RUMAH PERAWAN
novel Yasunari Kawabata terjemahan Asrul Sani
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta 1977.
Gambar kulit: Zaini Tebal: 93 halaman
"SEBUAH pikiran aneh datang: kenapa, dari semua hewan, dalam
riwayat dunia yang panjang hanya buah dada manusia perempuan
yang jadi bagus? Apa bukan demi kejayaan manusia makanya buah
dada wanita dibuat b'egitu bagus?" Demikian Kawabata menulis di
salah satu bagian dari riovel kecilnya ini.
Meskipun detail-detail tubuh perempuan yang merangsang
kenikmatan yang diceriterakan olehnya dan bagaimana lelaki tua
macam Eguci yang mendekati ajalnya dibangkitkan lagi ke masa
mudanya karena tubuh-tubuh ranum itu, na mun Kawabata tidak
menyeret pembacanya ke sensualisme murahan atau erotisme vulger.
Kawabata tidak ingin mengencangkan syahwat kita sebagaimana
ceritera-ceritera porno atau pun liburan.
Sebaliknya: Di hadapan Eguci tua tubuh gadis telanjang yang
dipulaskan tidurnya sepulas-pulasnya itu membawa pikirannya ke
pelbagai soal hidup yang menekan dan meresahkan. Sejumlah
kenangan manis di masa mudanya yang takkan kembali lagi, dan ini
dirasakan sebagai kehilangan besar, muncul di saat berbaring di
sisi tubuh perempuan telanjang. Kenangan itu jadi lebih hidup
dari kenyataan yang dialami. Begitu juga sejurnlah percintaannya
atau hubungn seksnya. Atau kekhawatiran pada anak-anak gadisnya
dulu karena zaman mulai berobah. Dan kepada isteri, serta ibunya
sendiri yang meninggal tatkala Eguci masih bocah.
Keindahan Langgeng
Bahkan, seperti ditulis Kawabata sejak awal dari novelnya ini,
"Dalam tubuh seorang gadis muda ada suatu kemurungan yang
menimbulkan dalam diri seorang lelaki tua kerinduan pada mati."
Sedangkan di bagian lain dia melukiskan bagaimana perasaan Eguci
yang getir muncul tatkala ingat bahwa di sekitar dirinya selalu
dilahirkan ribuan tubuh-tubuh baru yang indah. Atau dengan kata
lain: Keindahan dan kenikmatan duniawi sebenarnya langgeng
karena mengalir terus, hanya saja manusia yang menikmatinya yang
tak pernah langgeng.
Kawabata memang pengarang sensualist. Pemenang hadiah Nobel di
tahun 1968 dan mati bunuh diri 1972 ini sudah sejak semula
memilih atau bahkan memulai lahirnya neo-sensualisme dalam
Sastra Modern Jepang. Setelah penari dari Izu, Seribu Burung
Bangau dan Negeri Saljunya inilah romannya yang terbilang hasil
terakhir menjelang akhir hayatnya.
Negeri Sayu telah diterjemahkan tahun 1972, lewat Bahasa
Inggeris, oleh Anas Makruf. Sedangkan Rumah Perawan ini
rupa-rupanya merupakan novelnya yang kedua yang diterbitkan
dalamBahasa Indonesia, lewat Bahasa Inggeris pula. Dalam novel
yang lagi dibicarakan ini Kawabata tidak melulu asyik dengan
gerak-gerik pikiran dan gejolak batin tokohnya yang pribadi
sifatnya, melainkan secara samar-samar meneeriterakan juga
keruntuhan nilai-nilai rohani yang mulai mengancam masyarakat
Jepang. Kecintaan pada benda-benda yang berlebihan dan
merajalelanya hedonisme material tampaknya lebih menimbulkan
rasa hampa yang menekan, yang menyebabkan banyak kalangan atas
dan menengah Jepang menghabiskan masa-masa tuanya dengan
hiburan-hibulan kosong untuk sekedar melepaskan kejemuanya pada
hidup.
Kata Kawabata: "Sewaktu mereka berbaring di sebelah gadis-gadis
muda yang telanjang yang telah ditidurkan terasa sesuatu yang
bukan sekedar ketakutan pada mautyang makin dekat dan kesedihan
karena kemudaan yang telah hilang Mungkin juga ada penyesalan
dan kerusuhan yang kita temui pada keluarga-keluarga yang
berhasil. Mereka tidak memiliki luddha di depan siapa mereka
bisa berlutut."
Novel yang menarik dan lembut gaya ceriteranya ini bermula
dengan kisah kedatangan Eguci tua (67 tahun) ke sebuah rumah
rahasia di mana terdapat gadis telanjang yang dipulaskan untuk
dinikmati oleh pengunjungnya semalam suntuk dalam batas-batas
kesopanan tertentu. Biasanya yang datang ke sana adalah lelaki
tua yang sudah tak sanggup lagi melakukan hubungan seks. Eguci
datang ke sana didorong rasa ingin tahu. Begitulah
berturut-turut sampai empat atau lima kali datang ke sana,
seluruh kenangan manisnya muncul, keresahan dan kejemuannya akan
hidup silih berganti datang dan akhirnya kenikmatan yang
terdapat dalam tubuh gadis telanjang itu mengingatkannya pada
ajal yang mulai dekat.
Tubuh Ranum
Novel ini menarik karena mampu menyingkap rahasia para lelaki
tua sampai ke liku-likunya. Rahasia para lelaki yang pada waktu
mudanya banyak mengumbar nafsunya pada perempuan. Di samping itu
secara simbolik Kawabata melukiskan percumbuan asyik antara
lelaki tua dan ajal yang kian dekat, ajal yang dilambangkan
dengan tubuh perempuan yang ranum.
Dibandingkan dengan terjemahan Anas Makruf atas Negeri Salju,
terjemahan Asrul Sani atas Rumah Perawan ini lebih enak dan
lancar. Suasana yang ingin disampaikan Kawabata, suasana puitik
dengan latar Jepang, alam, kebudayaan dan masyarakatnya, sangat
hidup lewat terjemahan Asrul. Dan agaknya plot atau jalan
ceritera tidak begitu penting bagi Kawabata, toh ia mampu
menghasilkan karya yang cemerlang.
Novel ini merupakan kritik halus yang mengharukan dari seorang
pengarang yang kecewa dan resah atas per kembangan Jepang yang
makin kehilangan nilai-nilai rohani. Kritik yang dilatari
perasaan getir, tapi disampaikan dengan bijak dan lembut.
Jadinya ia sangat enak dibaca, betapa pun problem yang disajikan
Kawabata banyak sekali mengenai lekuk-liku kehidupan kejiwaan
manusia yang merasa kehilangan nilai-nilai rohani, sementara
jasmani dan benda-benda tidak bisa jadi pegangan yang langgeng.
Bukankah kita juga sedang mengalaminya?
AHWM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini