Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

UU Suap Atau Disiplin Organisasi

Organisasi profesi seperti: Peradin, IDI, PWI, menganggap tidak perlu melapor kepada jaksa bila ada anggotanya yang melanggar kode etik lantaran menerima suap, karena organisasi menentukan sanksi sendiri.(hk)

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UU tentang suap yang disetujui DPR awal bulan ini, juga mengancam anggota suatu organisasi yang "menerima sesuatu atau janji" kemudian melanggar kode etik profesi. Berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewenangan dan kewajibannya untuk memenuhi keinginan si pemberi suap, menurut Penjelasan Umum UU yang akan segera diundangkan tersebut, juga termasuk kejahatan suap. Ancaman hukumannya lumayan juga. Si penyuap dapat dipidana penjara selama-lamanya lima tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp 15 juta. Sedang si penerima dapat dihukum tiga tahun penjara atau denda Rp 15 juta. Di bidang olahraga tak sulit menemukan kasus seperti disinyalir UU tersebut. PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) telah membuktikannya dengan berbagai laporan kepada yang berwajib. UU anti suap sebelumnya memang dirancangkan untuk memberantas suap di bidang olahraga (TEMPO, 11 Oktober). Suap-menyuap di bidang olahraga catur terasa ada, tapi sulit dibuktikan. Tapi menurut Ketua Percasi (organisasi catur) Djoko Muljo, "keadaannya sudah sangat memprihatinkan". Pernah dibentuk tim anti suap dalam kejuaraan nasional tahun lalu -- karena dugaan kegiatan suap meningkat. Tapi, menurut Djoko, tim tersebut tak menemukan sesuatu jejak. Suap-menyuap di kalangan catur, menurut Djoko lagi, diduga dilakukan di antara sesama pemain: meminta lawannya untuk mengalah atau remis. Itulah sebabnya Percasi mengharap UU baru tersebut dapat menggertak atlet-atletnya. PSSI dan Percasi boleh jadi tak segan melaporkan atlet di samping memburu penyuapnya kepada yang berwajib. Tapi organisasi profesi lain seperti Peradin (organisasi advokat), misalnya, tidak merasa perlu melapor kepada jaksa bila ada anggotanya yang melanggar kode etik lantaran menerima suap. Apalagi menurut Ketua Dewan Kehormatan Peradin, Sukardjo, hingga saat ini Peradin tak melihat ada anggota yang melanggar kode etik karena makan suap. Tapi kemungkinan begitu memang ada saja. Misalnya, kata Sukardjo, "ada advokat yang berani mengangkat sumpah palsu karena menerima sesuatu imbalan." Cuma, katanya lagi, selama ini tak ada bukti. Pun, andaikata tahu ada pelanggaran kode etik karena suap, Peradin tak akan melaporkannya kepada jaksa. Sebab, menurut Sukardjo, organisasi telah menentukan sanksi sendiri: mulai dari peringatan-peringatan sampai pemberhentian sebagai anggota. Begitu juga pendapat IDI (organisasi dokter). "Melaporkan dokter yang melanggar kode etik kepada jaksa, sebagai perkara pidana, jelas tak mungkin kami lakukan," kata Panitia Pembelaan Anggota IDI, Prof. Dr. Mahar Mardjono. Tindakan terhadap si pelanggar kode etik, apa pun bentuknya, paling keras dikeluarkan dari keanggotaan IDI. Dan lagi, menurut Mahar, IDI selama ini tak pernah melihat ada dokter yang melanggar kode tik karena terima suap. Sebab, seperti dikatakan Ketua IDI Jakarta, dr. Kartono Mohamad, "suap sulit terjadi dalam praktek dokter yang hubungannya dengan pasien adalah pribadi dengn pribadi." Memang disinyalir ada dokter yang menunjuk laboratorium tertentu yang harus didatangi pasiennya. Boleh jadi dokter tadi menerima sesuatu dari pengusaha laboratorium. "Tapi," menurut Kartono, "hal itu sulit untuk disebut sebagai suap -- itu 'kan kerjasama, asal tidak merugikan pasien saja." Dalam dunia jurnalistik memang ada sebutan "wartawan amplop". Termasuk kejahatan suapkah itu -- bila menyangkut kewajiban dan kewenangan menulis atau tidak menulis sesuatu berita? Yang jelas itu merupakan pelanggaran kode etik jurnalistik. Tapi menurut Anggota Dewan Kehormatan PWI, Manai Sophian, "tak ada perlunya bagi dewan untuk melaporkan hal semacam itu kepada jaksa." Seperti halnya IDI atau Peradin, menurut Manai Sophian, PWI juga mempunyai sanksi tersendiri buat pelanggar kode etik. Pemecatan merupakan hukuman terberat bagi anggota. Namun, di atas semuanya, UU tentang Tindak Pidana Suap dapat menyeret tersangka tanpa pengaduan dari seseorang atau organisasi tertentu. "Aparat pengusut dan penyidik boleh menerima laporan dari siapa saja," kata Sukardjo dari Peradin. "Karena kejahatan suap bukan termasuk apa yang disebut sebagai 'delik aduan'." Laporan juga tidak harus dari seseorang atau organisasi yang merasa dirugikan karena peristiwa suap. Sedangkan dari si tersuap maupun penyuap, seperti kata Menteri Kehakiman Mudjono, "tentu tidak mungkin diharapkan laporannya." Jadi, "polisi harus mencari bukti di tempat lain," katanya. Kepastian memang tak terlihat pada pasal-pasal yang singkat yang tak mengatur acara penyidikan sampai penuntutan di pengadilan. Tapi Mudjono tak setuju bila UU yang hanya terdiri dari enam pasal tersebut disebut "mengambang" seperti dikomentari V.B. da Costa dari Komisi III/DPR. UU khusus tentang pidana ekonomi dan korupsi, misalnya, memang perlu aturan atau acara tersendiri. "Hal itu melihat sifat dan bobot dari hal yang diatur," kata Menteri Kehakiman. Sedangkan tentang suap, yang dianggapnya sederhana, tidak perlu segala macam aturan khusus. Acara penyidikan sampai penuntutan di muka hakim, katanya lagi, cukup dikaitkan dengan hukum acara yang berlaku umum (KUHP). Pokoknya, Mudjono puas dengan UU yang baru itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus