UU tentang suap yang disetujui DPR awal bulan ini, juga
mengancam anggota suatu organisasi yang "menerima sesuatu atau
janji" kemudian melanggar kode etik profesi. Berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan kewenangan dan kewajibannya untuk
memenuhi keinginan si pemberi suap, menurut Penjelasan Umum UU
yang akan segera diundangkan tersebut, juga termasuk kejahatan
suap.
Ancaman hukumannya lumayan juga. Si penyuap dapat dipidana
penjara selama-lamanya lima tahun dan denda sebanyak-banyaknya
Rp 15 juta. Sedang si penerima dapat dihukum tiga tahun penjara
atau denda Rp 15 juta.
Di bidang olahraga tak sulit menemukan kasus seperti disinyalir
UU tersebut. PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) telah
membuktikannya dengan berbagai laporan kepada yang berwajib. UU
anti suap sebelumnya memang dirancangkan untuk memberantas suap
di bidang olahraga (TEMPO, 11 Oktober).
Suap-menyuap di bidang olahraga catur terasa ada, tapi sulit
dibuktikan. Tapi menurut Ketua Percasi (organisasi catur) Djoko
Muljo, "keadaannya sudah sangat memprihatinkan". Pernah
dibentuk tim anti suap dalam kejuaraan nasional tahun lalu --
karena dugaan kegiatan suap meningkat. Tapi, menurut Djoko, tim
tersebut tak menemukan sesuatu jejak.
Suap-menyuap di kalangan catur, menurut Djoko lagi, diduga
dilakukan di antara sesama pemain: meminta lawannya untuk
mengalah atau remis. Itulah sebabnya Percasi mengharap UU baru
tersebut dapat menggertak atlet-atletnya.
PSSI dan Percasi boleh jadi tak segan melaporkan atlet di
samping memburu penyuapnya kepada yang berwajib. Tapi organisasi
profesi lain seperti Peradin (organisasi advokat), misalnya,
tidak merasa perlu melapor kepada jaksa bila ada anggotanya yang
melanggar kode etik lantaran menerima suap. Apalagi menurut
Ketua Dewan Kehormatan Peradin, Sukardjo, hingga saat ini
Peradin tak melihat ada anggota yang melanggar kode etik karena
makan suap.
Tapi kemungkinan begitu memang ada saja. Misalnya, kata
Sukardjo, "ada advokat yang berani mengangkat sumpah palsu
karena menerima sesuatu imbalan." Cuma, katanya lagi, selama ini
tak ada bukti.
Pun, andaikata tahu ada pelanggaran kode etik karena suap,
Peradin tak akan melaporkannya kepada jaksa. Sebab, menurut
Sukardjo, organisasi telah menentukan sanksi sendiri: mulai dari
peringatan-peringatan sampai pemberhentian sebagai anggota.
Begitu juga pendapat IDI (organisasi dokter). "Melaporkan dokter
yang melanggar kode etik kepada jaksa, sebagai perkara pidana,
jelas tak mungkin kami lakukan," kata Panitia Pembelaan Anggota
IDI, Prof. Dr. Mahar Mardjono. Tindakan terhadap si pelanggar
kode etik, apa pun bentuknya, paling keras dikeluarkan dari
keanggotaan IDI.
Dan lagi, menurut Mahar, IDI selama ini tak pernah melihat ada
dokter yang melanggar kode tik karena terima suap. Sebab,
seperti dikatakan Ketua IDI Jakarta, dr. Kartono Mohamad, "suap
sulit terjadi dalam praktek dokter yang hubungannya dengan
pasien adalah pribadi dengn pribadi."
Memang disinyalir ada dokter yang menunjuk laboratorium tertentu
yang harus didatangi pasiennya. Boleh jadi dokter tadi menerima
sesuatu dari pengusaha laboratorium. "Tapi," menurut Kartono,
"hal itu sulit untuk disebut sebagai suap -- itu 'kan kerjasama,
asal tidak merugikan pasien saja."
Dalam dunia jurnalistik memang ada sebutan "wartawan amplop".
Termasuk kejahatan suapkah itu -- bila menyangkut kewajiban dan
kewenangan menulis atau tidak menulis sesuatu berita? Yang
jelas itu merupakan pelanggaran kode etik jurnalistik. Tapi
menurut Anggota Dewan Kehormatan PWI, Manai Sophian, "tak ada
perlunya bagi dewan untuk melaporkan hal semacam itu kepada
jaksa." Seperti halnya IDI atau Peradin, menurut Manai Sophian,
PWI juga mempunyai sanksi tersendiri buat pelanggar kode etik.
Pemecatan merupakan hukuman terberat bagi anggota.
Namun, di atas semuanya, UU tentang Tindak Pidana Suap dapat
menyeret tersangka tanpa pengaduan dari seseorang atau
organisasi tertentu. "Aparat pengusut dan penyidik boleh
menerima laporan dari siapa saja," kata Sukardjo dari Peradin.
"Karena kejahatan suap bukan termasuk apa yang disebut sebagai
'delik aduan'."
Laporan juga tidak harus dari seseorang atau organisasi yang
merasa dirugikan karena peristiwa suap. Sedangkan dari si
tersuap maupun penyuap, seperti kata Menteri Kehakiman Mudjono,
"tentu tidak mungkin diharapkan laporannya." Jadi, "polisi harus
mencari bukti di tempat lain," katanya.
Kepastian memang tak terlihat pada pasal-pasal yang singkat yang
tak mengatur acara penyidikan sampai penuntutan di pengadilan.
Tapi Mudjono tak setuju bila UU yang hanya terdiri dari enam
pasal tersebut disebut "mengambang" seperti dikomentari V.B. da
Costa dari Komisi III/DPR.
UU khusus tentang pidana ekonomi dan korupsi, misalnya, memang
perlu aturan atau acara tersendiri. "Hal itu melihat sifat dan
bobot dari hal yang diatur," kata Menteri Kehakiman. Sedangkan
tentang suap, yang dianggapnya sederhana, tidak perlu segala
macam aturan khusus. Acara penyidikan sampai penuntutan di muka
hakim, katanya lagi, cukup dikaitkan dengan hukum acara yang
berlaku umum (KUHP). Pokoknya, Mudjono puas dengan UU yang baru
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini