UNTUNG sakit gigi tak bisa membawa mati. Kalau tidak, cukup
banyak korbannya. Sebab kurang dari 2% dari para penderita sakit
gigi di Indonesia yang bisa mendapatkan pelayanan.
Tenaga dokter sebenarnya tak kurang. Sekarang ini tercatat
sebanyak 3000. Saban tahun jumlah ini bertambah lagi sekitar 400
orang dari berbagai perguruan tinggi. Cuma mereka bertumpuk di
kota-kota besar. Yang baru lulus umumnya tak begitu tertarik
untuk berdinas di daerah terpencil.
Di Jakarta misalnya, meskipun Puskesmas Inpres dan Non-Inpres
sudah tertutup buat dokter gigi, ternyata masih ratusan yang
"menganggurkan diri" sambil mengincar lowongan di berbagai
instansi. Keadaan ini cukup memprihatinkan, hingga Presiden
Soeharto ketika membuka Kongres Nasional ke-14 Persatuan Dokter
Gigi Indonesia, 27 September di Jakarta, mengajak mereka supaya
bersedia "mengabdi masyarakat pedesaan. "
Di kota mereka mulai dapat kritik sekalipun tidak sekeras
terhadap dokter umum dan spesialis -- mengenai tarif. Tarif yang
tinggi ini terutama didorong oleh peralatan mutakhir yang mereka
pergunakan. "Sebenarnya peralatan modern itu adalah tuntutan
masyarakat sendiri. Kalau pasien melihat peralatan dokter masih
sederhana, ia akan mencari dokter lain yang punya peralatan
modern," kata drg. I Sadrach yang menjabat Sekretaris Umum PDGI
periode 1978-1980.
Seorang dokter gigi lulusan Universitas Indonesia yang baru
sebulan membuka praktek dengan peralatan berharga sekitar Rp 5
juta menceritakan pengalaman yang mendukung cerita Sadrach.
"Pasien saya ada yang begitu masuk lantas bertanya apakah saya
menggunakan peralatan yang digerakkan jet atau tidak?" katanya.
Pasien itu menghendaki pelayanan dengan alat pembor gigi yang
digerakkan jet dengan kemampuan putar 500.000/menit. Rupanya dia
merasa kurang nyaman dengan peralatan sederhana dengan daya
putar 10.000.
Kembang Gula
Peralatan kedokteran gigi ada yang digerakkan dengan tangan,
seperti kursinya. Tapi ada pula yang digerakkan listrik, hingga
pasien merasa seperti duduk di pesawat terbang. Harganya bisa
mencapai Rp 20 juta. Namun lingkungan lebih banyak menentukan
jenis peralatan mana yang akan dipakai seorang dokter. "Kalau
saya menggunakan peralatan yang saya miliki sekarang di daerah
pinggiran, berarti saya mematikan diri sendiri. Karena harganya
yang mahal. Mana mungkin saya dapat pasien," ucap I. Sadrach
yang buka praktek di daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Untuk memberikan pelayanan yang meluas, Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, drg Ali Dahlan pernah
mencetuskan ide untuk membuat peralatan sederhana.
"Perencanaannya sudah ada, tapi kesulitannya lanyak, terutama
dalam pemasaran. Untuk suatu usaha industri dengan jumlah
konsumen 400 dokter tiap tahun tidak menguntungkan. Kecuali jika
ada kemungkinan ekspor," katanya.
Kesehatan gigi ternyata tidak hanya soal pengobatan saja.
Sebagaimana dikatakan oleh drg I. Sadrach masih banyak bidang
yang harus dipikirkan. Antara lain bagaimana meningkatkan
penerangan di kalangan masyarakat terutama lewat anak sekolah.
Juga perlu pembatasan iklan kembang gula di media massa. Dan
menggalakkan produksi tapal gigi yang mengandung fluoride, zat
kimia yang bisa mengurangi kerusakan gigi 30-35%. Memang
beberapa merk, katanya, jelas tak mengandung at pembasmi kuman
gigi itu. "Tapi tak apa, asal iklannya membuat orang terbiasa
menggosok gigi. Tanpa tapal pun saya sudah puas," ujar I.
Sadrach.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini