibolehkan. Dampak reformasi perdagangan hasil-hasil pertanian ini, termasuk penghapusan atau penurunan tarif tinggi sejalan dengan kenaikan tingkat pengolahan suatu produk, diharapkan dapat meningkatkan arus dan kuantitas pasokan produk tropis Indonesia di pasar-pasar dunia, seperti cokelat dan rempah-rempah. Tampaknya, perhatian perlu diberikan terhadap komoditi tapioka yang sebagian besar tertuju ke pasar kuota EU. Dengan berkurangnya tingkat subsidi, harga referensi EU untuk produk- produk makanan ternak lokal yang berasal dari biji-bijian akan semakin mendekati harga dunia. Ini berarti berkurangnya kebutuhan impor komoditi substitusi seperti tapioka itu yang selama ini menjadi alternatif untuk bahan makanan ternak. Karena itu, terobosan pasar non-tradisional bagi komoditi ekspor tapioka kita sangat mendesak dilakukan, guna mengantisipasi berkurangnya kebutuhan impor komoditi substitusi di pasar EU. Hal yang hampir sama berlaku pula bagi komoditi gula. Gula bit EU diperkirakan akan melemah daya saingnya seiring dengan berkurangnya subsidi. Peluang baik ini mestinya akan dimanfaatkan oleh pemasok utama gula tebu, seperti negara- negara Karibia dan Amerika Latin, yang selama ini menderita akibat kebijakan proteksi EU. Mungkin juga akan dimanfaatkan oleh Filipina. Keberhasilan Putaran Uruguay dengan keterbukaan yang diakibatkannya, baik positif maupun negatif, diperkirakan akan mulai dirasakan tahun 2005. Indonesia, yang andil perdagangan internasionalnya kurang dari 1%, akan beroleh manfaat berupa "aturan main" yang lebih jelas, yang setidaknya dapat menghindarkannya dari pendiktean negara-negara besar. Peluang ini bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meningkatkan perannya di masa datang: tidak hanya sebagai pemasok komoditi primer, namun juga produk berpresisi tinggi. Di sisi lain, reformasi ini dapat berarti pula "lonceng kematian" bagi "pelanggan" fasilitas yang selama ini dapat tumbuh besar berkat perlindungan pemerintah. Dalam kaitannya dengan hasil-hasil pertanian, baik yang substitusi impor maupun yang beorientasi ekspor, masa peralihan 10 tahun kiranya dapat dimanfaatkan menjadikan komoditi itu semakin efisien dan sesuai dengan permintaan pasar. Bagaimanapun juga, sesuai dengan ketentuan DFA, Indonesia harus merelakan komoditi pertanian yang masih dilindungi, untuk dirumuskan persamaan tarifnya dalam rangka komitmen tarifikasi, dan mematoknya di tingkat tertentu. "Transparansi" ini tujuannya mempermudah negara lain memasok ke pasar kita. Namun, pematokan itu masih perlu dilakukan di tingkat tertinggi sebatas stop trading. Ini mengingat rapuhnya pasar internasional pada komoditi-komoditi sensitif Indonesia seperti beras, yang mau tak mau perlu dijaga keamanan pasokan domestiknya. Beras di pasar-pasar internasional sangat kecil persediaannya, kurang lebih 5% dari total produksi dunia. Kasus "negara besar" di mana Indonesia dapat dikategorikan, tampaknya berlaku untuk perdagangan beras dunia. Yakni, tindakan membeli dapat melonjakan harga dan, sebaliknya, menjual menyebabkan harga turun. Melonjaknya harga beras dunia baru-baru ini, misalnya, akibat rencana Jepang mengimpor beras dalam jumlah besar tahun 1994 ini. Khusus terhadap industri yang baru tumbuh, hal ini sangat mendesak untuk ditata kembali. Ini mencakup kebijakan moneter, fiskal, dan investasi, terutama untuk tetap merangsang tumbuhnya industri yang mampu memberikan dampak ganda pada pertumbuhan perekonomian di pedesaan, seperti agroindustri pada skala kecil dan menengah. Agroindustri pada skala tersebut ternyata tidak hanya mampu memberikan nilai tambah pada produk- produk hasil pertanian, tapi juga merupakan penyerap tenaga kerja yang potensial. Tapi pada umumnya agroindustri kecil dan menengah tak mampu bersaing dengan yang besar, yang punya modal dan teknologi tinggi, dan menguasai pasar. Maka, masih diperlukan kebijakan khusus untuk melindungi yang kecil dan menengah itu dalam bentuk pembatasan. Yakni, dibatasinya agroindustri berskala besar memasuki bidang usaha yang belum dikuasai dengan baik oleh usaha berskala menengah dan kecil itu. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan munculnya isu sampingan, akibat kesepakatan perundingan dagang multilateral ini. Misalnya, isu lingkungan, hak asasi manusia, dan bioteknologi. Isu bioteknologi, misalnya, yang terkait erat dengan isu perundingan hak milik intelektual, dalam penerapannya dapat meluas ke bidang-bidang lain termasuk pertanian. Secara sektoral, perlu dicarikan "mekanisme kompensasi" antara sektor yang diperhitungkan akan memperoleh tambahan keuntungan, seperti tekstil dan pakaian jadi, dan sektor yang "terpaksa" dikorbankan seperti pertanian. Ada dua alasan yang melatarbelakangi perlunya "mekanisme kompensasi" itu. Pertama, memberikan kesempatan dalam jangka waktu tertentu kepada produk yang "inefisien" untuk meningkatkan daya saingnya dengan lebih efisien. Kedua, kesempatan itu dapat pula dimanfaatkan untuk restrukturisasi sumber daya ke arah sektor produksi yang memiliki keunggulan komparatif. Hal itu wajar saja mengingat efisiensi pertanian negara OECD saat ini taklah dapat dilepaskan dari dukungan berbagai subsidi dan bentuk-bentuk insentif lainnya di masa lalu. Sedangkan negara lain yang dewasa ini tergolong "inefisien" di sektor itu, seperti Indonesia, memang belum menikmati yang telah dilakukan negara-negara OECD. Dengan kata lain, negara berkembang sesungguhnya berada pada fungsi yang berbeda dengan negara-negara OECD. Untuk itu, berbagai kebijakan proteksi yang masih diperkenankan oleh perjanjian dagang multilateral itu sebaiknya dimanfaatkan. Bila tidak, negara berkembang seperti Indonesia akan selalu terkunci sebagai penghasil komoditi primer bernilai rendah. Secara keseluruhan, keberhasilan Putaran Uruguay menyebabkan negara peserta perundingan, termasuk Indonesia, menghadapi peningkatan kewajiban sesuai dengan perjanjian baru yang semula belum ada. Hal pertama yang menjadi kenyataan adalah peningkatan substansi yang harus dikuasai akibat adanya perjanjian. Perlu diupayakan meningkatkan kemampuan tenaga- tenaga muda untuk mengidentifikasi secara jeli peluang ekspor yang muncul, dan sekaligus memperjuangkannya dalam pelbagai perundingan lanjutan di bawah Multilateral Trade Organization sebagai badan baru pengganti GATT. Kedua, meluasnya cakupan menyebabkan jumlah instansi yang tersentuh oleh ketentuan Putaran Uruguay dan yang mau tidak mau terpaksa turut menangani meningkat pula. Hal ini memunculkan masalah koordinasi, bukan saja antarinstansi pemerintah, tapi juga dengan dunia usaha, guna dapat mengembangkan strategi pembangunan dan perdagangan yang terpadu dan berkesinambungan.*) Staf ahli Menteri Pertanian bidang pengembangan dan perdagangan komoditi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini