Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Endemi di Pantai Utara Tangerang

Wabah muntaber menyerang ratusan orang di Tangerang. Lingkungan kotor dan perilaku hidup tak sehat adalah penyebabnya.

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka terbaring berjejer seperti ikan asin. Anak-anak dan dewasa. Ada yang tergeletak di tempat tidur, ada yang di atas velbed, memenuhi setiap ruangan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kedaung Barat, Sepatan, Kabupaten Tangerang. Bau busuk menyengat hidung. Bekas kotoran dan muntahan berceceran di mana-mana. Sesekali terdengar rintihan anak-anak menahan rasa sakit. Wajah pucat dan lemas mewarnai mereka yang terserang wabah muntah berak (muntaber) itu.

Banjir pasien juga melanda Puskesmas Sepatan. Puluhan pasien, kebanyakan anak-anak, bergeletakan memenuhi ranjang-ranjang perawatan. Saking banyaknya jumlah pasien, sebagian terpaksa ditempatkan di aula kantor Kecamatan Sepatan yang terletak di sebelah puskesmas.

Salah satu pasien yang terbaring di Puskesmas Sepatan adalah Zaenudin, 6 tahun. Bocah itu sudah dua hari dirawat di sana. Ibunya, Ni, mengemukakan, keluarganya terserang muntaber secara bersamaan. Sejak pukul 01.00 dini hari, tiga orang keponakannya satu per satu terjangkit. Subuh, giliran anaknya terkena. Mereka semua langsung dibawa ke Puskesmas Sepatan. "Keluarga kami bingung," ujar warga Kampung Kelor, Sepatan, itu.

Pengalaman serupa terjadi pada Mamah. Pukul. 03.00 dini hari, Irvan, anaknya yang berusia 4 tahun, tiba-tiba buang air besar terus-menerus plus muntah-muntah. Mamah jelas panik. "Saya gugup, nggak tahu mesti gimana," ujarnya. Ketika hari sudah terang, barulah ia membawa Irvan ke manteri terdekat. Sang manteri menyarankan agar putranya itu segera dibawa ke puskesmas.

Sesampai di Puskesmas Sepatan, wajah Irvan sudah pucat membiru. Matanya cekung dan mendelik ke atas. Dokter segera memberinya infus di tangan dan kaki kirinya. Setelah itu, barulah Irvan tertidur. Wajahnya mulai tenang dengan tubuh berselimut kain batik yang warnanya mulai pudar. "Untung tertolong," kata Mamah sambil membelai kepala botak anaknya.

Nasib nahas dialami Sari, 19 tahun. Ibu muda ini harus rela kehilangan anak semata wayangnya, Dela Puspita, 2 tahun, yang direnggut muntaber. Sari tak menyangka karena sebelumnya tak ada gejala apa-apa pada anaknya. Siang hari, Dela yang periang masih bermain dengan teman-temannya. Malamnya pun ia masih bercanda dengan sang ibu. Tiba-tiba, dini hari, anaknya langsung muntah dan terus-menerus buang air.

Subuhnya, Sari membawa Dela berobat ke manteri. Karena tak ada perubahan, ia kemudian menggotong anaknya ke Puskesmas Kedaung Barat. Dela diberi obat-obatan, lalu disuruh pulang, tapi obat yang diberikan ternyata tidak ampuh. Bocah malang itu tetap buang-buang air dan muntah. Lewat tengah hari, Sari kembali membawa anaknya ke Puskesmas Kedaung Barat. Sayang, puskesmas sudah kosong.

Sari lalu mencari pertolongan ke sebuah klinik. Malang, di sana tak tersedia cairan infus. Barulah terakhir ia ke Puskesmas Sepatan. Sesampai di sana, Dela sudah mengalami dehidrasi (kekeringan). Jarum infus sudah tak bisa masuk ke tubuhnya. Nyawanya pun tak tertolong lagi. "Nyesel-nya saya, kenapa anak saya nggak diinfus dari awal," kata Sari sambil menyeka air mata.

Penyesalan juga dialami Yati, 23 tahun. Anak pertamanya, Rosita, 8 tahun, meninggal karena muntaber. Selasa malam pekan lalu, sang anak menderita buang-buang air dan muntah. Ia berusaha mengatasinya dengan obat yang dibeli di warung, tapi tak manjur. Gadis kecil itu tetap muntah-berak.

Yati kehabisan akal. "Mau ke dokter nggak ada kendaraan," katanya. Tak ada pilihan, ia terpaksa menunggu hari terang. Padahal, anaknya sudah begitu pucat dan matanya cekung. Maka, ketika dibawa ke puskesmas, nyawa anaknya sudah keburu pergi. "Saya nyesel nggak sempet ngobatin dia," katanya.

Kepala Bidang Pemberantasan Pencegahan Penyakit, Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, Yuliah Iskandar, menegaskan, penyebab wabah muntaber di daerahnya adalah kuman E. coli dan bakteri kolera. "Kesimpulan ini berdasarkan sampel air, makanan, dan kotoran korban," ujarnya. Kedua kuman itu bersumber pada air dan lingkungan kotor di sekitar permukiman warga.

Kuman E. coli muncul dari kotoran manusia dan binatang, dibawa serangga seperti lalat, lalu hinggap di makanan. Kemudian makanan itu disantap manusia. "E. coli penyebab berak-berak dan vibrio cholerae penyebab muntah-muntah," kata Yuliah. Selain itu, faktor sanitasi lingkungan yang kotor, perilaku hidup yang tidak sehat, pelayanan kesehatan yang buruk, dan kepadatan penduduk turut andil dalam wabah muntaber.

Hingga kini wabah yang pertama kali muncul dari Desa Sarakan, Kecamatan Sepatan, Tangerang, itu masih merajalela dan telah merenggut 17 nyawa. "Korban meningkat hingga 16 kasus per hari, padahal sebelumnya hanya dua sampai tiga kasus per hari," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, Bachtiar Oesman.

Setelah dilakukan pengobatan, angka penderita sempat berkurang. Namun, Jumat dua pekan lalu, puluhan orang dari beberapa desa di Kecamatan Pakuaji, Sepatan, dan Sukadiri, memenuhi puskesmas. Jumlah penderita pun kembali membengkak menjadi 20 hingga 28 kasus per hari.

Pemerintah Kabupaten Tangerang telah menetapkan wilayah pantai utara Tangerang sebagai endemi muntaber, khususnya di delapan desa yang terletak di dua kecamatan: Sepatan dan Pakuaji. Selain itu, beberapa upaya memerangi wabah muntaber telah dilakukan, antara lain memutus rantai penularan dengan cara memberi kaporit pada sumur-sumur penduduk. Juga, melakukan penyuluhan kebersihan kepada masyarakat.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang dalam waktu dekat akan membangun bibir sumur untuk mencegah terjadinya pencemaran air sumur. Sementara itu, Dinas Pekerjaan Umum menyediakan air bersih keliling kepada warga. Dengan upaya-upaya itu, kejadian luar biasa muntaber diharapkan bisa segera teratasi.

Lis Yuliawati, Joniansyah (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus